Edy Utama, Pamerkan Foto-Foto Etnofotografi Silat Minangkabau di Makara Art Center, Universitas Indonesia
Makara Art Center, Universitas Indonesia, Depok – Jawa Barat, menyelenggarakan pameran etnofografi karya Edy Utama dengan tajuk Pauleh : A Bridge for Cultural Diplomacy. Pameran diselenggarakan mulai 20-25 November 2024. Kemudian dilanjutkan di Warsawa, Polandia pada 5 Desember 2024 – 10 Januari 2025
Sebanyak 41 bingkai foto terpampang di dinding pameran di selasar Makara Art Center. Foto-foto tersebut telah lama menjadi koleksi Edy Utama sebagai fotografer professional. Pria asal Sumatera Barat ini dalam pameran dibantu oleh kurator Gunawan Wicaksono, redaktur foto dari Majalah Tempo.
Sebagai orang Minang, Edy telah banyak mengkoleksi foto-foto bertemakan pencak silat (silek sebutan dalam Bahasa Minang), dan ikut dalam komunitas tradisi silat Minangkabau tersebut. Saat UNESCO menetapkan pencak silat sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda pada tanggal 12 Desember 2019 di Bogota, suatu kebanggaan tersendiri bagi komunitas pencak silat termasuk Silat Minang.
Hal ini memicu kembali Edy untuk menggali lebih dalam tradisi Silat Minang. Mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat ini kemudian mengeksplorasi tradisi Pauleh.
Silat menjadi ketrampilan wajib bagi anak laki-laki yang beranjak dewasa dan tinggal di surau dalam masyarakat matrilineal Minangkabau. Di wilayah yang terkenal dengan Rumah Gadangnya ini, tradisi pencak silat tumbuh melalui sasaran atau arena. Biasanya tiap wilayah daerah mempunyai arena yang dipimpin oleh seorang pesilat senior yang disebut Silek Tuo. Tiap wilayah biasanya saling berkunjung antar arena seperti sebuah arisan.
Dalam pameran ini difokuskan pada dua kegiatan budaya Silat Minang, yaitu Ulu Ambek dan Silat Gelombang. Ulu Ambek merupakan sebuah pertunjukkan pencak silat yang terstruktur secara rumit yang dilakukan di atas laga-laga atau Pauleh.
Pauleh adalah tempat dengan peyangga atau penyambung, terbuat dari bambu. Manjadi lantai pertunjukkan silat Ulu Ambek. Dalam pertunjukkan silat ini berbeda dengan pertunjukkan silat yang lain yang menjadi ajang adu kekuatan dan ilmu, untuk menjadi pemenang terhebat.
Kedua pesilat dalam Ulu Ambek, tidak bersentuhan. Mereka fokus dalam bertanding jarak jauh yang disebut silat bayang. Permulaan pertandingan, hingga akhir, dilakukan dengan ritual dan gerakan dengan aturan tertentu. Seperti saling menghormat dan memberi salam ke penonton dengan arah empat penjuru mata angin.
Sedangkan silat gelombang adalah bagian dari adat untuk menyambut tamu dalam acara tertentu. Satu kelompok mengiringi tamu yang datang, lainnya mewakili tuan rumah sebagi penyambut.
Pertunjukkan pencak silat dalam tradisi Minangkabau dilakukan dengan simbol-simbol kebudayaan. Menempatkan nilai-nilai silaturahmi dan persaudaraan. Tidak ada kesan terbaik atau juara. Kehormatan seorang pesilat dinilai dari sikap rendah hatinya dan menjaga kehormatan diri dan komunitasnya.
Keindahan dan etika dalam pertunjukkan pencak silat di arena menjadi hal yang utama. Melalui sikap ini, terbentuklah sebuah jalinan silaturahmi antar pesilat dan berkembang menjadi silaturami sosial yang sangat kuat.
Gunawan Wicaksono menjelaskan bahwa dalam foto-foto karya Edy Utama terlihat sangat alami dan tidak dibuat-buat. “Hal ini menjadikan kita bisa melihat pencak silat Minangkabau sebagai tradisi yang sarat dengan nilai – nilai kebudayaan dalam foto-foto tersebut. Nilai Silaturahmi menjadi nilai utama, diawali dengan silat lidah dan sila(t)urahmi sebagai upaya bela diri juga secara dilpomatif, dengan pertemuan dan kunjungan serta dialog, sehingga tanpa bertanding secara fisik sebagai pilihan terakhir, segala persoalan dapat diselesaikan”.
Edy Utama menjelaskan, “Silat dalam budaya Minangkabau sebagai tradisi sangat penting untuk membangun ketahanan budaya kita ke dalam dan keluar sebagai alat diplomasi budaya.”
Pameran dibuka secara resmi pada tangga 20 November 2024 oleh Menteri Kebudayaan Dr. Fadli Zon S.S, M.SC dan didampingi oleh Kepala Makara Art center Dr. Ngatawi Al Sastrouw S.Ag, M.Si.
Foto: Ferry Irawan | Kultural Indonesia