Pameran Seni Multimedia ‘Jamu Ngatiyem’: Tatkala Jamu Menjadi Saksi Sejarah
Jamu seduh Indonesia aslinya memang produk buatan Jawa. Namun sejak orang-orang Jawa merantau ke mana-mana, maka produk jamu seduhpun bisa ditemui tak hanya di Jawa, tetapi juga di provinsi lain, termasuk di ibu kota Jakarta.
Kita semua pasti familiar dengan jamu kunyit asem, galian singset, pegal linu, dan lain-lain. Kunyit, jahe dan kencur ditumbuk halus untuk dijadikan minuman. Kios-kios jamu tradisional biasanya akan menambahkan telur ayam kampung dan sesendok madu agar lebih berkhasiat sekaligus menambah cita rasa manis.
Oiya, para simbok juga piawai meracik jamu ‘sari rapet’ dan ‘penambah keperkasaan’ bagi siapapun yang memerlukan. Berhasil? Konon kabarnya sih begitu..
Syska La Veggie, perupa asal Sidoarjo, saat ini sedang menggelar pameran instalasi bertajuk Jamu Ngatiyem di GoetheHaus Foyer Jakarta. Kebetulan ibunda Syska peracik jamu dan dia sendiri akrab dengan jamu sejak kecil.
Ada beberapa varian jamu di kios ‘Jamu Ngatiyem’, mulai dari Tuntas Patriarki, Tolak Rasisme, Sehat Normal Baru, Galian Demokrasi dan Anti Korupsi.
Semua varian sebetulnya sudah pernah dipentaskan di pameran sebelumnya. Namun untuk Goethe Institut, Syska menambahkan dua varian lagi: Resik Hoax dan Pegal Insecure.
“Pameran ini sifatnya ‘open call’ (seniman yang mengajukan karya untuk dipamerkan) dan persiapannya tiga minggu. Dua varian jamu yang baru itu sengaja dibuat agar ada pembeda dengan yang dipamerkan sebelumnya. Walau bagaimanapun harus ada sesuatu yang baru,” ungkap Syska.
Syska mengaku sebagai generasi milenial dan sering bergaul dengan kelompok Gen Z, ungkapan-ungkapan bernada ‘insecure’ kerap dia dengar dalam berbagai percakapan.
“Kayaknya sedang trend pada tahun-tahun belakangan ini, kan? Akhirnya aku pakai kata insecure itu tadi. Sedangkan ‘hoax’ itu kan marak pada tahun-tahun menjelang pemilu. Bahkan kata ‘hoax’ sendiri juga sudah populer sejak masa pandemi COVID-19,” tambah Syska.
Obrolan berlanjut ke sana ke mari saat Syska menyebut ‘hoax’ dan ‘Covid-19’ yang baru saja berlalu. Ibunda Syska mengatakan, kondisinya mirip dengan keadaan Indonesia pada masa krisis 1997/1998, ketika ribuan orang di-PHK.
Belum lagi krisis ekonomi dan politik yang mengempaskan kehidupan jutaan rakyat. Ini dialami pula oleh keluarga Syska.
Seketika banyak orang beralih ke jamu dan minuman herbal. Kios jamu Ibu Ngatiyem ikut laris manis. Di sini Syska mendapatkan ‘aha moment’, semacam ide yang tiba-tiba muncul untuk mengangkat jamu dalam sebuah karya instalasi multimedia.
“Saya menemukan artikel di koran Suara Pembaruan tahun 1998 bahwa saat itu toko-toko jamu di Yogyakarta banyak dicari. Ini sama dengan apa yang dikatakan Mamaku di Surabaya bahwa banyak pelanggan jamu yang sebelumnya berobat dengan Jamsostek, seperti Papaku dulu juga kan pegawai swasta yang memiliki Jamsostek, tetapi karena sudah tak jadi karyawan akibat krisis moneter, beralih ke jamu,” kisah Syska.
Maka dua peristiwa bersejarah ini diangkat menjadi tema karyanya. Syska mengaku selalu melakukan riset sebelum berkarya. Dia percaya, setiap karya yang melewati tahapan riset hasilnya akan sesuai harapan.
“Pada kedua masa itu, reformasi dan COVID-19, saya banyak menemukan kesamaan. Mulai dari pelecehan, pengangguran, krisis ekonomi dan keuangan, serta kaum perempuan yang harus menanggung beban jika suami tidak lagi bekerja,” kata Syska yang menyeduh jamu bagi para pengunjung dengan pakaian APD lengkap saat pembukaan pameran.
Dalam komposisi jamu Pegal Insecure tertulis temulawak bubuk satu sendok makan, jahe bubuk satu sendok teh, dan Rasa Percaya Diri Sepenuhnya. Sedangkan pada bungkus jamu Sehat Normal Baru tertulis komposisi kunyit bubuk satu sendok makan, kencur bubuk satu sendok teh, serta Harapan dan Kenyataan Sepenuhnya. Ini sebuah racikan yang tulus nan sederhana dari Syska dan Ibu Ngatiyem.
Mau ikut mencoba? Pameran “Jamu Ngatiyem” berlangsung mulai 2-27 Agustus 2023 di Goethe Institut Jakarta.
Sumber Foto: Goethe Institut