Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

KESENIAN BETAWI: BUKA PALANG PINTU

KESENIAN BETAWI: BUKA PALANG PINTU

Tradisi palang pintu, kesenian asal Betawi yang semakin langka. Mungkin sebagian generasi muda Betawi saat ini tidak banyak yang mengenal tradisi palang pintu yang sarat akan makna dan filosofi. Yahya Andi Saputra, tokoh budayawan Betawi, berbagi cerita lewat tulisan berikut.

Menurut sumber lisan atas hasil telusur cerita rakyat yang masih beredar dan dikenal masyarakat, sebelum dikenal dengan sebutan upacara Buka Palang Pintu (BPP), upacara ini konon dikenal dengan istilah Sapun dan kemudian Nyapun. Menurut sumber yang dapat dipercaya dan shahih, kata ini termasuk kata arkais bahasa Betawi yang dalam proses perjalanannya sebagai kata, relatif jarang digunakan pemakainya. Untuk kasus seperti ini, banyak kata yang mewakili kearifan lokal, pada akhirnya tidak populer atau tidak digunakan lagi oleh pemilik dan pemakainya.

Banyak orang mempertanyakan dari mana sebenarnya tradisi Sapun, Nyapun dan kemudian menjadi BPP? Di atas telah sedikit disinggung bahwa dalam folklor Betawi terdapat begitu banyak cerita rakyat (baik lisan maupun tulisan) yang mengindikasikan dan kemudian diasumsikan sebagai titik pijak atau cikal -bakal BPP.

Kita dapat memeriksanya dari khasanah kesenian Betawi, khususnya shohibul hikayat. Pada kesenian ini banyak sekali peristiwa yang dapat dikaitkan dengan BPP. Pada hikayat yang disampaikan Tukang Cerita, seperti hikayat Hayatin Nufus, Nurul Laila, Ma’ruf Tukang Sol Sepatu, Gambus 12, Ahmad Merebut Masjid, atau kisah-kisah lainnya, ada peristiwa atau kisahan berupa sayembara yang sifatnya ketangkasan. Terutama ketangkasan bela diri. Pemenang sayembara itulah yang mendapatkan hadiah istimewa. Hadiah itu berbentuk “dipungut menantu”, “dijadikan anak angkat”, dan sebagainya. Peristiwa ini dapat kita ketahui misalnya dari Hikayat Ketibat Bulan, yang menceritakan Abdul Kirom Si Tukang Kacang berhasil menaklukkan keganasan gajah putih milik raja dan dikawinkan dengan putri raja yang bernama Mandu Khaeroni.

Peristiwa seperti itu dapat pula diketahui dari cerita rakyat lokal – maksudnya bukan yang diambil dari khasanah Timur Tengah atau Kisah Seribu Satu Malam – misalnya yang bergenre cerita jago. Salah satu cerita rakyat yang mengindikasikan dan kemudian diasumsikan sebagai BPP didapatkan dari cerita rakyat yang berjudul Mirah Singa Betina dari Marunda. Pada cerita itu, Mirah bersedia menikah dengan laki-laki yang dapat mengalahkannya dalam kemahiran maen pukulan atau silat. Mari kita simak ceritanya pada lampiran buku ini.

Cerita rakyat Mirah Singa Betina dari Marunda secara tersurat memberikan pemahaman bagaimana kemudian peristiwa sambut jurus mengilhami upacara BPP. Kita tidak tahu siapa yang pertama kali menginisiasi upacara itu. Pastinya para leluhur menguras pikiran untuk memperoleh bentuk paling akhir yang dianggap sempurna baik dalam struktur maupun makna simbolisnya. Artinya terjadi proses panjang dan terus-menerus berbilang masa dan generasi. Generasi awal memancangkan tonggak dalam arti merancang misi idealis bagaimana alam simbolis diterjemahkan menjadi bentuk-bentuk ragawi. Generasi yang terkemudian menyempurnakannya menjadi bentuk yang secara estetis indah dan merdu.

