Fiksi Memancing Minat Sejarah
Bung di Banda, Jejak Cinta dan Kebangsaan di Pulau Pala
Penulis: Sergius Sutanto.
Penerbit Gagas Media, 2021 (Cetakan 1)
Xiv + 308 halaman
Dalam industri menulis Indonesia yang belum secara merata menjanjikan kemakmuran atau imbalan layak bagi para pelakunya, keberanian menyelesaikan sebuah novel, apalagi novel sejarah, dengan struktur dan bahasa yang terjaga mestilah dipuji. Tapi, keberanian itu bisa juga menjebak.
Novel atau fiksi secara umum yang bergenre “(roman) sejarah” mensyaratkan ada sebuah riset sejarah, dan itu tidak mudah. Apalagi, hasil riset itu tak bisa secara mentah dipapar sebagai fiksi. Harus ada pemamahan, proses mencerna, penafsiran, serta pengolahan atas data sejarah terkumpul, untuk kemudian didedahkan dengan perangkat-perangkat fiksi seperti dialog, dialog batin, sudut pandang, adegan, plot, karakterisasi, perkembangan karakter, drama, latar tempat dan waktu, dan sebagainya.
Sebuah fiksi sejarah tak hanya dituntut menyajikan kembali sebuah peristiwa atau periode sejarah. Ia juga seringkali dituntut untuk menyajikan sisi dalam dan segi dramatik dari peristiwa sejarah tersebut. Tentu saja, dengan menyadari bahwa bagaimana pun “fiksi sejarah” tidak sama dengan “sejarah” (fiksi selalu punya ruang besar untuk imajinasi, untuk mencipta), sang penulis lebih dulu harus memilih derajat sejarah dan derajat artistik dalam fiksi sejarahnya.
Apakah sang penulis hendak menuliskan sebuah rekonstruksi historis seakurat mungkin, atau hendak menangkap semangat zaman dalam periode yang jadi pilihan penulis, atau hendak menawarkan eskapisme saja dan lantas menulis roman percintaan berlatar sejarah yang tak hirau pada akurasi atau pembacaan semangat zaman?
Sergius Sutanto telah menghasilkan tiga novel sejarah-biografis sebelum novel ini. Yakni, Hatta, Aku Datang Karena Sejarah, Mangun, dan Chairil Anwar, Ini Kali Tak Ada yang Mencari Cinta. Ketiganya bersifat biografis, dan seperti terlihat dalam judul, tentang para tokoh yang sangat banyak dikenal. Dan kini, Sergius menovelisasikan sejarah hidup Sutan Sjahrir, salah seorang dari tiga tokoh utama pendiri negara Indonesia (bersama Soekarno, Mohammad Hatta; sebagian sejarawan menyebut Tan Malaka sebagai tokoh utama juga).
Ini sebuah pilihan berani, khususnya ketika Sergius memilih penutur aku-orang pertama si tokoh utama: Sergius sang novelis memasuki sosok “besar” itu dan menjelmakan diri sebagai Sutan Sjahrir di dalam teks. Tokoh “besar” seperti Sutan Sjahrir, Hatta, Chairil, Romo Mangun, adalah teks majemuk yang banyak ditulis-ulang oleh banyak sejarawan, jurnalis, atau saksi sejarah. Ada risiko besar ketika versi fiksi para tokoh “besar” itu disodorkan, yakni kepercayaan pembaca bakal mudah runtuh begitu gambaran fiktif tokoh “besar” itu bertabrakan dengan teks-teks non-fiksi yang telah ada. Belum lagi, risiko dibenturkan dengan kenangan para saksi atau pelaku sejarah di seputar sang tokoh yang difiksikan, yang masih hidup.
Misalnya, surat fiktif Sjahrir untuk pembuka novel ini. Surat bertajuk Sebuah Pengakuan. Saya cuplik beberapa bagian:
Akhirnya, kutulis cerita ini kepada Tuan-Tuan dan Saudara-Saudara sekalian, setelah belasan musim kupendam dengan sadar dan dada bergemuruh.
…
Jika Tuan dan Saudara menuduh, aku telah keliru menikahi Maria Duchâteau, perempuan berdarah Prancis-Belanda, sesungguhnya Anda semua khilaf berlipat karena telah menjadi hakim untuk cinta kami…
…
Aku tulis sejarah cinta ini pada subuh yang beku di musim dingin 1936, tak lama setelah pengasinganku dipindahkan dari Digul ke Banda Naira. (Hal. xiii-xiv)
Tampak, Sergius menggunakan diksi yang riskan dari segi penjagaan otentisitas “suara” Sjahrir yang masih bisa kita baca dalam surat-surat asli Sutan Sjahrir. Surat-surat yang antara lain terbit dalam buku Renungan dan Perjuangan (penerbit Djambatan & Dian Rakyat, 1990), dan digunakan sebagai bagian novel ini. Diksi riskan itu misalnya, “sejarah cinta”, “khilaf berlipat”, dan “hakim untuk cinta kami”. Terasa ada melodrama dalam diksi tersebut, bukan melankolia yang hadir di surat-surat asli Sjahrir.
