Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

Memperjuangkan Sang Paus Sastra

Memperjuangkan Sang Paus Sastra

HB Jassin, upaya menjaga sastra Indonesia
Beberapa waktu yang lalu, Rahmat Gobel selaku Wakil Ketua DPR RI mengusulkan HB Jassin layak dijadikan sebagai pahlawan nasional karena perannya yang begitu besar terhadap peradaban di Indonesia.

Hal tersebut disampaikan dalam seminar nasional bertajuk kepahlawanan HB Jassin di Gedung Abdul Muis, DPR RI. Selain Gobel, Fachry Ali yang merupakan seorang cendekiawan turut menyampaikan sambutan. Sementara nara sumber seminar adalah Oyon Sofyan selaku mantan karyawan HB Jassin dan Nirwan Dewanto, sastrawan.

Tak ketinggalan, Mahfud MD selaku Menko Polhukam juga turut menyampaikan pidatonya dalam acara tersebut. Seminar ini menjadi bagian dari susunan guna memperjuangkan Sang Paus Sastra Indonesia sebagai seorang pahlawan nasional. Lebih lanjut, Mahfud menyampaikan bahwa tahapan pemberian gelar pahlawan salah satunya yaitu toko tersebut harus diseminarkan lebih dulu.

Lalu, diwajibkan pula memenuhi beberapa aturan dan syarat lainnya. Setelahnya, Kementerian Sosial akan menentukan apakah tokoh terpilih atau tereliminasi untuk dilanjutkan ke Dewan Gelar.

“Dokumentasi adalah alat untuk memperpanjang ingatan, memperdalam, dan memperluasnya.”

Kira-kira, begitulah kata Jassin pada peresmian lembaga yang diberi nama Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin tahun 1977 silam, seperti dikutip oleh Pamusuk Eneste pada pengantar sebuah buku yang dituliskan oleh Jassin berjudul Surat-Surat 1943-1983 (1984: xvii).

Semasa hidupnya, Hans Bague Jassin atau dikenal dengan HB Jassin memang memiliki minat yang begitu tinggi terhadap dokumentasi dan karya sastra. Bahkan, Pamusuk Eneste mengatakan bahwa ketertarikan Jassin akan dokumentasi tidak berawal sejak tahun 1940-an, tetapi menjelang akhir 1920-an. Memang, pria kelahiran Gorontalo pada 13 Juli 1917 itu telah menyimpan semua buku miliknya secara teratur sejak menimba ilmu di HIS Balikpapan antara tahun 1927-1929.

Setelah menyelesaikan studi di HIS Balikpapan, Jassin kemudian melanjutkan pendidikannya di HBS Medan antara tahun 1932-1939. Setiap kali gurunya meminta semua siswa menulis laporan di buku, Jassin akan menyimpannya. Semua buku dan tulisannya sejak sekolah hingga berkuliah di Universitas Indonesia pun masih tersimpan rapi.

Sejak menimba ilmu di Medan, Jassin memang telah menulis untuk majalah dan surat kabar. Setelah menyelesaikan studinya, Jassin tidak lantas kembali ke kampung halamannya. Ia memutuskan untuk singgah sejenak di Jakarta dan bersua dengan Sutan Takdir Alisjahbana yang kala itu bekerja di Balai Pustaka.

Keduanya lantas berdiskusi tentang bahasa, sastra, budaya, dan banyak hal lainnya. Setelahnya, Jassin melanjutkan perjalanannya mengunjungi Bandung, Jogja, Solo, Semarang, Surabaya, Makassar, sampai akhirnya tiba di kampungnya di Gorontalo.

Rupanya, Sutan Takdir Alisjahbana begitu terkesan akan pemikiran HB Jassin. Pasalnya, beberapa hari setelah sampai di Gorontalo, Jassin mendapatkan surat dari Alisjahbana yang menawarkan posisi redaktur di Balai Pustaka. Sayangnya, Jassin harus menahan keinginannya untuk bekerja di Jakarta karena ayahnya ingin Jassin bekerja di Kantor Asisten Residen Gorontalo sebagai amtenar.

Setelah lima bulan tidak mendapatkan upah selama bekerja sebagai amtenar, HB Jassin kemudian memutuskan untuk melamar pekerjaan di Balai Pustaka pada tahun 1940 dan langsung diterima. Ia mulai mengerjakan dokumentasi sastra secara runut yang akhirnya menjadi salah satu warisan sastra paling berharga di Indonesia.

Ketekunan dan Warisan Berharga HB Jassin
Melalui buku berjudul Tifa Penyair dan Daerahnya dalam bab Dokumentasi Kesusastraan, Jassin menyebutkan ada dua hal dasar tetapi sangat penting yang berkaitan dengan dokumentasi sastra yang wajib diperhatikan. Pertama adalah ketekunan. Kedua adalah bagaimana dokumentasi tersebut dimanfaatkan. Ia beranggapan, modal paling dasar untuk merawat dokumentasi adalah ketelitian dan ketekunan dalam mengikuti semua kejadian yang terdapat di sektor kesusastraan, seperti tulisan dalam mahalan, koran, penerbitan, dan lainnya. Tak kalah pentingnya pula, bagaimana dokumentasi sastra ini dimanfaatkan. Hingga kini, telah banyak lembaga yang memiliki dokumen maupun arsip yang dapat diakses oleh publik. Sayangnya, arsip ini justru diperlakukan layaknya benda mati.

Inilah mengapa, melalui Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, sang pendiri berharap dokumentasi sastra yang dibangunnya bisa dijadikan sebagai bahan riset dan hasilnya dapat diterbitkan di banyak kanal, termasuk majalah, koran, buku, dan lainnya.

Seperti dikutip dari Isyarat: Kumpulan Esai (2007: 427), Sutardji Calzoum Bachri menuliskan, “Jassin adalah seorang kritikus yang sudah mendapatkan tempat yang jelas dalam sejarah kesusastraan kita. Penemuannya terhadap karya puisi penyair Angkatan 45, Chairil Anwar, dedikasinya yang luar biasa mendokumentasikan karya sastra, menyebabkan kita harus respek terhadapnya.”

Bahkan, Sutardji menambahkan, “Surat-suratnya pun, biar hanya secarik kertas kecil, akan menjadi besar artinya ditinjau dari sudut sejarah.”

Sebagai seorang dokumentator sastra, HB Jassin menunjukkan kepedulian yang tinggi terhadap karya pengarang tidak begitu baik dan belum berhasil. Baginya, karya tersebut justru memberikan peran krusial sebagai bahan sejarah kemajuan para penulis jika tulisannya diakui dengan tepat.

Peninggalan terbesar HB Jassin untuk negara yaitu hasil kerja kerasnya selama puluhan tahun yang kini tersimpan rapi di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Lokasinya ada di Jalan Cikini Raya Nomor 73, tepatnya di Kompleks Taman Ismail Marzuki. Sayangnya, selama beberapa masa, lembaga ini sempat tidak terjamah karena terbatasnya anggaran. Kini PDS HB Jassin dikelola oleh Pemda DKI di bawah Unit Pelayanan Teknis (UPT) Khusus.

HB Jassin meninggal pada 11 Maret 2000 di usia 83 dan dimakamkan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta bersama para pahlawan lain yang memiliki jasa besar bagi Indonesia. Berkat semua jasanya di dunia sastra, tak heran jika tokoh besar ini mendapatkan julukan sebagai Paus Sastra Indonesia.

Sumber foto: PDS HB Jassin

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.