Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

Perupa Seni Media Baru, Geluti Medium Nonkonvensional Dalam Berkarya

Perupa Seni Media Baru, Geluti Medium Nonkonvensional Dalam Berkarya

Dalam seni rupa kontemporer, muncul sebuah pengembangan seni rupa di era digital ini yang disebut sebagai seni media baru. Seni media baru adalah sebuah metode berkarya dalam seni rupa yang menggunakan medium nonkonvensional, seperti video dan proyeksi digital. Salah satu seniman yang giat berkarya di bidang ini adalah Eldwin Pradipta.

Eldwin yang lahir pada tahun 1990 ini masuk Program Studi Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB), pada 2008, bertepatan dengan dibukanya Studio Intermedia Seni FSRD ITB. Di studio inilah Eldwin menekuni bidang ini.

Sejak kelulusannya di tahun 2013, pria yang lahir dan bertempat tinggal di Bandung ini berpartisipasi dalam berbagai pameran bersama dan mengikuti berbagai kompetisi seni. Gelar finalis telah diraihnya, dan tahun 2014 meraih Young Artist Award, di ArtJog.

Prestasinya ini telah membawa namanya hingga dunia senirupa internasional terakhir ia hadir sebagai salah satu pembicara dan partisipan pada kegiatan berjudul Blind Men and An Elephant: On Wholeness and Fragmentation yang diselenggarakan oleh SATA (Society Art Technology Asia) dan bertempat di CCG Library, Asia Art Archive, Hong Kong pada 13 April 2025.

Kultural Indonesia berkesempatan untuk mengenal lebih dalam sosok, Eldwin Pradipta. Berikut kutipannya.

K: Apakah bakat seni sudah terlihat sejak Anda kecil dan bagaimana keluarga mendukung Anda?

EP: Sepertinya tidak ada yang disebut dengan ‘bakat seni’ dalam diri saya, baik sejak semasa kecil bahkan sampai sekarang. Kalau pun ada, hal ini sepertinya bukan merupakan faktor penting di dunia yang saya geluti sekarang ini.

Dukungan lingkungan adalah faktor yang paling utama. Saya beruntung terlahir di keluarga kelas menengah yang punya keleluasaan untuk membebaskan dan mendukung anaknya terjun di dunia seni, tanpa kekhawatiran mengenai faktor ekonomi.

K: Kapan Anda memutuskan untuk menjadi seorang seniman dan mengapa Anda yakin seni menjadi jalan hidup Anda?

EP: Saat ini saya masih menjalani dwi-fungsi, yakni sebagai seniman dan juga sebagai pekerja multimedia. Profesi seniman, terlebih dengan medium seni media yang saya gunakan, tidak pernah cukup meyakinkan bagi saya untuk dijadikan jalan hidup utama.

Tidak terlalu jelas kapan tepatnya saya memutuskan menjadi seorang seniman, yang lebih jelas adalah kapan tepatnya saya memutuskan untuk TIDAK menjadi seniman, yaitu saat awal-awal saya berkuliah di Seni Rupa ITB. Membuat karya untuk memenuhi tugas kuliah saat itu sangat sulit, begitu banyak pertimbangan, teori, dan pengantar yang harus disiapkan sebelum masuk ke tahap pembuatan karya. Permasalahan teknis saat membuat karya seni media juga menjadi tantangan yang membuat saya berpikir untuk tidak menjadi seniman.

Sementara saat itu saya lebih banyak tertarik dan mendapat pekerjaan di bidang multimedia yang lebih menuntut keterampilan daripada pemikiran, saya pun kemudian meneruskan kesibukan sebagai pekerja multimedia hingga lulus kuliah.

Tapi kemudian undangan untuk ikut serta sebagai seniman di pameran-pameran seni rupa mulai berdatangan, saya pun tertarik untuk mencoba ikut serta, hingga sekarang. Bekerja sebagai seniman lebih memberikan kebebasan, keleluasaan, dan kepuasan tersendiri dalam berkarya, hal yang tidak dapat diberikan oleh keprofesian lain.

K: Anda banyak berkarya dalam seni instalasi, bagaimana perjalanan berkesenian Anda dari awal hingga akhirnya banyak menghasilkan seni instalasi dan interaktif?

EP: Saya cukup sering bekerja untuk production house atau event organizer untuk membuat instalasi yang besifat komersil, untuk kebutuhan panggung, brand atau company tertentu.

Projek dan pekerjaan besar ini didukung oleh pendanaan yang besar juga dari client ataupun sponsor, ditempatkan di ruang publik untuk masyarakat umum.

Pelan-pelan saya menggunakan teknik dari projek besar tersebut secara lebih filosofis, mencoba mendalami lagi hakikat teknologi dan media, kemudian membawanya menjadi bagian karya seni di ruang pamer.

Ketertarikan saya pada teknik animasi dan motion graphic mulai bergeser ke visual generative dan interactive berbasis coding sekitar akhir tahun 2019. Saya menggunakan perangkat seperti single board computer dengan sensor-sensor dan programming sederhana untuk mengolah image audience yang sedang melihat

karya. Saya melepaskan kuasa pada karya saya dan membiarkan agen-agen lain dalam medan sosial seni rupa untuk membentuk visual dalam karya tersebut.

K: Mohon ceritakan proses berkesenian Anda, mulai dari ide hingga menjadi sebuah karya?

EP: Masalah selalu menjadi trigger utama dalam karya saya, masalah bisa didapat dari pengamatan saya sendiri di kehidupan sehari-hari, dari buku yang dibaca, berita, ataupun dari kuratorial pengantar pameran. Faktor utama ini kemudian dihubungkan dengan teknik dan visual yang sedang saya kembangkan, menghasilkan karya yang relevan dengan masalah tetapi juga tetap sesuai dengan perjalanan kekaryaan saya.

