Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

MENGENANG CHAIRIL ANWAR Si Binatang Jalang Genap 1 Abad Hari Ini

MENGENANG CHAIRIL ANWAR Si Binatang Jalang Genap 1 Abad Hari Ini

“Chairil Anwar punya prinsip bukumu bukuku, rumahmu rumahku”

Begitulah penyair Subagio Sastrowardoyo berujar ketika mengenang Chairil Anwar, penyair yang sajaknya sangat kontroversial pada masanya. Memang benar, Chairil Anwar adalah sosok yang terkenal susah diatur. Sebab, ia tidak pernah suka dengan semua hal yang bersifat mapan.

Sikap senang main ambil seperti yang diungkapkan Subagio pastinya terkesan sangat menyebalkan. Namun, hal tersebut tidak lantas membuat teman-temannya marah. Bahkan, Subagio mengatakan bahwa buku miliknya juga kerap diambil dan dijual oleh Chairil ke pasar loak yang ada di Senen, Jakarta Pusat.

Melalui puisi, Chairil berhasil membuat perubahan dan membawa semangat baru dalam kancah sastra dan kebudayaan Indonesia. Sosok eksentrik yang gemar menceritakan tentang kehidupannya yang bergaya bohemian itu kepada teman-temannya, termasuk kesukaannya mencuri buku di berbagai toko, tentang pacarnya yang banyak bahkan juga tentang penyakit yang diidapnya ini sebenarnya telah jatuh cinta pada sastra saat usianya baru 15 tahun, ia ingin menjadi seorang penyair. Ketika anak-anak lain seusianya masih senang berkumpul dan bermain, ia justru menghabiskan waktu remajanya dengan membaca tulisan para sastrawan barat yang populer. Sebut saja W.H. Auden, Edgar Du Perron, Archibald MacLeish, Rainer Maria Rilke, J. Slauerhoff, dan masih banyak lagi. Tak berhenti sampai di situ, ia juga membaca habis buku untuk para murid HBS yang lebih terkenal dari MULO.

Chairil muda tapi baru benar-benar mengenal dunia sastra saat ia pindah ke Jakarta untuk hidup bersama ibunya setelah orangtuanya bercerai. Saat itu usianya baru 19 tahun. Dia rajin membaca berbagai buku karya penulis Eropa, dan penulis-penulis itu menjadi referensinya. Baginya, buku menjadi modal hidup yang paling utama. Hal inilah yang membuat sang penyair tidak ingin menimba ilmu di sekolah tinggi.

Puisi Chairil tidak hanya segar tetapi juga berkutat dengan persoalan individu dan eksistensial, berbeda dengan para pendahulunya generasi 1930-an yang lebih peduli menyuarakan semangat nasionalis.

Chairil pernah merasakan bekerja langsung dengan Bung Hatta. Namun, ia lantas tidak betah karena harus bekerja dalam aturan, yaitu mulai pukul 08.00 sampai 14.00 setiap harinya. Tak hanya itu, seniman yang satu ini juga menjadi pribadi yang dikenal sangat berani dalam menentang pemerintahan Jepang melalui syair-syair yang ditulisnya. Misalnya, Chairil pernah mendapatkan dakwaan dan tuduhan berupa ajakan untuk memberontak kepada pemerintahan Jepang melalui puisinya yang bertajuk Siap Sedia pada 1943.

Akibatnya, Chairil harus merasakan dinginnya jeruji besi selama tiga bulan yang membuatnya gagal menjadi salah satu pembicara Forum Angkatan Muda yang dihelat di Kantor Pusat Kebudayaan. Penggalan puisi yang ditulisnya, “Kawan, kawan, mari mengayun pedang ke dunia terang,” dianggap menuai kontroversi oleh pemerintah Jepang melalui kata “dunia terang”.

Tak hanya syair bertajuk Siap Sedia yang mengundang kontroversi bagi pemerintah Jepang, Chairil juga menulis sebuah puisi yang berjudul Aku. Puisi ini dimuat di majalah Timur pada 1945. Bagi penikmat sastra, khususnya puisi, Aku dianggap menjadi suatu gebrakan besar terhadap cara berpuisi dan bersajak. Puisi fenomenal yang sebenarnya telah ditulis oleh Chairil sekitar 1943 ini berhasil membuatnya mendapatkan julukan sebagai Binatang Jalang.

Chairil Anwar menjadi sosok yang semakin populer sejak tulisannya yang berjudul Nisan muncul. Ia baru berusia 20 tahun saat Nisan diterbitkan. Konon ia sangat dikejutkan oleh kematian neneknya yang menyadarkannya bahwa kematian bisa setiap saat merenggut seseorang dari kehidupan. Sejak saat itu karya Chairil banyak mengacu pada kesadaran akan kematian ini.

Chairil pernah membina rumah tangga bersama Hapsah Wiriaredja pada tahun 1946. Sayangnya, bahtera rumah tangga mereka hanya bertahan dua tahun. Dari perkawinannya Chairil memiliki seorang putri, Evawani Alissa. Kondisi kesehatan Chairil terus menurun dan semakin lemah akibat gaya hidupnya. Sebelum menginjak usia 27, ia sudah mengidap sejumlah penyakit. Di hari-hari terakhir hidupnya, Chairil menulis sebuah puisi:

Yang Terampas dan Yang Putus

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang ku ingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu.

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlaku beku

1949

Chairil Anwar menghembuskan napas terakhirnya di CBZ, sekarang bernama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, pada tanggal 28 April 1949 dan dimakamkan di Pemakaman Umum Karet keesokan harinya.

Karya Chairil Anwar, Rivai Apin dan Asrul Sani
Karya Chairil Anwar, Rivai Apin dan Asrul Sani

Sebelum kepergiannya, bersama dua sahabatnya, Asrul Sani dan Rivai Apin, Chairil membuat Tiga Menguak Takdir yang terbit pada 1950. Ide penulisan buku ini sudah ada sejak 1,5 tahun sebelum ketiganya membentuk Gelanggang, sebuah rubrik budaya yang ada di tabloid Siasat. Awalnya, tabloid ini dikelola oleh Chairil dan Ida, lalu diteruskan oleh Asrul Sani, Siti Nuraini, Rivai Apin dan Ramadhan K.H.

Semasa hidupnya, Chairil telah melahirkan 94 tulisan yang terdiri dari 70 sajak asli, 10 sajak terjemahan, 4 saduran, 4 prosa terjemahan, dan 6 prosa asli. Melalui karyanya, ia telah berhasil mewujudkan mimpi-mimpinya sebagai seniman dan penyair.

Chairil Anwar menjadi sosok yang berhasil memberikan pengaruh besar pada sastra Indonesia. Namanya masuk dalam buku 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia. Tak hanya itu, ia juga dianggap sebagai tokoh yang berpengaruh pada lepasnya Indonesia dari penjajahan Jepang.

Sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi besarnya di dunia sastra Indonesia, tanggal 28 April diperingati sebagai Hari Puisi Nasional.

Ilustrasi oleh: Widiyatno

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.