Natasha Tontey, Seniman Muda Di Antara Fiksi dan Mitos Sejarah dengan Visi Kontemporer
Natasha Tontey seniman muda berdarah Minahasa, Sulawesi Utara, dikenal sebagai seniman yang tidak hanya produktif, tetapi juga karyanya yang unik. Ia menggabungkan seni pertunjukkan, instalasi, seni rupa dan film, dan juga dikenal aktif berpameran di dalam dan luar negeri.
Rangkaian karyanya dipamerkan pada pameran solo di Auto Italia, London (2022). Pertunjukan dan pemutaran grup terpilih di Festival Film Internasional Singapura ke-34, Festival Film Internasional Karlovy Vary ke-57 (2023), Singapore Biennale (2022); De Stroom Den Haag (2022); GHOST; 2565, Bangkok (2022); Protozone8 Queer Trust, Zürich (2022); Arko Art Council, Seoul (2022), Leeum Museum of Art, Seoul (2022); Hamburger Bahnhof, Museum für Gegenwart, Berlin (2021); transmediale, Berlin (2021); Performance Space 2021, Sydney; Other Futures, Amsterdam (2021); Festival Film Internasional Singapura (2021), Kyoto Experiment 2021; Asian Film Archive, Singapore (2021).
Berikut catatan wawancara Kultural Indonesia dengan seniman perempuan yang telah mendapatkan HASH Award dari ZKM, Center for Art and Media Karlsruhe and Akademie Schloss-Solitude pada tahun 2020 dan penerima manfaat program Human Machine of the Junge Akademie dari Akademie der Künste Berlin 2021–2023.
K: Bisa diceritakan bagaimana Anda dengan perjalanan karir hingga memutuskan untuk menjadi seniman?
NT: Cita-cita saya sejak kecil selalu berubah seiring waktu, pernah ingin jadi pelukis, fashion designer, graphic designer, dan menjadi lawyer saya juga pernah kepikiran. Waktu SMA saya mengikuti ekskul fotografi dan dilanjutkan dengan ikut workshop di Galeri Foto Jurnalistik Antara. Namun saya merasa salah tempat.
Waktu di UPH saya ketemu dosen yang sangat menginspirasi yaitu Max Suriaganda yang kemudian saya bekerja di Studi desain yang diprakarsai Max. Saya sangat menikmati pekerjaan saya sebagai desainer grafis yang juga bekerja sebagai desainer apparell tetapi saya juga ingin mengembangkan karir saya sebagai seniman. Ketika masih kerja kantoran saya juga sering ikut workshop-workshop kesenian dan waktu itu saya diundang residensi di MES 56 oleh Mas Wok the Rock. Pada saat itu saya memutuskan untuk resign dan mencoba jalan baru.
K: Bagaiman dukungan keluarga dalam berkesenian Anda?
NT: Orang tua saya mungkin tidak mengerti apa yang saya lakukan tapi mereka selalu mendukung saya untuk saya terus mencapai kesukaan saya.
K: Anda dikenal sebagai seniman yang berasal dari Minahasa, bagaimana kehidupan dan budaya Minahasa mempengaruhi kehidupan Anda?
Saya tertarik untuk melihat pengetahuan leluhur dengan visi kontemporer, melihat kemungkinan untuk menghasilkan jenis penceritaan yang baru. Saya berpikir bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan spiritualitas, animisme, dan transendental tidak harus dipandang sebagai sesuatu yang kuno atau ‘tradisional’. Banyak warna yang berkaitan dengan ritual sering dikaitkan dengan sesuatu yang alami, namun berdasarkan pengalaman saya melakukan ritual, saya merasa dikelilingi oleh spektrum warna-warni—hampir seperti pengalaman magis yang psikedelik.
Saya rasa konsep ini kemudian diterjemahkan ke dalam medium juga, bagaimana saya mendekati medium dan mengapa penting bagi saya untuk menerapkan teknologi modern dalam memahami pengetahuan kuno, kosmologi, dan spiritualitas. Perasaan tentang hal yang tidak dikenal dengan cara yang puitis.
