Garin Nugroho: “ Pemimpin Jangan Hanya Menjadi Mandor Korporasi!”
Cuaca pada hari Minggu petang (10/11) masih menyisakan mendung di langit Jakarta. Namun ini tidak mengurangi antusiasme publik untuk melangkahkan kaki menuju Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Malam itu, bertepatan dengan Hari Pahlawan, TIM kembali mengundang budayawan atau akademisi untuk menyampaikan Pidato Kebudayaan, yang mereka sebut sebagai “Suara Jernih dari Cikini”.
Tahun ini pidato kebudayaan disajikan oleh Garin Nugroho, seorang seniman, sineas, sutradara, dan budayawan. Selama dua jam lebih, Garin mengkritik, memprotes, mempertanyakan dan menggugat kerja-kerja pemerintah selama sepuluh tahun dipimpin Jokowi, dalam pidato bertajuk,”Balas Budi untuk Rakyat”.
“Garin dalam bahasa Minang adalah penjaga masjid, jadi kalau saya sedang ke Minangkabau maka masyarakat di sana akan memanggil saya,”Garin, Garin, kalau mau masuk masjid,” ujarnya sebelum berpidato. Seterusnya dia menambahkan dua tangannya bekerja secara bersamaan untuk bekerja, sekaligus menegur pemerintah melalui karya-karya sinematografi dan pesan layanan untuk masyarakat. Ia menyampaikan tujuh pesan penting untuk Presiden Prabowo terkait strategi mengembangkan kebudayaan di Indonesia.
“Pemerintahan Presiden Prabowo seharusnya mampu mewujudkan seni dan budaya sebagai hak asasi yang sejajar dengan hak politik dan hak ekonomi. Hak atas budaya dan seni merupakan hak dasar masyarakat sipil yang wajib didukung, dikembangkan, dilindungi dan diberi ruang untuk tumbuh subur dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa,” ungkap Garin.
Bekerja secara produktif di bidang perfilman sejak 1981, Garin mengaku telah bekerja sama dengan seluruh pemimpin Indonesia pascaera Soekarno. Maka lahir beragam dokumenter terkait lingkungan hidup, kesejahteraan masyarakat, dan yang paling diingat oleh masyarakat: serangkaian iklan sosialisasi Pemilu 1999. Garin kala itu menampilkan seorang perempuan asal Indonesia Timur, dengan jargonnya yang terkenal,”Inga, Inga!”
Garin juga memutar cuplikan film-filmnya sepanjang era Reformasi hingga masuknya budaya pop, mulai dari Cinta Dalam Sepotong Roti, Sang Pencerah hingga Aach.. Aku Jatuh Cinta. Dalam empat dekade, ia terus berkarya secara produktif untuk diputar baik di Indonesia maupun di luar negeri. Seluruh karyanya sangat kental bernuansa keragaman budaya Indonesia. Dengan modal kuat kebangsaan, ironisnya, ia mencatat minimnya pemimpin yang memiliki imajinasi membayangkan Indonesia ke depan.
“Kita membutuhkan pemimpin-pemimpin yang mau berimajinasi dan di dalamnya terdapat keberanian untuk melakukan terobosan demi kemajuan bangsa ke depan, dalam kerja nyata melalui strategi kebudayaan,” tegas Garin. Belajar dari sejarah, ia mengingatkan saat para pemimpin Nusantara tidak mumpuni dalam menghadapi perubahan zaman. Mereka hanya menjadi mandor dari korporasi besar yang mengincar sumber daya alam Indonesia dan sumber daya tenaga kerja warga Indonesia.
“Untuk menjaga pamor agar tidak terlihat sebagai mandor, para pemimpin
tersebut seringkali mengulang pencitraan gaya raja Jawa, meski kejam dan mengeksploitasi rakyat untuk kepentingan diri, keluarga, dan oligarki, tetapi tetap terlihat populer. Padahal, sesungguhnya kapasitas mereka hanya mampu mandor bagi korporasi,” kata Garin.
Sedangkan pada era revolusi teknologi, Garin ‘menyentil’ pemerintahan Jokowi yang gagal memanfaatkan momentum untuk melakukan lompatan peradaban baru.
“Pemerintahan Joko Widodo di era serba digital gagal menjadikan revolusi
teknologi sebagai pendorong peningkatan kualitas warga dan penyelenggaraan negara. Kenapa? Karena negara tidak dikelola sebagai pemerintahan, tetapi selayaknya organisasi hiburan berbasis digital, yang disertai ambisi kekuasaan politik dan ekonomi yang banal. Bahkan, ruang publik media baru menjadi ajang pameran yang membosankan, proses politik dan hukum serta kehadiran politisi yang tidak beretika,” kritik Garin.
Sebagai bentuk balas budi kepada rakyat, ujar Garin, Presiden Prabowo perlu membentuk strategi budaya untuk mengelola revolusi industri 4.0 dan 5.0 untuk mengembalikan hak-hak warga negara sebagai landasan kebangkitan bangsa.
Garin kemudian menutup pidato kebudayaannya dengan memutar cuplikan dokumenter penangkapan seorang tokoh adat Papua saat sedang melakukan upacara.
“Dokumenter ini belum pernah saya putar di mana-mana,” ungkap Garin seolah ingin menunjukkan betapa isu pemisahan diri dari NKRI di Papua belum usai hingga sekarang.
Pidato Kebudayan pertama kali digelar pada tahun 1969 dan menjadi tradisi tahunan pada setiap tanggal 10 November, bertepatan dengan ulang tahun Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Dewan Kesenian Jakarta secara konsisten menyajikan persoalan-persoalan penting dan aktual dan memperdengarkan ‘suara jernih’ yang membawa gagasan bernas dari tokoh-tokoh terpilih.
Foto: Dok. DKJ