Juga pilihan kata “belasan musim” terasa teledor: musim apakah yang dimaksud? Musim di Belanda, tempat tinggal Maria, yang berjumlah empat (dingin, semi, panas, gugur) ataukah musim di negeri Hindia, yang hanya punya musim hujan dan musim panas? Berapa tahunkah “belasan musim”? Apakah rentang waktu itu cocok dengan kronologi atau linimasa Sjahrir dalam sejarah maupun dalam novel ini? Lalu, Sergius menggunakan kata “subuh yang beku” dan “di musim dingin”, sembari dalam setarikan kalimat berikutya menyatakan bahwa sang aku-novel baru dipindahkan dari Digul ke Banda Naira –dua tempat di Hindia/Indonesia yang tak memiliki musim dingin.
Dan jelas, pilihan menggunakan tuturan dan sudut pandang aku-orang pertama di sekujur novel merisikokan otentisitas suara Sjahrir-historis yang bisa tertelan oleh Sjahrir-fiktif yang bisa jadi lebih merupakan suara Sergius/Sang Pengarang dalam novel ini, apabila metode penuturan novel biografi/sejarah ini adalah realisme. Saya tak mendapati petunjuk bahwa ini dimaksudkan sebagai sebuah novel sejarah-eksperimental, yang sengaja memilih menepis realisme sehingga bisa menggunakan litentia poetica untuk mencipta-ulang sosok Sjahrir menjadi sepenuhnya fiktif, memiliki relasi lentur dengan fakta dan “kenyataan”, serta jatuh dalam kuasa-Pengarang sepenuhnya.
Risiko itu diambil Sergius dalam buku ini, mungkin dengan semacam kepercayaan diri cukup tinggi atas bahan-bahan riset sejarah yang telah ia mamah untuk penulisan buku ini. Dan memang, cukup terlihat sebuah riset lumayan telaten. Ada 31 buku jadi rujukan novel ini. Ditambah, lewat program residensi penulis Komite Buku Nasional pada 2018, Sergius pergi ke Banda Naira dan Digul, untuk mengamati dan mengalami latar tempat otentik bagi novel ini.
Sebetulnya, ada yang terasa kurang juga dalam hal rujukan. Hanya ada tiga sumber bacaan dari koran dan majalah, dan ketiganya terbitan tahun 2000-an. Tak ada rujukan koran dan majalah dari periode cerita (1936-1942) maupun sebelumnya, misalnya, 1920-an, yang merupakan periode flashback dalam novel ini. Namun, tampak pula bahwa Sergius cukup setia pada rujukan-rujukan yang ia sebutkan sebagai sumber data.
Di satu sisi, upaya untuk setia itu memberi nilai world-building (pembangunan dunia-cerita) dan konteks peristiwa-peristiwa historis pada pikiran, ucapan, dan tindakan Sutan Sjahrir dalam novel ini. Di sisi lain, segi penuturan seringkali jadi terasa sebagai eksposisi saja, pemaparan didaktik bahwa ada peristiwa anu, anu, dan anu pada waktu dan tempat anu, anu, dan anu yang jadi latar tokoh di novel ini. Tidak terjadi pendalaman gagasan ataupun perasaan dalam teks-teks bergaya demikian, yang terjadi hanyalah penyampaian informasi. Misalnya:
Pada pertengahan tahun 1920-an, kata ayahku, Medan sudah kesohor sebagai hunian paling “kota” di seantero Sumatra bersanding dengan Surabaya, Semarang, bahkan Batavia sekalipun. Setiap tahun, para pemilik uang berbondong-bondong menanamkan modal untuk memegahkan kota. Belum lagi, serangkaian pertunjukan ala Opera Italia yang berseliweran menjamu para penduduknya. Ada Troubadour, Carmen, Il Barbiere di Siviglia, Tosca, atau Madame Butterfly yang digelar di bioskop Empress di pusat kota. (Hal. 27)
Novel ini juga punya problem lain. Gagasan kebangsaan dalam diri Sutan Sjahrir dan sesama tokoh pergerakan nasionalis yang diasingkan di Banda, yakni Hatta, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Iwa Koesoema Soemantri di novel ini adalah sebuah gagasan yang telah jadi, bulat, dan dalam bentuk patriotik dan bukan reflektif. Tidak terlalu tergambar pergulatan gagasan dan proses para tokoh itu dalam mencari artikulasi terbaik atas kesadaran baru itu.
