Absurditas Kafka Dalam Meja Makan Indonesia
Apa jadinya, jika Anda terlahir sebagai seekor kera tetapi dipaksa untuk menjadi manusia, sekaligus menjalani kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari makan, bekerja, hingga jatuh cinta?
Tema inilah yg digali oleh Franz Kafka, sastrawan Polandia-Jerman yg dikenal luas dengan cerpen-cerpennya yang absurd.
Di Indonesia, kisah-kisah ala Kafka banyak diangkat oleh dramawan Putu Wijaya bersama Teater Mandiri yg dia pimpin.
Tema-tema absurd di luar nalar menjadi bidang garapan Kafka untuk menjadi renungan akan kebenaran, dan posisi manusia yang ditempatkan di tempat tertinggi makhluk ciptaan Tuhan.
Sang Kera blak-blakan secara terbuka menceritakan bagaimana ketika ia ditangkap, dikerangkeng dalam keadaan setengah jongkok selama berjam-jam membayangkannya saja sudah membuat saya miris. Kemudian ia dilatih agar bisa menjadi manusia seutuhnya.
Seluruh proses pencarian jatidiri si kera disampaikan dengan ekspresif, penuh luka dan duka, di hadapan sekelompok akademisi. Seolah-olah ingin menunjukkan sebuah proses transformasi yang ilmiah, meski sejatinya sangat menyakitkan.
Saya lekas teringat dengan kasus beberapa induk orangutan Kalimantan yang sengaja dipisahkan dengan habitat dan anaknya. Mereka dipakaikan baju perempuan, gincu merah dan berlagak bagai manusia murahan. Kasus yang menghebohkan ini menyeret sejumlah pelaku, namun tetap menjadi catatan kelam di Indonesia.
Pertunjukan bertajuk Laporan Kepada Akademi berlangsung pada 1-2 Mei 2024 di Teater Salihara Jakarta, dalam rangka peringatan seabad wafatnya sastrawan Franz Kafka.
Pertunjukan berlangsung unik karena penonton dilibatkan sebagai anggota akademi.
Sutradara teater Ibed S. Yuga dan Kalanari Theatre Movement mementaskan lakon ini bekerja sama dengan Goethe-Institut Indonesien.
Karya ini didasarkan dari cerpen berjudul sama yang ditulis Kafka pada 1917.
Pementasan perdananya sendiri berlangsung di Yogyakarta pada Desember lalu.
Segala kejutan yang diciptakan Kafka dalam lakon ini diistilahkan Ibed sebagai ‘tegangan’.
“Ketika cerita Kafka ini diterjemahkan, tegangan itu sudah tercipta. Cara menjadikan kera sebagai manusia adalah dengan mengajarkan bahasa. Kami mencoba mengindonesiakannya. Kita libatkan pula teman-teman tuli melalui Arif (salah satu aktor yang terlibat),” ungkap Ibed usai pertunjukan.
Pertunjukan ini memang unik bukan hanya dari kisah dan tema, tetapi juga pelibatan aktor tuli seperti Arief Wicaksono yang penuh ekspresi memainkan tokoh kera dalam bahasa isyarat. Arief selain berakting juga piawai menari hip hop.
Setting panggung dibuat sederhana namun memikat. Meja makan super lebar menjadi properti sekaligus panggung.
Hal lain yang tak kalah menarik adalah ide mengaitkan kera dengan orang-orang asal Indonesia Timur yang kerap dipersepsikan tertinggal dan bahkan kerap mendapatkan perundungan layaknya kera.
Hal ini ditampilkan dalam monolog yang dibawakan Fenti, salah satu aktor perempuan dalam lakon ini.
“Rambut saya tadinya keriting, sekarang sudah di-rebonding. Orang tua meminta saya kuliah di Kupang saja, tapi saya maunya ke Yogya, saya mau ke Jawa,” kata Fenti saat bermonolog.
Memang banyak mahasiswa Indonesia Timur di Yogyakarta. Namun mengaitkan mereka dengan (wajah) kera, tentu bukan itu yang ingin disampaikan Ibed. Boleh jadi metafora orang Indonesia Timur sebagai masyarakat terbelakang yang secara halus ingin disampaikan Ibed. Betapa Jawa di pusat kekuasaan memaksakan semua orang harus terbiasa makan nasi, meski di Timur ada ikan, ubi dan sagu.
“Untuk penonton yang dilibatkan itu nggak ada dalam cerpen Kafka. Itu cuma ide dari sutradara saja. Saya nggak mau bikin pertunjukan pasif. Saya biarkan penonton dalam ruang gelap. Penonton harus terlibat supaya paham. Tegangan-tegangan itu yang saya inginkan dalam jamuan makan elit. Klasifikasi dalam masyarakat masih ada. Ini semacam simulasi bagaimana kelas-kelas itu terjadi,” jelas Ibed saat ditanyakan mengapa penonton harus dibagi-bagi dalam kelas elit dan non-elit.
Mengeksplorasi tema-tema kurungan dan pengadaptasian, Laporan kepada Akademi dapat dikatakan sebagai karya yang berasal dari ketertarikan Kafka terhadap batas-batas kemanusiaan dan sisi kebinatangan, mengeksplorasi absurditas dan pertanyaan pertanyaan mengenai eksistensi dan masyarakat.
“Saat membaca naskah tersebut, tetapi juga pada pementasannya dalam bentuk monolog, orang diliputi perasaan sedih bercampur haru melihat makhluk yang telah terlepas dari hakikatnya,” kata Ibed.
Laporan kepada Akademi (judul bahasa Jerman: Ein Bericht für eine Akademie) hadir pada awal abad ke-20 dari dunia berbahasa Jerman.
Andika Ananda adalah aktor yang paling lama bekerja dengan Ibed di Kalanari. Andika memiliki biografi yang unik sebagai keturunan orang Rote yang diadopsi oleh keluarga Jawa. Biografi Andika disandingkan dengan riwayat hidup Rotpeter alias sang kera dalam cerita Kafka.
Lalu, Ibed coba menyandingkan dan membandingkannya dengan riwayat Falentina (Fenti) Bengan Ola dari Adonara, yang memiliki persentuhan dengan Jogja (Jawa) melalui proses pendidikan. Hasilnya, spektrum narasi meluas dan menjalar melalui jalur pendidikan, etnisitas, politik, gender, dan standar kecantikan.
Adapun Arief Wicaksono mewakili teman tuli yang telah lama berkecimpung dalam dunia pertunjukan, serta penuturan cerita Kafka melalui bahasa isyarat oleh Kurnelia Sukmawati Ramadhani.
Melalui Andika, Falentina, Arief, Kurnelia, serta peran penonton, Ibed berharap cerita Kafka menemukan sandingannya dalam konteks Indonesia.
Direktur Goethe-Institut Wilayah Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru Dr. Stefan Dreyer mengatakan, hampir tidak ada penulis lain yang turut membentuk modernisme sastra abad ke-20 dalam ukuran yang setara Kafka, diterima di seluruh dunia dan masih—100 tahun setelah berpulangnya—dipandang sebagai penulis aktual sekaligus enigmatis.
“Penggambaran sastrawi mengenai hewan-hewan yang fantastis mencakup seluruh
karya naratif Kafka, dari awal hingga karya terakhirnya. Laporan kepada Akademi
mungkin adalah teks yang paling membangkitkan minat para seniman teater di seluruh dunia untuk mengolahnya lebih jauh di atas panggung,” ungkap Dr. Stefan Dreyer.
Foto: @Witjak Widhi Cahya