Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

FATAMORGANA

FATAMORGANA

Fatamorgana adalah ilusi. Mata sering “tertipu” oleh hamparan luas yang terbentang di depan kita, optik mata melihat berbagai bentuk atau visual yang kemudian mempengaruhi pikiran, bahkan mengimajinasikannya dengan berbagai tafsir-tafsir yang sangat imajiner tanpa batas.

Karya seni lukis Putu Bonuz memberi ruang bebas tafsir seluas-luasnya.
Pembukakan : 30 April 2024
Jam : 17:00
Tempt. : Sangkring Art Project

Bagian panca indera mana yang memiliki kemampuan untuk menutup dirinya sendiri? Mungkin hanya indera penglihatan yang memiliki kemampuan itu. Fitur menutup diri ini tidak dimiliki oleh keempat indera lainnya. Tidak ada telinga yang bisa menutup dirinya, tidak juga kulit, lidah pun hanya mampu bersembunyi dibalik gigi dan mulut, sedangkan hidung yang jika ditutup maka akan menutup hidup manusia itu sendiri. Lantas, mengapa hanya mata yang dianugerahi kemampuan tersebut? Mungkinkah mata manusia dapat menutup dirinya agar manusia tidak hanya
melihat ke luar, namun juga ke dalam dirinya?
Kini antara apa yang nyata dengan yang maya tidak memiliki batas yang tegas lagi. Keduanya seakan semakin membaur dan mengaburkan ruang masing-masing. Penetrasi ini semakin pesat terjadi pada masa wabah sebelumnya. Ruang gerak yang terbatas menguatkan keharusan untuk semakin bergantung pada dunia alternatif. Melihat jadi tidak dapat sejernih sebelumnya. Hal tersebut berimplikasi terhadap bagaimana manusia memandang dirinya dan cenderung acuh terhadap sekitar. Muncul paradoks dimana manusia kini cenderung perduli berlebihan terhadap apa yang tampak pada realitas maya dibandingkan dengan realitas yang nyata. Jika menganalogikan kegiatan “melihat” sebagai sebuah tindakan “konsumsi”, tidak berlebihan jika mungkin kita saat ini berada pada titik konsumsi berlebihan (overconsumption) dengan begitu melimpahnya produk digital (baca: konten) yang tak henti-henti memicu hormon dopamin kita. Hal yang mencandu memanjakan kita dengan kemayaannya serta membuat kita lupa untuk sejenak menutup mata, beristirahat, dan melihat diri sendiri.
Fenomena ini juga memperkuat apa yang disebut sebagai relatvisme. Menurut Jens Zimmermann (2015) relativisme adalah konsep bahwa apapun yang kita anggap benar tidaklah absolut. Mata manusia modern saat ini dibanjiri ribuan teks dan visual yang mencoba untuk tampak benar sebenar-benarnya. Sifat inilah yang membuat melihat segala hal dalam era teknologi informasi ini tidak sesederhana melihat dengan mata semata. Karena jika kita hanya memercayai apa yang tampak tanpa upaya lebih jauh untuk memandang lebih dalam lagi, bisa saja kita tengah menyaksikan fatamorgana: sesuatu yang khayal. Sehingga barangkali kita juga kerap terjebak akan sesuatu yang sebenarnya tidaklah absolut.

Justru dalam seni lukis abstrak, kebenaran yang tidak absolut menjadi sesuatu yang di kejar, atau jika tidak hal tersebut adalah capaian estetis yang menjadi karakteristiknya. Aliran ini tidak memliliki tanggung jawab untuk merepresentsikan apapun. Nilai estetika dari visual abstrak bertumpu pada rasa yang tertuang dari pilihan warna, titik-titik cipratkan yang saling menumpuk, serta torehan garis yang tampak sembarangan. Dalam melihat lukisan abstrak, manusia bukanlah mengonsumsi bentuk. Mereka yang memandangi lukisan abstrak sejatinya tengah mencerna rasa serta nuansa yang bermuara pada interpretasi yang bebas, liar dan tidak tunggal. Maka tidak belebihan apabila disimpulkan bahwa karya lukis abstrak merupakan hamparan fatamorgana yang mahaluas.

Secara kelimuan fatamorgana adalah gejala optis yang tampak pada permukaan yang panas. Panas ini apabila diterjemahkan dalam bentuk yang tampak dalam kehidupan sehari-hari adalah unsur api. Dalam mitologi umat Hindu di Bali, unsur api adalah milik Dewa Brahma, dimana Beliau dipercaya memiliki tanggung jawab untuk mencipta. Adanya unsur panas sebagai pemicu fatamorgana dapat dikaitkan dengan proses penciptaan karya seni lukis abstrak seorang Putu Bonuz Sudiana. Dalam pameran tunggalnya yang bertajuk Fatamorgana, Putu Bonuz mencoba untuk menyajikan lima belas lukisan abstrak ciptaannya terkini. Seluruh karya yang diberi judul secara berseri ini adalah hasil pemaknaan Putu Bonuz dalam memandang realitas kini, baik yang nyata atau maya. Fatamorgana dipercayai sebagai hal yang memiliki sifat khayal, imajitatif, dan fiktif. Dalam satu bidang kanvas, Putu Bonuz mungkin saja melihat sesuatu di sana. Melalui matanya yang terlatih, ia dapat saja melihat suatu nuansa yang tak kasat mata di atas permukaan kanvas putih. Atau barangkali apa yang ditorehkannya pada bidang kanvas adalah sebentuk respon artistik terhadap bagaimana realitas nyata-maya saling tumpang tindih dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai pribadi yang multiperan, Putu Bonuz yang juga seorang jro mangku (sosok yang memimpin jalannya upacara keagamaan umat Hindu) terbilang unik. Walau memiliki tanggung jawab dalam ritus keagamaan yang tentunya suci, bersih, dan komunal, sosok kelahiran Nusa Penida Bali ini memilih untuk tidak lepas dari kehidupan berkesenian yang cenderung berantakan, bebas, dan individual. Dualitas ini terus terjaga secara konsisten dan kini tampak dalam seluruh karya yang ditampilkan dalam ruang pamer Sangkring Art Project kali ini. Pada kelima belas karya tampak adanya pembagian ruang warna yang terbilang tegas. Masing-masing ruang terjaga batasnya. Lanskap ini adalah representasi dari batas yang ideal antara mana yang nyata dengan yang maya, antara realitas dengan fatamorgana. Sehingga manusia dapat memposisikan dirinya untuk tetap menjadi manusia seutuhnya di realitas yang nyata, serta tidak tenggelam sepenuhnya dalam kemayaan realitas maya.

Pameran ini menjadi upaya untuk dapat memaknai kembali bagaimana kita sebagai manusia yang melihat. Dengan segala riuh paparan visual yang tampak di realitas yang nyata dan maya, bukanlah hal yang buruk untuk dapat memanfaatkan kemampuan mata kita untuk menutup dirinya sejenak. Sebelum akhirnya kembali membuka mata, dan menghadapi lanskap fatamorgana yang abstrak itu.

Batubulan. 08 April 2024, 23:28 WITA.
Ganesa P.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.