Padahal periode 1930-an hingga Proklamasi, adalah periode penuh gejolak mencari artikulasi dan orientasi kebangsaan dari semua pemikir dan aktivis kebangsaan. Polemik Kebudayaan masih hangat. Sastra masih mencari-cari bentuk, terutama di lingkaran Pujangga Baru dan Balai Pustaka. Persaingan ideologis masing-masing organisasi pergerakan yang dipimpin oleh Hatta-Sjahrir, Soekarno, Tan Malaka, Tjokroaminoto, dan banyak lagi.
Bentuk patriotik dari paham kebangsaan dalam novel ini menyebabkan ada semacam antagonisme hitam putih dalam memandang orang Eropa di Hindia.
De Locomotief di tanganku tiba-tiba saja terkulai lemas menyentuh bibir meja di hadapanku. Godverdomme! Aku merutuk sejadi-jadinya. Ini bukan lagi soal suka atau tidak suka, bukan perkara siapa yang harus diam atau mengalah. Namun, hal yang kuanggap sangat mengganggu rasa kebangsaanku. (Hal. 5)
Antagonisme demikian menghambat potensi novel sebagai sebuah arena “permainan bahasa” (language game) sebagaimana diurai Salman Rushdie dalam esainya, Is Nothing Sacred? (1990). Bagi Rushdie, novel adalah sebuah tempat bagi setiap ideologi dan kepercayaan bisa berkompetisi dengan optimal. Tak masalah jika sang novelis percaya pada salah satu ideologi yang ia tuliskan dalam arena permainan bahasa itu. Tapi, sang novelis semestinya membiarkan ideologi lawannya hadir dengan meyakinkan juga. Sehingga, novel (atau seni) bisa jadi “ruang ketiga” yang menghasilkan sebuah transendensi dari konflik itu.
Dalam novel ini, kualitas “jahat” penjajah Belanda dan kualitas “baik” dan “tertindas” adalah sebuah posisi yang terberi, dan totalistik, dari sebuah kesimpulan bahwa kebangsaan Indonesia itu telah ada, jadi, bulat, dan mutlak. Akibatnya, kejahatan pemerintahan Belanda di tanah Hindia itu telah ada, jadi, bulat, dan mutlak juga. Akibatnya, tokoh-tokoh Belanda dalam novel ini pun nyaris semuanya hadir sebagai representasi atau bahkan karikatur belaka dari kejahatan yang sudah terberi itu. Tak ada pertarungan gagasan dalam novel ini, yang hadir adalah pertarungan moral non-filosofis. Semacam pertarungan iman, yang nilainya harus diterima secara a priori.
Memang ada bagian-bagian yang hendak menggambarkan pergulatan gagasan itu. Tapi, pergulatan gagasan itu diungkapkan dalam bentuk kesimpulan, sebuah pergulatan yang telah usai.
Satu lagi, kebangsaan yang kuyakini bukan nasionalisme yang berdiri di menara gading, tapi turun menyentuh kemaslahatan orang banyak. (Hal. 135)
Ada tersirat di dalam kalimat yang saya kutip itu, kesadaran adanya keragaman bentuk nasionalisme yang dilihat oleh Sjahrir. Tapi kesadaran itu disajikan sudah jadi juga, siap pakai, tak digambaran prosesnya. Dan dengan segera, kesadaran akan keragaman corak nasionalisme yang hanya tersirat singkat itu, dikunci oleh sebuah kesimpulan.
Tapi saya menangkap sebuah maksud baik juga: Sergius ingin menghidupkan sosok Sutan Sjahrir secara popular. Sehingga, sejarah tak lagi jadi sesuatu yang terkesan usang dan tak menarik. Bisa dipahami, dalam konteks ini, pilihan untuk menjangkarkan cerita pada suka duka asmara Sjahrir dan Maria. Sebuah “sejarah cinta”.
Dan memang sebaiknya novel ini diperlakukan sebagai sebuah pintu masuk sekaligus ajakan untuk memasuki ruang di balik pintu itu. Ruang sejarah (kebangsaan) kita yang amat kaya dengan pergulatan pemikiran, keterasingan, kehilangan, ketegangan, gejolak. Sebuah pintu yang perlu ada, karena terlalu lama kita merugi akibat penodaan Orde Baru terhadap kurikulum pelajaran sejarah di sekolah-sekolah –lewat manipulasi sejarah palsu seakan nasionalisme kita hanya lahir dari aksi perang militer kita, sekaligus penanaman kesan bahwa pelajaran sejarah itu membosankan dan tak relevan. Jika roman asmara Sjahrir & Maria bisa jadi semacam “click bait” agar pembacanya jadi berminat pada sejarah kita, itu berharga juga. ***