Ilustrator Masa Kini: “Kami Tak Takut dengan Kecerdasan Buatan!”
Jakarta Illustration & Creative Arts Fair (JICAF) baru saja usai, setelah sukses berlangsung pada 19 September-6 Oktober 2024. Dengan mengusung tema ‘Chaotic City’, JICAF 2024 membawa energi dan dinamika kehidupan perkotaan ke dalam dunia seni kreatif.
Keberagaman seni dan inovasi kreatif hadir melalui 80 lebih talenta lokal dan internasional dari 20 negara, termasuk Bapak Pop Art Indonesia, Wedha Abdul Rasyid dan sederet seniman lain seperti Sundae Kids, Mojoko, Pinot, Tutu, Ykha Amelz, Muklay, dan Machine56.
“Jumlah ilustrator yang mendaftar tahun ini ada 500 orang dan yang berhasil masuk seleksi ada 80 orang. Jadi kita punya banyak potensi-potensi yang saya yakin jika mereka konsisten maka (karya)mereka bisa jadi ‘something’. Sekarang saja sudah kelihatan. Ada ilustrator yang usianya 30an atau 40an yang sudah menjadi panutan bagi ilustrator muda usia belasan tahun,” ujar Sunny Gho, Creative Director JICAF 2024.
Sunny menambahkan, JICAF membuka pintu bagi seniman, kolektor, pecinta seni, dan semua kalangan masyarakat untuk terlibat dan merayakan dunia kreatif secara langsung, tetap mengusung tradisi awal dan konsep unik ‘Supermarket for Artworks’.
Tapi, bagaimana dengan Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang dalam beberapa tahun terakhir seolah-olah menjadi ‘hantu’ yang menakutkan para pekerja media dan seni kreatif? Apakah peranan ilustrator manusia kelak betul-betul dapat digantikan oleh AI?
“AI memang sesuatu yang tidak bisa kita hindari. Tapi, ketika kita punya personal brand atau style yang unik, sebetulnya kita nggak perlu takut dengan AI. Ibaratnya, “Oh saya mau gambar asli dong, untuk apa ambil tiruannya?” Selama kita bisa membangun citra personal dengan baik, kita nggak perlu khawatir berkompetisi dengan AI. Ibarat kain batik, misalnya, tentu mereka yang melihat kualitas akan lebih memilih batik tulis ketimbang batik cap,” ujar Sunny Gho.
Namun, soal style inipun tidak serta merta mendapatkan pengakuan dari Direktorat Jenderal HKI (Hak Kekayaan Intelektual) di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Kepada Kultural Indonesia, ilustrator legendaris, Wedha Abdul Rasyid, mengaku pernah mengurus gaya “Wedha’s Pop Art Portrait” miliknya ke Dirjen HKI pada 2011, tapi ia memperoleh jawaban tak sesuai harapan.
“Jika karya kita yang sudah terbit, kemudian ada yang meniru, maka kita tidak bisa menuntut meski diterbitkan di media cetak atau muncul di media elektronik. Saya menanyakan ke Ditjen HKI itu sekitar tahun 2011 atau 2012 dan setahun kemudian saya baru memperoleh jawaban dari mereka. Selama tiga kali dalam sebulan saya ke sana dan mendapatkan kesimpulan (dari pihak Ditjen HKI) bahwa karya saya (WPAP) itu tidak bisa dipatenkan,” jelas Wedha.
Aturan ini ternyata berlaku pula di dunia seni internasional. Maka kita dapat dengan mudah menemukan lukisan tiruan dengan style ala Andy Warhol atau Vincent van Gogh di mana-mana. Tapi yang asli tetap yang dibubuhi tanda tangan si pelukis.
Wedha Abdul Rasyid adalah seniman grafis kelahiran 1951 dan sempat lama berkarir sebagai ilustrator majalah HAI, selama kurun waktu 80an hingga awal 2000. Jika Anda penggemar serial Keluarga Cemara dan Lupus, maka di sanalah karya-karya Wedha berjejak. Belakangan, ia mengembangkan gaya Pop Art yang kelak diakui dalam dunia seni grafis Indonesia sebagai “Wedha’s Pop Art Portrait”.
Meski tidak memperoleh paten, namun mengutip situs hukum online, disebutkan bahwa lukisan merupakan contoh hak cipta yang dilindungi sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) huruf f UU Hak Cipta, yang menyatakan ciptaan yang dilindungi meliputi ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas salah satunya karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase.
Lukisan merupakan suatu ciptaan yang memiliki hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi, yang melekat pada pencipta atau pemegang hak cipta. Maka, karya Wedha bisa dikatakan asli jika mencantumkan tanda tangannya di dalam karyanya tersebut.
Foto: Wella Madjid | Kultural Indonesia