Natasha Sondakh, Novelis Muda Indonesia di Dunia Sastra Barat

Pandemi Covid-19 telah mengguncang berbagai aspek kehidupan dunia. Begitu juga Indonesia. Aktivitas berpindah wahana dan ruang gerak menjadi terbatas. Namun, pada waktu yang sama teknologi memungkinkan kita untuk berinteraksi dan berkreasi tanpa batas.
Penulis Indonesia penerima penghargaan Natasha Sondakh membuktikan bahwa aktivitasnya sebagai penulis dapat terus berjalan selama pandemi. Bahkan, ia merasa bisa lebih fokus dengan karya penulisannya.
Di tengah-tengah pandemi 2021, Natasha meluncurkan novel perdananya, She Smells of Turmeric.
Novel ini bercerita tentang Cecilia Poetry, seorang perempuan keturunan Indonesia yang lahir dan hidup di Amerika Serikat yang memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah ayahnya meninggal dunia.
Keputusan ini didorong oleh keinginannya untuk mengenang dan melihat langsung keindahan Indonesia yang selalu diceritakan sang ayah semasa hidupnya.
Namun, kehidupan kota Jakarta membawa banyak kejutan.
Perbedaan pandangan, gaya hidup dan ketidaksukaan nenek dan kakeknya terhadap gaya hidup Barat membuatnya merasa tersingkir. Cecilia harus bertahan dalam menghadapi berbagai situasi dan perlakuan yang sangat berbeda dari apa yang dibayangkannya. Novel ini menjadi best seller nomor satu di Amazon.
Natasha Sondakh yang berasal dari Jakarta ini memiliki rasa cinta yang tinggi terhadap sastra. Ia bukan hanya penulis novel fiksi tetapi juga puisi, berbagai karya jurnalistik, dan penerjemah.
Karyanya telah diterbitkan di berbagai majalah sastra, serta diakui oleh University of Iowa, Columbia Univertsity of Iowa dan The Alliance for Young Artists & Writers. Puisinya, Lantern ditampilkan di pameran Art.Write.Now di beberapa kota di Amerika Serikat.
Berikut secuplik perbincangan kami dengan Natasha Sondakh.
Boleh ceritakan sedikit tentang proses penulisan sampai penerbitan buku She Smells of Turmeric, apa bagian tersulit dalam proses penulisan ini?
Banyak orang berpikir proses menulis buku itu adalah proses yang mudah, di mana alur dan tokoh/karakter cerita bisa mengalir menyesuaikan imajinasi si penulis.
Namun, sesungguhnya tidak semudah itu, menulis membutuhkan riset komprehensif dalam mengembangkan tokoh, latar serta membangun alur cerita hingga menjadi sebuah karya tulisan yang lebih berkualitas. Dari pengalaman saya, riset yang detil akan menguatkan kerangka ceritanya. Salah satunya dengan berseluncur di dunia maya hingga media sosial. Saya mendapat banyak ide dalam mengembangkan karakter/tokoh lewat profil Linkedln atau e-tabloid yang saya baca, sebelum menuangkannya ke dalam She Smells of Turmeric. Bahkan, saya menggunakan sebuah sistem pribadi untuk bisa melacak alur cerita dan tema sehingga tidak ada satupun detil cerita yang terlewatkan.
Kapan kamu tahu bahwa kamu ingin jadi penulis?
Hobi menulis ini saya temukan saat berusia 6 tahun. Ketika masuk kelas I SD. Orangtua saya sama sekali tidak mengizinkan saya untuk bermain gawai, sehingga saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku atau menulis sebuah cerita setelah menyelesaikan tugas sekolah.
Tanpa saya sadari, perlahan tapi pasti, menulis menjadi suatu hal yang saya sukai, dan saya pun jadi lebih bersemangat untuk mengembangkannya saat mendapat dukungan dari keluarga dan teman-teman.
Selain sebagai penulis, kamu juga seorang penerjemah. Kamu lebih senang disebut sebagai penerjemah atau penulis? Buku siapa yang sudah kamu terjemahkan?
Saya lebih senang disebut sebagai penulis, meski menurut saya, seorang penerjemah juga masuk ke dalam kategori penulis. Karena, seorang penerjemah terkadang menempatkan beberapa kreativitas ke dalam karya penulis, tanpa mengubah isi dari apa yang ingin disampaikan.
Menjadi penulis adalah cara saya mengekspresikan diri secara bebas baik dalam ide, pemikiran dan kreativitas. Saya menerjemahkan dua cerpen karya Ali Akbar Navis, berjudul Anak Kebanggaan dan Robohnya Surau Kami.

Siapa penulis yang sangat mempengaruhi gaya menulis kamu?
Roxane Gay. Di memoir Roxane yang berjudul Hunger, ia menceritakan tantangannya sebagai wanita kulit hitam yang gemuk. Meskipun apa yang dialami Roxane berbeda dengan saya tetapi saya secara pribadi bisa merasakan emosi dan kepedihan yang disampaikan Roxane dalam bukunya.
Sebagai penulis, saya sangat kagum dengan cara Roxane mengekspresikan pikiran-pikirannya ke dalam sebuah karya tulisan. Apa yang dituliskan Roxane sangatlah sederhana tapi berdampak.
Indonesia memiliki banyak penulis yang baik dan bagus tetapi, faktanya, masih sedikit sekali buku berbahasa Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa asing. Menurut kamu kenapa?
Menurut saya, besar kemungkinan ini dipengaruhi oleh jumlah penerjemah sastra Indonesia yang masih sangat terbatas.
Apakah ada penulis yang pada awalnya tidak terlalu kamu sukai tetapi dalam perkembangannya mulai mempengaruhi gaya penulisan kamu?
Penulis Rusia seperti Fyodor Dostoevsky atau Leo Tolstoy. Karena, hasil karya mereka begitu sulit untuk dipahami atau dicerna tetapi begitu kita selesai membacanya dan melihat gambaran secara menyeluruh, kita akan mengerti arah pemikiran psikologis yang coba dibangun oleh penulis dan pada akhirnya, mengubah hidup para pembacanya karena sangat brilian gaya penyampaian mereka.
Saat menulis, bagaimana kamu mengetahui bahwa sebuah karya sudah selesai?
Saya percayakan pada insting dan keberanian saya untuk mengeksplor gaya penulisan, mulai dari karakter, penokohan hingga alur cerita. Dan, biasanya, kita akan tahu dengan sendirinya ketika proses penulisan itu sudah mencapai titik akhir.
Siapa penulis Indonesia yang sangat kamu sukai?
Ali Akbar Navis. Buku AA Navis, Robohnya Surau Kami, sangatlah mendalam bagi saya karena di buku ini adalah kali pertama saya menemukan isu sosial Indonesia dalam sebuah karya sastra. Salah satu cerpen dalam buku ini yang berjudul Anak Kebanggaan juga menjadi inspirasi salah satu topik yang diangkat dalam alur cerita She Smells of Turmeric.
Genre favorit kamu apa? Dan saat ini buku apa yang sedang kamu baca?
Psychological thriller. Saya juga mulai suka membaca beberapa buku yang ditulis oleh penulis Jepang dan Korea Selatan. Saat ini, saya sedang membaca Breasts and Eggs karya Mieko Kawakami, How to Write an Autobiographical Novel oleh Alexander Chee dan White Ivy karya Susie Yang.