Festival Dongeng Internasional Indonesia (FDII) 2025 Kala Rempah Mengikat Cerita dan Rasa
Puluhan anak sejak pagi memenuhi auditorium Museum Bank Indonesia Jakarta,
pada Sabtu-Minggu, 1-2 November 2025. Tak hanya anak-anak, bahkan bayi dan
balitapun ikut, terbukti dengan deretan stroller di area penitipan. Bersama belasan
pedongeng terpilih, mereka menyaksikan aneka kisah dongeng bertema rempah,
dan sesekali berinteraksi langsung dengan para pendongeng. Selain Museum Bank
Indonesia, acara juga berlangsung di Museum Bahari, di Jalan Pasar Ikan, Jakarta
Utara.
Festival Dongeng Internasional Indonesia (FDII) 2025 menghadirkan pendongeng
dari dalam dan luar negeri dengan mengusung tema “Kisah Rempah”. Festival ini
menelusuri kekayaan cerita rakyat dan sejarah rempah, yang pernah
menghubungkan Nusantara dengan dunia.
“Kiranya melalui tema Kisah Rempah anak-anak bisa kembali melihat
kekayaan, kemasyhuran dan sejarah perjalanan bangsa Indonesia dan merasa
bangga, kenal dan dekat dengan sejarah bangsa”, ungkap Hendra Bawole, Direktur
FDII 2025.
Rangkaian kegiatan FDII 2025 telah dimulai sejak pertengahan tahun melalui
berbagai program Road to FDIl 2025. Dimulai dengan Konser Dongeng PM Toh,
pertunjukan maestro seni bertutur dari Aceh yang digelar di Taman Ismail Marzuki
pada Agustus 2025. Rangkaian berlanjut dengan Dongeng Kejutan ke Sekolah, yaitu
kunjungan para pendongeng nasional ke sekolah-sekolah di wilayah Jabodetabek
pada September hingga Oktober 2025.
Satu-satunya penampil internasional adalah Teater Štrik, kelompok pendongeng
interaktif asal Austria yang memadukan nuansa misterius, humor, dan kreasi visual
yang kuat, tanpa hambatan bahasa. Mereka terdiri dari Yves Braegger, Tea Kovše,
Marlies Franz, Jurij Torkar, Katarina Zalar, dan Christian Moser.
Alkisah ada kawanan bandit yang menculik anak perempuan (diambil dari salah satu
penonton). Mereka juga senang mencuri. Jejak si korban penculik bisa diketahui dari
informasi yang diberikan oleh penonton anak-anak. Mereka antusias menjawab
petunjuk dari narator. Beberapa ada yang sampai berteriak, tertawa, dan menangis
karena ketakutan. Seru! Sama sekali tak ada kendala bahasa karena ada Kak Putri
dari Ayo Dongeng Indonesia (Ayodi) sebagai penerjemah di panggung. Ikatan
pertama Teater Štrik terjalin di Klagenfurt pada tahun 2021, diawali dengan
pertemuan Tea Kovše dan Yves Brägger.
“Kami menolak untuk dibatasi oleh gaya tradisional, tetapi sambil belajar dan
berkembang. Kami menggabungkan berbagai teknologi boneka, selalu penasaran,
dan bereksperimen dengan prinsip-prinsip teater fisik,” kata Brägger kepada Kultural
Indonesia. Tema-tema yang dibawakan kerap kali lelucon dark jokes atau satir,
namun disesuaikan dengan alam pikiran anak-anak.
“Tapi meskipun dark jokes, lakon yang kami bawakan itu selalu penuh kegembiraan.
Anak-anak suka karena rasa takut itu tidak untuk tujuan buruk, tetapi memang untuk
menghibur mereka,” lanjut Brägger. Di tengah badai gadget yang merampas dunia
anak, dongeng dan panggung teater boneka sendiri masih sering dipentaskan. Tak
terkecuali di Eropa, tempat mereka berasal.
“Teater boneka masih sangat populer di Eropa. Selain banyak memainkannya di
berbagai festival, kami juga berpentas di sekolah-sekolah, jadi teater boneka bukan
hanya untuk penonton anak-anak tetapi juga sebagai tontonan untuk para orang tua
dan dewasa. Kami melakukan keduanya,” ungkap Tea Kovše.
Pendekatan fisik yang melibatkan penonton seringkali sukses dalam pertunjukan
teater atau dongeng anak. Agus Nur Amal atau PM Toh menambahkan pendekatan
lain agar dongeng lebih komunikatif. Dengan peralatan yang dibawa dan dibuatnya
sendiri, Agus siang itu ‘menyulap’ alam imajinasi anak-anak ke suatu desa yang
dihuni seorang anak perempuan bernama ‘Timun Mas’. Anak-anak diajak menerkanerka apa yang akan diperbuat sang raksasa terhadap Timun Mas. Tepuk riuh
penonton ibarat musik latar yang khas ditemui dalam pertunjukan dongeng PM Toh.
Selain PM Toh, beberapa pendongeng nasional yang hadir adalah Uncle James
dan Kak Neti, Riana Putri, Budibaikbudi, Arnel, dan para anggota ‘Ayo Dongeng
Indonesia’ (Ayodi). Keberagaman cerita dan gaya bertutur menjadi cerminan
kekayaan budaya bangsa yang hidup melalui suara dan imajinasi. Dari butir rempah
hingga kisah yang menyeberang lautan, FDII tahun ini ini mengingatkan kita bahwa
setiap cerita memiliki daya untuk menyatukan, menginspirasi, dan menumbuhkan
kebanggaan sebagai anak bangsa.
Foto: Dok. Ayodi

					
                





