Baca di Tebet, Sebuah Oase Literasi di Tengah Hiruk Pikuk Metropolitan
Sebuah perpustakaan swasta hadir di bilangan Tebet Jakarta Selatan. Baca di Tebet seperti menjadi oase di tengah keringnya pusat literasi, yang tergerus arus pergaulan media sosial yang mengedepankan narsistik dan dunia serba digital.
Perpustakaan ini berdiri sebagai protes terhadap keadaan, bahwa sebagai manusia di tengah arus digitalisasi kehidupan, tidak semua harus diselesaikan dengan tombol. Manusia juga harus mengunyah dan butuh mencerna sesuatu. Tidak semua harus dengan teknologi. “Kami gemas dengan kegilaan digital dan virtual saat pandemi“, Kata Kanti W. Janis, sang pemilik.
Memang ide membuat perpustakaan sudah dari tahun 2018. Rumah keluarga yang hanya ditempati 2 tahun kemudian disewakan untuk usaha, namun saat Covid-19 melanda penyewa pada mundur. Tapi kondisi ini malah memperkuat ide untuk membuat perpustakaan. Pembangunan dilakukan sejak tahun 2020 dan 20 Februari 2022 dibuka secara resmi, bertepatan dengan hari Keadilan Sosial Sedunia.
Baca di Tebet terdiri dari beberapa ruang. Mulai dari Ruang Roy BB Janis, sebagai ruang sosial untuk pengunjung saling berinteraksi dan diskusi, sambil ngopi, ngeteh atau ngemil dan makan. kemudian ada Ruang Pikir, Ruang Baca dan Ruang Karya. Yang semuanya kedap suara, hanya untuk membaca dan boleh membawa minuman.
Kanti mengatakan bahwa ia dan keluarga ingin membuat perpustakaan yang independen dan terbuka untuk semua kalangan. Oleh sebab itu perpustakaaan harus dapat menghidupi dirinya sendiri. Maka dibuatlah lini bisnis lainnya, seperti restoran Makan di Tebet, penyewaan ruang untuk usaha lain, usaha penginapan dan tentunya perpustakaan dengan iuran keanggotaan.
Koleksi buku Baca di Tebet fokus pada bidang humaniora, 90% buku yang ada awalnya merupakan koleksi dari Wien Muldian, Ketua Umum Perkumpulan Literasi Indonesia dan Ketua Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia, yang kemudian disumbangkan ke perpustakaan ini. Baru kemudian berkembang menjadi 26 ribu buku walaupun yang tercatat di katalog baru 4000 buku.
“Perpustakaan bagi kami bukan sekedar tempat membaca, tetapi juga sebagai ruang publik untuk berdiskusi dan bersosialisasi. Buku hanya akan menjadi buku jika hanya dibaca tetapi akan lebih bernilai jika dibicarakan dan didsikusikan. Maka kami menginginkan konsep perpustakan yang melayani hal tersebut“, tandas Kanti.
Untuk setiap bulan selalu ada kegiatan mulai dari diskusi sastra, pembacaan puisi, musikalisisa puisi dan sebagainya. Seperti yang telah diadakan pada hari Sabtu 23 sepetember 2023, sebuah acara Ngobrol Sastra bertajuk Kita Pendukung Sastra Indonersia dengan pembicara Debra Yatim, seorang jurnalis, penerjemah dan penulis, Bagus Ari Putra, seorang penyair dan pendiri Ubud Book Club, Rega Razib Moch, Johara, seorang podcaster Mari Pada Baca, dan Kanti W Janis, di moderatori oleh Steby Julionatan, yang juga seorang penyair dan penampilan musik dari Eyo.
Suasana cair dan mengalir dalam diskusi ini, masing-masing pembicara memberikan penjelasan dan pendapat mengenai sastra Indonesia, buku favorit, karya dan harapan-harapan mereka, di akhir diskusi masing-masing peserta baik pembicara maupun penonton tampil open mic. Ada yang bermain musik, menyanyi atau membacakan puisi kesukaan atau karyanya sendiri. Sebuah diskusi sastra yang sederhana namun berkesan.
Setelah lebih dari setahun , Baca di Tebet telah membawa virus gerakan membangun perpustakaan di banyak tempat, tidak hanya arus pengunjung yang mencapai 4000 orang dalam setahun, tetapi juga meciptakan semangat yang sama dengan berdirinya perpustakaan lain seperti Baca di Ciremai, Baca di Borobudur dan masih banyak tempat yang lain.
Sumber Foto: Ferry Irawan