K: Dalam banyak tulisan, Anda dikenal sebagai seniman yang banyak menampilkan mitos dan sejarah dalam masyarakat sebagai manufaktur ketakutan, bisa dijelaskan maksud dari konsep tersebut?
NT: Selama beberapa tahun terakhir, saya telah memfokuskan praktik artistik saya dalam mengeksplorasi tema fiksi, terutama catatan fiksi tentang sejarah dan mitos seputar ‘ketakutan yang direkayasa’ sebagai metode spekulatif fiksi dan bagaimana hal itu menentukan ekspektasi masa depan. Dalam praktik, saya mengamati kemungkinan adanya masa depan lain yang diproyeksikan bukan dari perspektif institusi besar dan mapan, melainkan dari perjuangan halus dan pribadi entitas dan makhluk yang tersisihkan.
Sepanjang penelitian artistik, saya menemukan bahwa mitos dan cerita yang dibangun di persimpangan antara kenyataan dan fiksi adalah subjek yang sangat menarik. Saya menggunakan praktik saya sebagai mode spekulatif untuk mengekspos batasan ruang antara alam dan budaya, di mana ruang ini sering kali diisi oleh sensibilitas terhadap yang nyata dan fantasi yang jauh, antara fakta dan yang tidak faktual.
Sebagai orang Indonesia, saya juga tertarik untuk melihat bagaimana otoritas memproduksi fiksi—melalui ketakutan yang dimanifestasikan dalam bentuk ‘tidak nyata’—untuk mengendalikan dan memusatkan masyarakatnya, serta menjauhkan mereka dari konsep commons dan kosmogoni adat.
Melalui karya, saya mencoba mengembangkan eksplorasi aspek fiksi dalam ilmu pengetahuan, politik, dan teori—dalam cara yang mencerminkan fiksi ilmiah, fiksi politik, dan fiksi teori. Sebagai metode presentasi, saya menggabungkan objek digital dan objek fisik dalam satu rangkaian; mengimplementasikan teknik representasi kontemporer.
K: Anda dikenal sebagai seniman yang menggabungkan berbagai unsur seni, seperti visual, pertunjukkan, fiksi , instalasi dan sebagainya, bagaimana Anda memulai berkesenian dengan konsep seperti itu?
NT: Saya hanya mencoba untuk menggabungkan hal-hal yang saya sukai dengan mencoba-coba dan bereksperimen. Sampai sekarang saya belum mendapatkan metode yang cocok, atau mungkin tidak ada metode yang cocok untuk semua hal.
K: Bagaiman proses dalam berkesenian dan melibatkan banyak unsur? Dari mulai ide hingga menjadi produksi seni?
NT: Tentunya kolaborasi dengan banyak pihak karena untuk membuat suatu proyek melibatkan banyak kerja-kerja material maupun imaterial. Yang kadang luput adalah kerja reproduktif atau kerja-kerja perawatan untuk sekitar dan diri sendiri karena itu sangat menunjang produksi karya seni.
K: Apa referensi atau sumber inspirasi anda dalam berkesenian, musik, film atau buku? Apa saja musik/ film atau buku yang menjadi favorit Anda?
NT: Saya sangat terinspirasi dengan tontonan-tontonan masa kecil saya seperti Tuyul dan Mbak Yul, Jin dan Jun, telenovela, John Waters, Ozzy Syahputra. Kemudian kalau musik saya sangat suka Sun Ra.
K: Ada seniman yang menjadi panutan Anda?
NT: Seniman panutan saya adalah Mella Jaarsma, Georgina Starr, HIto Steyrl, Jon Rafman, dan Tamara de Lempicka. Karena mereka semua memiliki karya yang sangat inspiratif.
K: Sekarang Anda tinggal di Yogyakarta, mengapa memutuskan bertempat tinggal di sana?
NT: Karena kehidupan di Jakarta membuat saya merasa frustrasi dengan pekerjaan kantoran, saya ingin mencoba keluar dari zona nyaman dan mengeksplorasi hal-hal baru.
K: Apa harapan atau impian Anda dalam karir berkesenian ke depannya?
NT: Mungkin saya akan menetap di Sulawesi Utara.
Foto: Courtesy Audemars Piguet Contemporer
Dok. NT