Bisa jadi, untuk menemukan bentuk terakhir, pergumulannya cukup melelahkan. Kita bayangkan ada sebuah Upacara khidmat dan sakral namun ditampilkan dengan suasana santai penuh kekeluargaan sekaligus sarat kesantunan dan edukatif. Semula belum berbentuk dan berstruktur, kemudian atas kesabaran dan ketekunan leluhur ditemukanlah tatacara bagaimana merajut puzel berserakan itu menjadi utuh dan berdimensi profan dan sakral.

adu pantun dan sikeh | kultural indonesia

Dimensi profan dan sakral itulah pijakan utamanya. Apa yang dikenal dengan Rudat atau Ngerudat dalam masyarakat Betawi adalah ekspresi kebahagian yang diungkapkan dalam bentuk nyanyian diiringi rebana. Rudat pada akhirnya dimanfaatkan menjadi bentuk pawai atau arak-arakan. Bentuk arak-arakan ini bermetamorfosa menjadi pawai mengiringi atau mengantarkan calon pengantin laki-laki menuju kediaman calon pengantin perempuan. Pukulan rebana kemudian disesuaikan dengan syair pujian kepada junjungan Nabi Muhammad. Maka syair shalawat yang diambil dari kitab Maulidun Nabi war Rasul menjadi lazim bahkan ditetapkan menjadi kepatutan atau pakem. Dalam konteks lain, Rudat menjadi bentuk jalan tarikat, sebagaimana dapat dilihat pada kesenian rebana biang.

Rupanya, Rudat saja dianggap belum menyempurnakan prinsip permohonan yang disampaikan dengan sopan santun. Maka dialog antar dua belah pihak yang sebenarnya sudah saling memahami maksud dan tujuannya itu, perlu ditata agar terbangun suasana lain dan khas. Pantun diangkat menjadi pengganti dialog, sehingga dialog pun sangat unik karena dilakukan dengan cara berbalas pantun.

Dialog dengan berbalas pantun cukup efektif dan dirasakan nyaman antar kedua belah pihak. Namun hakikat berikrar di hadapan penghulu untuk membina hidup berumah tangga membutuhkan pijakan idealis dan agamis. Tidak serta-merta pihak calon pengantin laki-laki melenggang santai masuk ke rumah calon mertuanya. Kesiapan calon pengantin laki-laki (baik secara fisik dan mental) untuk berumah tangga harus secara nyata diperlihatkan di hadapan calon mertua dan handai taulannya. Tiada pilihan kecuali menjajal calon pengantin laki-laki kemampuan dalam jalan jurus dan sambut. Jalan jurus maksudnya calon pengantin laki-laki memperagakan kemampuannya maen pukulan atau silat. Kemudian diminta juga sambut, yaitu berkelahi satu lawan satu. Maksudnya pihak calon pengantin perempuan meminta kepada calon pengantin laki-laki untuk sambut dengan pendekar atau jago silat yang mengawal calon pengantin perempuan. Pengawal itu harus dijatuhkan atau dikalahkan oleh calon pengantin laki-laki. Silat di sini memiliki makna simbolis yaitu kesiapsiagaan calon pengantin laki-laki untuk menjaga, melindungi, dan memberi rasa aman kepada istri, rumah tangga, keluarga besar maupun lingkungannya.

Tidak cukup dengan kemahiran maen pukulan, calon pengantin laki-laki masih dituntut satu syarat lagi yaitu kemampuan membawakan lagu sike. Sike merupakan salah satu nama nagham Quran yang nadanya syahdu melankolis. Selain sike, nama nagham lainnya adalah bayati, nahawan, jiharkah, shoba, hijazi, dan rosta. Lagu Sike ini mensimbolkan kemampuan atau kesiapan calon pengantin laki-laki dalam membimbing istri ke dalam kehidupan yang patuh pada aturan agama. Dengan begitu, akan terbentuk keluarga yang penuh kasih sayang dalam bimbingan dan ridha Allah.

Upacara BPP sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB), oleh pemerintah RI melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2015. Dengan penetapan itu, upacara BPP dapat dimanfaatkan secara tepat dan kreatif. 

Yahya Andi Saputra | Kultural Indonesia
Yahya Andi Saputra, Praktisi kesenian Betawi. Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Jakarta. Penulis buku Sihir Sindir (kumpulan puisi, 2016), Jampe Sayur Asem (kumpulan puisi, 2017), Cerita dari Dapur (kumpulan puisi, 2020), Betawi Megapolitan, Merawat Jakarta Palang Pintu Indonesia (2021).

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.