Seni media menuntut kesadaran medium dari senimannya, tidak hanya permasalahan visual, medium yang dipilih dalam suatu karya sudah merupakan sebuah statement tersendiri dan dapat berbicara banyak mengenai permasalahan yang diangkat.

K: Anda telah memenangkan banyak penghargaan, apakah kompetisi dan penghargaansesuatu yang menarik untuk Anda ikuti, apa alasannya? Bisa dijabarkan penghargaan apa saja?

EP: Kompetisi dan penghargaan seni adalah satu alternatif untuk dapat tetap exist di dunia seni rupa kontemporer, selain jalur mainstream market. Saat awal saya baru mulai berkesenian, seni media adalah medium karya yang sangat sulit untuk dikoleksi, mengikuti kompetisi terutama yang berformat undangan terbuka adalah cara saya agar tetap dapat memamerkan karya seluas-luasnya saat itu.

Award yang pernah saya ikuti antara lain, Indonesia Art Award, Yayasan Seni Rupa Indonesia, 2013, Finalist Soemardja Award, Galeri Soemardja ITB, 2013, Finalist Young Artist Award, ArtJog, 2013, Finalist Bexco Young Artist Award, Busan Art Show, 2014, Finalist Young Artist Award, ArtJog, 2014, Winner Indonesia Art Award, Yayasan Seni Rupa Indonesia, 2014, Finalist BaCAA Bandung Contemporary Art Award, ArtSociates, 2014, Finalist Art Jakarta x Treasury Art Prize, 2023, Winner

K: Selain berkesenian apakah ada kegiatan atau hoby lain? Apa saja kegiatan Anda diluarberkesenian?

EP: Sebisa mungkin saya meluangkan waktu untuk beristirahat. Tidur, menonton film, bermain game, membaca, dan merapihkan dan memperbaiki hardware / peralatan di studio adalah hal-hal yang biasa saya lakukan saat tidak disibukkan dengan urusan berkesenian maupun pekerjaan

K: Apakah Anda juga suka membaca buku, apa buku favorit Anda? ( dalam dan luar negeri) dan mengapa ?

EP: Saya tidak terlalu banyak punya kesempatan untuk membaca buku. Biasanya saya mendengarkan buku dalam format audio book, di perjalanan, sambil mencuci piring, menjelang tidur, dan lain kesempatan.

Saya menyukai topik mengenai asal-usul umat manusia dan sejarah global. Buku-buku Yuval Noah Harari sangat menarik bagi saya, meskipun banyak mendapat kritik karena beberapa fakta-faktanya yang dianggap tidak akurat, tetapi penuturan dan penulisannya yang luwes dan mudah dicerna mungkin bisa membuat pembacanya tidak peduli lagi dengan kebenaran. Buku ini menawarkan banyak pemikiran baru yang tidak konvensional dan mampu menjelaskan secara rasional fenomena-fenomena irasional seperti tatanan negara ataupun agama.

Untuk seri-seri karya saya terdahulu, saya juga banyak membaca buku-buku dari Haryoto Kunto mengenai sejarah Kota Bandung, kota tempat saya tinggal dan bekerja sekarang ini. Menarik bagi saya untuk menelusuri jejak-jejak peninggalan dari cerita di buku ini yang masih bisa ditemukan di masa sekarang di Kota Bandung.

K: Adakah seniman panutan Anda? Siapa dan mengapa?

EP: Sejak dulu saya selalu suka dengan karya-karya Maurizio Cattelan. Karya-karyanya mengandung satir dan witty yang sepertinya diciptakan dengan tidak serius, tetapi dapat memantik diskusi dan perenungan lebih jauh. Termasuk juga karya barunya yang berjudul “Comedian”, menurut saya karya ini sangat menggambarkan kondisi seni rupa kontemporer saat ini.

Sementara untuk seniman Indonesia, bagi saya Asmudjo (yang juga merupakan seorang kurator, penulis, da

pengajar) adalah sosok yang unik dan khas, baik dalam karyanya maupun di keseharian.

K: Adakah obsesi dalam berkarya yang belum kesampaian atau akan Anda wujudkan kedepannya?

EP: Mungkin tujuan akhir dari kesenian saya adalah membuat suatu karya dengan effort serendah mungkin tetapi sambil meyakinkan medan sosial di sekitar untuk menghargai karya tersebut dengan nilai setinggi mungkin. Karya seperti “Comedian” bisa jadi adalah suatu capaian effort-to-value ratio yang ingin saya wujudkan di masa depan.

K: Pesan untuk anak-anak muda yang mulai berkesenian dan ingin menjadikan seni menjadi jalan hidupnya

EP: Seni adalah bentuk ekspresi yang menurut saya harus dilakukan oleh setiap orang, apapun profesinya. Berkesenian adalah kegiatan yang dapat memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia. Tanpa tujuan dan tuntutan yang jelas, bukti-bukti temuan penciptaan seni dapat ditemukan sejak awal peradaban umat manusia.

Seni sebagai jalan hidup dalam artian sebagai profesi dan sumber penghasilan mungkin berbeda dengan pengertian seni yang umum ini. Seni rupa kontemporer memiliki cara bermain yang lain yang mungkin tidak seperti dibayangkan orang kebanyakan.

Anggapan umum bahwa seniman sukses adalah seorang maestro yang hanya bekerja terus menerus di studio menciptakan karya masterpiece tidak lagi berlaku. Sama seperti banyak komoditas lain di era ini, faktor kemampuan pemasaran, self-branding, dan juga jejaring sosial sangat berpengaruh pada karir seorang seniman.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.