Pameran Oey Soe Tjoen, Tonggak Kenangan dari Warisan Seni Batik Tulis Halus Berusia 100 Tahun dari Pekalongan yang akan Punah
Sebuah pameran karya seni tidak hanya sebagai momentum perkenalan akan keberadaan seniman dan karyanya tetapi dapat menjadi penegasan eksistensi dan kenangan sebelum akhirnya berhenti berkarya dan hilang ditelan jaman.
Hal inilah yang menjadi tujuan atas pameran Oey Soe Tjoen – Keteguhan Hati Merawat Warisan, Pameran Karya 3 Generasi Selama 100 Tahun. Pameran karya batik yang digelar di Galeri Emiria Soenassa, Taman Ismail Marzuki, Jakarta ini berlangsung pada 25 Juli – 3 Agustus 2025.
Selama 100 tahun, Batik Oey Soe Tjoen menjaga kualitas batik tulis halus dengan teguh sehingga produknya tetap eksis dan diburu oleh kolektor dan museum dari dalam dan luar negeri. Namun persoalannya kini, adalah menjaga warisan produk karya seni batik ini tetap ada. Bukan hanya tidak adanya generasi penerusnya, bahkan bahan utama kain batiknya juga telah hilang, karena perusahaan produksi kainnya telah berhenti beroperasi.
Batik Oey Soe Tjoen (OST) telah berdiri sejak tahun 1925 di Kedungwuni, Pekalongan. Didirikan oleh pasangan Oey Soe Tjoen dan Kwee Tjoen Giok Nio. Batik OST resmi berdiri setelah mereka menikah dan berhak menampilkan merek atau nama pembuatnya di kain produksi mereka. Perjalanan usaha dari produk batik OST telah melalui berbagai jaman dengan motif yang dipengaruhi budaya Jawa, peranakan Tionghoa, Eropa, Asia, dan Arab. Hal ini merupakan hasil peleburan dari perkembangan budaya pesisir Jawa yang merupakan pusat perdagangan di masa lalu.
Ciri khas corak batik OST terletak pada corak buketan dengan bunga khas Belanda dan corak khas peranakan Tionghoa yaitu lotus, seruni dan anggrek serta Cuwiri. Pakem ini kemudian diturunkan kepada generasi kedua, Oey Kam Long (Muljadi Widjaja) dan Lie Tjien Nio (Istijanti Setiono) pada tahun 1976.
Pada tahun 2002, Rumah Batik Oey Soe Tjoen diwariskan kepada Oey Kiem Lian (Widianti Widjaja) setelah sang ayah meninggal. Saat itu sebetulnya Widianti bercita-cita bekerja di Jakarta. Namun dengan pengetahuan dan pengalaman membatik yang sangat minim, ia pun menerima warisan usaha orang tuanya. Awalnya memang proses usaha batik masih dipegang bersama ibunya. Baru pada tahun 2006 usaha batik OST dipegang penuh oleh Widianti.
Melalui proses panjang dan keteguhan hati, Widianti berhasil meneruskan Rumah Batik Oey Soe Tjoen, bahkan Widianti membuat variasi motif tanpa meninggalkan pakem yang digariskan ibu dan engkongnya.. “Warisan bukan sekadar benda, tetapi juga dapat berupa kisah perjuangan, pengabdian, cinta, dan kehormatan yang dapat menginspirasi generasi berikutnya,” ujarnya.
Ruang pameran terdiri dari 2 lantai. Lantai pertama menampilkan karya batik generasi pertama dan kedua serta peralatan pendukung yang masih terpelihara dari sekarang. Mulai dari canting, buku catatan dan radio tua, bahkan plang toko Batik Art masih terpelihara dan dipasang di salah satu sudut dinding pameran.
Di lantai 2 menampilkan perkembangan karya batik tulis halus yang mulai mengembangkan corak motifnya. Mulai batik Hokokai, hingga beragam gambar dan motif. Bahkan lembaran kain menjadi ‘kanvas’ kreasi bagi Widianti untuk menuangkan ide-ide liarnya. Dari gambar dolanan anak, jalan salib Yesus hingga tema Tintin Lotus Biru.
Pengunjung dibatasi waktu kunjungannya, per sesi 2 jam, dan dibuka mulai jam 11.00 – 19.00. registrasi melalui website pembelian tiket dengan harga Rp 0 ,- per orang.
Widianti telah memiliki stok kain Mori dari pabriknya yang sudah bangkrut untuk 5 tahun ke depan. Sendiri ia menjaga api semangat berkarya dalam seni batik tulis halus warisan leluhur, hingga akhirnya api itu akan redup dan mati.






