Conversation With ̶N̶o̶ Things, Pameran 29 Karya Finalis Basoeki Abdullah Art Award 2025 di Galeri Nasional
Galeri Nasional menyelenggarakan pameran dari karya-karya 29 Finalis peserta Basoeki Abdullah Art Award 2024, dengan judul Conversation With ̶N̶o̶ Things. Pameran ini berlangsung mulai 22- November hingga 8 Desember 2024.
Museum Basoeki Abdullah yang bernaung dibawah Indonesia Heritage Agency, telah menyelenggarakan untuk kelima kalinya kompetisi seni rupa, Basoeki Abdullah Art Award 2024 (BAAA#5). Kompetisi ini diikuti oleh 1.075 peserta dari seluruh Indonesia yang terdiri dari perupa muda dengan rentang umur 17-35 tahun, melebihi ekpektasi 1000 peserta.
Awalnya BAAA bertujuan untuk mengenalkan sosok Basoeki Abdullah pada para perupa muda, selain juga untuk menjembatani perubahan dan perkembangan seni yang muncul dewasa ini. Dalam perkembangannya, ajang BAAA menjadi “terminal” informasi terkait perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia, seperti layaknya Sang maestro yang membuka percakapan dengan generasi muda perupa jaman sekarang.
Yang menarik dari pameran ini, jika ke-4 penyelenggaraan sebelumnya, sejak tahun 2013, selalu mengutamakan tema yang terkait dengan sosok Basoeki Abdullah. Kali ini meniadakan Batasan topik serta media karya sehingga terbuka dengan gagasan baru.
Kemudian lima anggota juri yakni Alia Swastika, Amalia Wirjono, Mikke Susanto, Ricky Pesik, Wiyu Wahono mulai bekerja bersama tim panitia internal Museum Basoeki Abdullah untuk melakukan penilaian. Lalu terlihat para peserta seperti Mikke Susanto, kurator dalam pameran ini menjelaskan bahwa Sejumlah 29 karya seni visual yang terseleksi BAAA #5 terlihat mendedahkan ragam percakapan dengan hal-hal di sekitarnya. “Mereka yang terpilih bercakap tentang kesehatan mental & keterasingan manusia, displaced, kerinduan pada kampung, cakap teknologi, persoalan sampah, alam, perkotaan, pelestarian budaya, politik dan hukum, sampai percakapan tentang warna dalam karya seni. Dari karya-karya mereka termaknai bahwa seni visual Indonesia saat ini tengah dilanda ragam percakapan yang mengusik keberadaan kita sebagai manusia,“ ujar Mikke.
Pada 21 November 2024, pameran telah dibuka secara resmi oleh Menteri Kebudayaan Dr. Fadli Zon. Dalam kesempatan ini juga diumuman 5 pemenang kompetisi BAAA#5 dan masing-masing pemenang mendapat hadian berupa uang tunai sebesar Rp 100.000.000,-
Mereka adalah :
- Agnes Hansella – First of the Gang.
Perupa lulusan Fakultas Film dan Televisi IKJ dan Pasca Sarjana Sound Design Vancouver Film School Kanada ini memulai fokus barunya dalam seni Makrame ( anyaman simpul dari serat kain) sejak tahun 2017.
Terinspirasi dari peristiwa pandemi Covid-19, ia mempelajari virus dan menemukan bentuk pemahaman baru tentang virus yang lebih elegan dari sebuah artikel. Karyanya tentang perkembangan virus menuju inangnya yang baru. - Angela Sunaryo – Kerokan.
Dalam karyanya, perupa lulusan Seni Rupa ITB ini mengambil kebiasaan kerokan, kegiatan menggores kulit dengan koin dan minyak, yang digambarkan dalam sebuah video pertunjukkan menampilkan seorang gadis (yang diperankan oleh Angela sendiri ) yang sedang dikerok punggungnya oleh perempuan lain. Dengan karya “ Kerokan: Unveiling the Healing Art” seniman asal Bekasi ini mengubah ritual penyembuhan ala masyarakat Indonesia, kerokan menjadi metafora untuk isolasi sosial dan emosional.
