Kebaya, Simbol Sejarah Budaya Indonesia
Bukan hanya soal penampilan. Kebaya merepresentasikan kekuatan, keanggunan dan
keberagaman perempuan Indonesia
Dalam catatan sejarah tidak pernah jelas dari mana asal usul kebaya. Ada yang
mencatat bahwa kebaya berasal dari Timur Tengah, secara etimologi kata ‘kebaya’
berasal dari bahasa Arab ‘abaya’ yang artinya ‘pakaian’. Ada juga yang berpendapat
kebaya mungkin berasal dari Tiongkok berkaitan dengan pakaian tunik perempuan
pada masa Dinasti Ming. Kebaya sampai di bumi Nusantara setelah terjadi migrasi
besar-besaran dari sana. Sementara yang lain ada juga yang mencatat bahwa kebaya
diperkenalkan melalui bahasa Portugis saat bangsa tersebut mendarat di Asia
Tenggara.
Mengingat pergeseran sejarah, politik dan sosial yang terjadi di Indonesia selama abad
terakhir, bentuk kebaya relatif tidak berubah. Tetapi fungsi dan arti dari kebaya itu
sendiri mengalami berbagai perubahan besar, dari saat masa kolonial dan masa pos
kolonial, tergantung dari agenda grup-grup politik, kebutuhan sosial dan aspirasi.
Kebaya kemudian menjadi simbol kesetaraan gender perempuan di Indonesia melalui
catatan yang menghubungkan kebaya dengan tokoh ‘pro feminisme’ abad ke-19,
Raden A. Kartini.
Selama abad ke-19, dan di awal abad ke-20, kebaya dikenakan oleh perempuan
Indonesia, Eurasia, dan Eropa, dengan sedikit variasi gaya. Pada masa ini,
pembedaan kelas dan status sangat penting dan menghasilkan variasi kostum dasar.
Kebaya milik bangsawan Jawa misalnya, terbuat dari sutra, beludru dan brokat.
Perempuan Jawa yang tergolong kelas rakyat jelata mengenakan katun bermotif.
Kebaya yang dikenakan wanita Eurasia terbuat dari katun putih yang dihiasi renda
Eropa buatan tangan untuk siang hari, dan sutra hitam pada malam hari. Sementara
perempuan Belanda lebih menyukai kebaya putih yang lebih pendek.
Beda dengan di Jawa, sejarah kebaya di Bali baru tercatat saat kependudukan Belanda
pada akhir tahun 1849 di bagian Utara pulau, dan diyakini perempuan Bali dipaksa
untuk mulai mengenakan kebaya. Pada saat itu, payudara perempuan Bali tidak
tertutup, kecuali untuk acara formal dan seremonial, di mana ‘sabuk’ mungkin dililitkan
erat di tubuh bagian atas, menutupi payudara tetapi membiarkan bahu dan lengan
terbuka. Oleh karena itu, perempuan Buleleng, kabupaten di Bali utara, merupakan
kelompok perempuan pertama yang mengadopsi kebaya.
Namun, sumber-sumber lain menyatakan bahwa penggunaan kebaya di Bali baru
dimulai pada awal tahun 1920-an, di mana pada saat itu kebaya telah digunakan secara
penuh di daerah-daerah lain di Indonesia. Kebaya tampaknya telah disebarkan ke
masyarakat melalui keluarga kerajaan di istana-istana. Aturan berpakaian baru yang
diadopsi oleh anggota keluarga kerajaan yang baru kembali ke Bali dari Jawa ini
diwariskan melalui sistem kasta. Meskipun pakaian sering digunakan untuk
membedakan kelas sosial, tampaknya tidak ada bukti dari masa itu yang menunjukkan
adanya aturan yang membedakan gaya kebaya berdasarkan kasta. Perbedaan jenis
kain kebaya lebih mungkin disebabkan oleh perbedaan kekayaan.
Pada masa penjajahan Belanda, kebaya digunakan sebagai busana resmi perempuan
Eropa. Saat itu kebaya hanya terbuat dari bahan tenun mori. Pada abad ke-19, kebaya
menjadi pakaian sehari-sehari bagi semua kelas social. Baik Perempuan Jawa maupun
peranakan Belanda. Bahkan, kebaya sempat menjadi pakaian wajib perempuan
Belanda yang berdatangan ke Hindia Belanda (Indonesia). Pada masa penjajahan
Jepang, kebaya diasosiasikan sebagai pakaian yang dikenakan oleh pribumi tahanan
dan pekerja paksa perempuan. Sehingga kebaya mengalami kemerosotan status.
Di masa kemerdekaan, kebaya dan kain batik menjadi simbol perjuangan dan
nasionalisme. Nilai dan statusnya kembali naik dan dijadikan sebagai pakaian resmi
dan kenegaraan.
Kebaya bukan sekadar pakaian fungsional, tetapi juga merupakan simbol sejarah
budaya Indonesia yang mewakili simbolisme nasional dan mode kelas atas. Jika kita
mencoba mendefinisikan kebaya, mungkin sulit karena adanya perubahan yang terus
menerus yang mencerminkan perkembangan zaman dan mode yang sedang dialami
Indonesia. Meskipun demikian, ada beberapa generalisasi tentang kebaya.
Kebanyakan kebaya terbuat dari brokat renda, bermotif bunga, dan panjangnya bisa
mencapai di atas pinggang hingga di bawah lutut. Biasanya, tetapi tidak selalu,
berlengan panjang.
Kebaya bukan hanya tentang tampil cantik. Kebaya juga tentang membawa warisan.
Kebaya merepresentasikan kekuatan, keanggunan, dan keberagaman perempuan
Indonesia. Banyak gerakan budaya saat ini mendorong generasi muda untuk
merangkul kebaya, memastikan kebaya tetap menjadi bagian integral dari identitas
Indonesia.







