Pameran Tunggal Karya Tiarma Sirait di Galeri Cemara 6 Jakarta
Melihat Seni Batik dalam Dimensi Baru
Dalam menyambut Hari Batik Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Oktober 2024, Galeri Cemara 6 Jakarta, mempersembahkan Pameran Tunggal Tiarma Sirait Batik dalam Dimensi Baru yang diselenggarakan mulai 4 – 16 Oktober 2024. Pameran ini menggelar 84 lukisan batik di kanvas dengan mengambil tema flora dan fauna.
Tiarma Sirait adalah seniman serba bisa. Lulusan FSRD ITB tahun 1994 jurusan desain tekstil ini merupakan seorang pelukis, desainer fesyen, perupa instalasi, seniwati pertunjukkan, fotografer dan masih banyak lagi. Ia telah mengikuti lebih dari 400 pameran di dalam dan luar negeri dengan berbagai penghargaan.
Tiarma mulai mengeksplorasi batik sejak tahun 1997. Mulai dari batik Jambi, batik Indramayu, Bahkan mengeksplorasi batik Jawa dipadu dengan gaya Harujuku pada tahun 2008.
“Pada karya Tiarma selalu terjadi fusion. Fusion antara yang tradisional dengan yang baru, fusion antara kain Indonesia dengan budaya global, dan fusion antara batik yang sudah ada dengan gaya dari batik desainnya sendiri”, ujar Anna Sungkar, kurator dalam pameran ini.
Dalam pamerannya kali ini, Ama panggilan akrabnya, tidak megambil secara spesifik gaya batik tertentu namun lebih menekankan pada ekplorasi bentuk flora dan fauna menjadi bentuk baru sesuai imajinasinya. Mulai dari corak flora dan fauna yang ada pada batik pesisir pulau Jawa, Batik Lasem dengan corak burung merak dan naga, batik Pekalongan dengan bentuk kupu-kupu dan capung, serta batik Cirebon dengan bentuk singa, buroq, wayang dan garuda. Sementara tumbuhan yang muncul di sela-sela binatang sebagai elemen dekorasi biasanya daun atau bunga kawung, mawar, jahe dan kelapa.
Dalam pameran ini ada 4 kelompok karya. Pertama karya dalam kelompok bingkai dalam satu lukisan. Di dalamnya kita jumpai motif-motif seperti daun, rusa, macan, gajah, wayang, rumah joglo, perisai, binatang hybrid berkepala wayang, barong, dan sebagainya. Dalam gambar binatang atau benda-benda pada kelompok ini dilukis dengan detail menggunakan warna-warna lembut. Berbeda dengan warna batik pada umumnya, dimana batik Pesisir Utara Jawa sering menggunakan warna cerah dan batik Jogja – Solo sering menggunakan warna kecoklatan. Di sinilah letak seni kontemporer yang ditampilkan oleh Tiarma.
Kelompok kedua adalah kelompok lukisan flora dan fauna dan bingkai-bingkai kecil. Disini makin tertegaskan ciri khas Tiarma yang gemar menggunakan ‘frame dalam frame’ dimana bingkai di dalam sebuah bingkai menegaskan sekaligus membuat penikmat karyanya fokus terhadap obyek dalam bingkai dalam baru kemudian melihat bingkai luarnya yang kadang kontradiktif dalam warna namun disambungkan dengan bentuk corak batik antara dua bingkai tersebut.
Kelompok ketiga adalah kelompok karya gambar menggunakan tinta Cina, yang didalamnya mengeksplorasi obyek tidak hanya flora dan fauna bahkan mahluk tak kasat mata juga digambarkan dalam wana monokrom, hitam dan putih.
Kelompok keempat adalah lukisan dalam bingkai besar. Yang menarik tidak hanya gamnya yang menggunakan warna biru merah dan hitam putih, tetapi juga karya-karya dalam kelompok ini dapat dilihat lebih interaktif lagi melalui teknologi augmented reality. Karya-karya ini kelihatan bergerak, menghidupkan makna dalam ketiga karya yang ada, yaitu Tracing The Dignity of Batik, My Hope dan Singa Barong. Dengan ukuran masing-masing lebar lebih dari 1 meter.
Batik dalam media kanvas memang lepas dari fungsi tradisionalnya, namun bagi Tiarma justru akan memberikan narasi berbeda dan lebih luas serta lebih emosional. Bahkan saat dipadukan dengan teknologi augmented reality, tentu akan menarik lebih banyak kaum generasi digital dengan pengalaman yang berbeda.
“Bagi saya teknologi kekinian dan gaya tradisional dalam batik justru saling melengkapi. Teknologi akan memperluas apresiasi akan batik, sebaliknya para penggemarnya akan mencari bentuk-bentuk dasar dari batik itu sendiri,“ kata lulusan Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) dalam bidang Desain Fesyen yang menerima beasiswa STINT (The Swedish Foundation for International Cooperation in Research & Higher Education) untuk program Magister dalam Desain Fesyen dan Tekstil di Universitas Borås, Swedia ini.
“Justru dengan penggunaan teknologi seperti digitalisasi bahkan NFT akan membuka peluang ekonomi baru dan memperkuat pelestarian batik itu sendiri , “ pungkasnya.
Foto: Ferry Irawan | Kultural Indonesia