Tindakan kerokan yang berulang mencerminkan sifat alienasi yang membekas, sementara bekas merah tersebut menjadi bukti dari perjuangan dan resiliensi.
Pertunjukan ini menggabungkan suara kenong, alat musik Jawa, yang menandai momen
refleksi dan menciptakan lanskap suara yang mencerminkan perjalanan melintasi
batas-batas budaya. - Asmoadji – Bercermin pada Sekitar.
Perupa otodidak kelahiran 1995 asal Jakarta ini, menyajikan karya dengan ide dasar tentang pembangunan, kehidupan urban yang memberikan dampak bagi lingkungan dan kehidupan sosial bagi warganya.
“Bercermin Pada Sekitar” menampilkan ironi fasad dan realita kehidupan urban. Kaca-kaca pada gedung-gedung pencakar langit di kota merefleksikan pemandangan sekitarnya, menampilkan kemegahan dan kesuksesan pembangunan. Namun, yang tidak tampak pada refleksi tersebut adalah yang terselip, tersembunyi dalam kerendahan, area perkampungan dengan rumah-rumah beratap seng yang berdesakan, bertumpuk, berusaha mengejar cepatnya pembangunan. - Suvi Wajyudianto – Billboard Tak Berwarna dan Utopia Pasca Ingatan
Seniman Asal Bangkalan Madura ini adalah lulusan Pasca Sarjana Seni Rupa ITB. Karya seni Suvi berupaya untuk mengungkap perspektif alternatif, mendorong dialog dan empati dalam konteks pascakonflik.
Dalam karya Suvi di BAAA#5 ini menyajikan foto dalam bentuk billboard dan video pertunjukkan tentang bagaimana menyikapi pasca konflik etnis antara Madura dan Dayak beberapa waktu yang lalu dengan mengajak seniman asal Kalimantan, Aloysius yang berdarah Dayak untuk berkolaborasi.
Dalam billboard ini tergambar potret dua orang anak muda dari dua suku yang berbeda. Dua suku yang berseteru dalam peristiwa konflik etnis Sambas. Dua anak muda itu tampak
berdiri di bibir pantai melakukan performatif yang dingin dan sepi untuk mengucapkan
makna yang ingin terbebaskan, bebas dari upaya yang keras dari sekian waktu menagih
janji-janji akan masa depan. - Syaura Qotrunadha – Alterasi Kisah Sang Pengelana
Perupa muda bergelar Master of Fine Arts dari Goldsmiths, University of London tahun 2024 mendapatkan ide karyanya saat bekerja bersama Lokananta untuk proyek pengarsipan digital pada tahun 2014-2016.
Dalam proyek tersebut, ia menemukan banyak arsip audio, khususnya piringan hitam, yang
belum pernah terdengar sebelumnya. Selain berisi rekaman wayang dan pengajian, berbagai
arsip audio ini banyak memuat album lagu tradisi dari berbagai daerah yang diaransemen
ulang, serta beberapa lagu pop folk yang sengaja diciptakan pada kurun waktu 1956-
1964 untuk membangun identitas kebudayaan Indonesia baru setelah masa pasca-penjajahan dan perang.
Dalam konteks karya instalasinya Syaura memilih delapan lagu dari daerah yang berbeda-beda termasuk Sin Sin So, Kemane Die, San-san, Rambang, Surat Undangan, Njanji dan Nari, Hela Dajung dan Dajung Sampan. “Dibuat dengan model video karaoke, diharapkan lagu-lagu ini dapat dengan lebih mudah diserap oleh siapapun dan menawarkan cara baru untuk aktivasi arsip Sejarah, “ Ujarnya.
Foto: Ferry Irawan | Kultural Indonesia