Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

SAMBILAN RUANG DAN KEMERDEKAAN TEATER KOMUNITAS

SAMBILAN RUANG DAN KEMERDEKAAN TEATER KOMUNITAS

Teater Sambilan Ruang mengangkat keseharian masyarakat Minangkabau yang guyub sekaligus kepo, senang bergosip, namun tetap saling menolong dan berbagi. Panggung sederhana dan penggunaan bahasa Minang menjadi daya pikat penonton.

Musik saluang khas Minangkabau terdengar menandai pementasan berjudul Bayang Kaki Limo. Alkisah di sebuah pasar tradisional, beredar kabar bahwa si Pandi diringkus polisi di Padang, lantaran menjadi pengedar sabu-sabu. Berita ini seketika menggemparkan pasar dan seisinya. Pandi adalah anak lelaki Amak –perempuan paruh baya pedagang sayur. Tentu ia terkejut bukan main.

“Susah payah kau kusekolahkan, Pandi, sampai-sampai rela Amak tak makan, kenapa sekarang kau seperti ini?”, demikian Amak meratap sambil menyeka air mata dengan ujung kerudung putih.

Lakon ini menarik karena menampilkan karakter Amak yang baik hati dan tanpa pretensi. Orang-orang yang senang bergunjing dinilainya cemburu dengan keberhasilan orang lain. Ironisnya, justru orang-orang itu pula yang menyampaikan kabar tentang penangkapan Pandi.
Humor dalam bahasa Minang tak lupa diselipkan di sana sini dan pasar memang ibarat rumah kedua bagi masyarakat Sumatera Barat. Pasar sekaligus menjadi ruang yang memerdekakan setiap orang untuk mengekspresikan dirinya.

”Kami pentas di pasar, tanpa ada bantuan dana dari mana-mana, cerita diangkat dari kisah kehidupan sehari-hari, maka banyak kelompok seni di Sumatera Barat yang berpentas di pasar. Saat pertunjukan ada saja orang yang mengintip dari balik jendela, atau tiba-tiba muncul perkelahian! Saya bebaskan saja, namanya juga di pasar. Kami main teater memang untuk warga,” ungkap Fitri Noveri (Feri) dalam diskusi di Taman Ismail Marzuki Jakarta, sehari setelah pertunjukan.

Kemerdekaan dalam memilih tema dan lokasi pementasan sesungguhnya bukan hal baru dalam teater rakyat di Indonesia. Tak jarang para pemainnya berasal dari orang-orang yang tidak pernah belajar teater secara formal. Ini dapat dilihat mulai dari lenong (Betawi), ludruk (Jawa Timur), wayang orang (Jawa Tengah), hingga pertunjukan Miss Tjijih yang konsisten menggunakan bahasa Sunda hingga sekarang.

Nanik Kursani, pemeran Amak sekaligus istri Feri, menjadi pemeran utama merangkap pimpinan produksi hingga menangani konsumsi untuk para pemain dan kru.

“Saya ibu rumah tangga yang sehari-hari menjual sarapan pagi. Pendidikan saya guru, bukan teater. Kami mulai dari nol. Saya terlibat di Teater Sambilang Ruang sejak menikah, awalnya dulu untuk menambah SDM di bidang teater. Suami yang mengajari saya akting,” kisah Nanik sambil tersenyum.

Abdul Hanif, yang memerankan tokoh Dayat, aslinya adalah seorang petani. Seorang kenalan mengajaknya bergabung dengan Sambilang Ruang.

“Saya tidak tamat SD dan sehari-hari saya petani. Berteater itu ibarat punya keluarga baru dan diberi panggung untuk berkesenian. Saya belajar untuk keluar dari diri sendiri, lalu menjadi watak atau karakter orang lain,” kata Hanif.

Sutradara yang Fokus Kembangkan Teater di Nagari-nagari

Feri mendirikan Teater Sambilan Ruang di kampung halamannya, Lubuak Batingkok, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Ia belajar seni teater secara formal hingga meraih Magister di ISI Padang Panjang. Teater Sambilan Ruang didirikannya pada 11 November 2011 dan telah beberapa kali meraih penghargaan sebagai penampil terbaik dalam Festival Teater Remaja Sumatera Barat. Pada 2013, Teater Sambilan Ruang mendapatkan hibah Kelola dengan mementaskan naskah “Miss Julie” di Taman Budaya Lampung.

Feri belakangan memutuskan untuk berhenti sebagai dosen di dua Perguruan Tinggi demi fokus mengembangkan pendidikan kultural dan pengembangan teater di nagari-nagari (kampung-kampung). Ia mengaku masih kekurangan SDM aktor. Sejak itu ia mulai menulis naskah dalam bahasa Minang sekaligus menyutradarainya. Naskah pertama yang ditulis berjudul “Cadiak Patah” (2016), disusul dengan “Bayang Kaki Limo” (2022) dan “Renteng Lansai” (2024).

Teater Sambilan Ruang mencoba keluar dari lingkup akademis dan membentuk teater berbasis komunitas yang bergerak secara independen. Mereka meyakini bahwa tak ada larangan untuk menampilkan karya-karya yang dipentaskan secara non-konvensional. Pilihan itu justru senada dengan filosofi ‘sambilan ruang’ pada rumah gadang Minangkabau.

“Setiap ruang di dalam rumah gadang tidak selalu harus dibatasi dinding. Namun demikian, pada akhirnya ‘sambilan ruang’ tetap menjadi salah satu ‘ruang sambilan’ dari sekian banyak ruang dalam kehidupan yang belum sempat kami ekspresikan,” kata Feri.

Sambilan Ruang pada akhirnya mengingatkan kita bahwa tradisi lisan nusantara adalah pengikat budaya, yang bertahan di tengah-tengah serbuan komunikasi digital. Mereka tak sekedar berpentas di keramaian dan membawakan lakon yang dekat dengan keseharian masyarakat, tetapi juga menampilkannya dalam bahasa lokal di luar wilayah Minangkabau. Di titik ini, ikhtiar Feri dan kawan-kawannya sangat patut diapresiasi.

Foto: Wella Madjid | Kultural Indonesia

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.