Gody Usnaat, Mama Menganyam Noken
“Di Desa Semografi lebih mudah menemukan Indomie rasa soto daripada koran lokal”
Gody Usnaat adalah penulis puisi yang terpilih sebagai salah satu penyair muda Dewan Sastra Asia Tenggara Indonesia (MASTERA). Sarjana Filsafat lulusan STFK Ledalero, Maumere-Flores, ini memilih menjadi guru di daerah perbatasan NKRI dan Papua New Guinea, yang tidak ada fasilitas listrik, apalagi jaringan internet.
K: Bisa ceritakan latar belakang Anda? Sejak kapan Anda tahu ingin jadi penulis puisi, apakah masa pertumbuhan Anda banyak mempengaruhi minat Anda dalam hal tulis menulis? Bisa ceritakan masa pertumbuhan Anda di Papua?
GS: saya betul-betul intens belajar menulis puisi dan ingin jadi penulis puisi sejak 2007. Waktu itu ada acara di kampus Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero—penutupan acara Festifal Ledalero. Beberapa penulis diundang ke sana seperti, Maria Matildis Banda, Joko Pinurbo, Agus Noor dan beberapa yang saya tak kenal. Salah satu kegiatan yang saya ikuti waktu itu adalah sebuah seminar yang dibawakan oleh pak Ignas Kleden dan ibu Maria Matildis Banda. Saya duduk menyimak saja kedua pembicara ini membicarakan sastra. Mereka membahas buku Tapak-tapak Tak Bermakna (buku antologi puisi dan cerpen). Karena penasaran dengan dunia sastra dan punya hobi baca buku, saya lalu putuskan untuk selalu membaca. Buku puisi yang cukup menyita perhatian saya adalah Tuhan Telpon Aku Dong karya Y Thendra Bp. Saya pinjam buku itu dari teman yang ia sendiri meminjam buku itu dari pastor Paul Budi Kleden SVD. Buku itu saya baca beberapa kali. Di kemudian hari, Y Thendra Bp menjadi guru puisi saya. Tahun 2019 kami berjumpa di jogja. Selain buku itu, saya juga membaca puisi-puisi yang dimuat di Kompas, dan majalah Horizon, untuk itu saya ke perpustakaan. Kegiatan penutupan Festival Ledalero itu sangat membekas bagi saya karena di acara itu saya membangun niat untuk menjadi penulis.
Saat masa kanak-kanak, saya selalu diceritakan kisah-kisah dongeng oleh mama. Cerita-cerita mama kadang membuat saya menangis, kadang tertawa juga membuat saya terhibur dan bahkan bisa nyenyak tertidur walau dalam keadaan lapar sekalipun. Ayah saya juga punya minat membaca, ia punya beberapa buku yang ia simpan dan saya sering membuka buku-buku tersebut. Ia sering menempelkan kertas koran di dinding rumah—sebagai anak tentu punya rasa penasaran—saya lalu lihat apa yang ditempel bapak. Ia tak hanya menempel koran bekas tapi juga catatan-catatannya, tentang tanggal ayam betina bertelur, kapan sapi betina kawin atau catatan tentang hasil pertemuan di kantor desa. Di rumah kakek, saya menemukan koran jawa pos, saya baca tapi hanya kolom olah raga—nah di SMA seminari menengah, hobi menulis mulai terasah pelan. Kami diwajibkan untuk menulis catatan harian. Ini menjadi kebiasaan baik. Waktu itu, saya belum menulis puisi atau apa pun selain menulis pengalaman harian saya di buku catatan harian. Kebiasaan menulis catatan harian
ini saya bawa hingga kuliah. Tahun 2010-2011 saya di Ende, saya belajar menulis dari beberapa pastor yang adalah penulis dan penyair juga. Di Ende saya mendapatkan cerita tentang jogja, cerita tentang Umbu Landu Paranggi—cerita-cerita ini mendorong saya untuk kelak bisa ke Jogja dan ke Bali untuk bertemu Umbu. Saya ke jogja, pada suatu saat, saya juga mengirimkan puisi saya ke pak Umbu Landu Paranggi di Bali. Saya tak tahu apakah puisi-puisi saya itu tiba di alamatnya, dibaca dan dimuat di Bali Pos atau tidak? Bagi saya itu tak penting, asalkan selama hidup saya bisa kirim puisi kepada pak umbu.
K: Anda terpilih sebagai salah satu penyair muda Dewan Satra Asia Tenggara Indonesia (MASTERA) pada 2017, bisa ceritakan apa yang terjadi dalam hidup Anda setelah itu?
GU: Sebenarnya tahun 2015-2016 saya hampir berhenti menulis. Tetapi kegiatan menulis ini (menulis catatan harian, menulis puisi) sulit dihentikan. Di tahun-tahun itu, saya sering mengirimkan puisi lewat sms kepada beberapa teman saya. Saya kirim juga beberapa puisi saya kepada kaka Dayu Rifanto. Pada suatu hari ia mengirimkannya ke MASTERA dan saya terpilih. Saya cukup kaget karena tak pernah mengirimkan puisi saya ke MASTERA—saat itu sulit berkomunikasi dengan dunia luas, karena tempat saya bertugas waktu itu tidak ada jaringan internet. Nah, sejak MASTERA itu, saya mengalami banyak keberuntungan. Saya bertemu dengan beberapa penulis seperti Joko Pinurbo, Acep Zamzam Noor dan beberapa lainnya. Sekembali dari sana saya sangat rajin menulis puisi, menulis tanpa beban—saya muat puisi saya di laman facebook kalau sedang di kota. Hingga suatu hari kaka Dayu Rifanto menawarkan untuk menerbitkan buku puisi saya. Maka terbitlah Mama Menganyam Noken. Saya merasa MASTERA merupakan titik di mana saya kenal banyak teman penyair dan dengan mereka saya terus belajar menulis puisi. Hingga kini saya pun beranggapan, menulis puisi adalah panggilan hidup.
K: Kumpulan puisi dalam buku Mama Menganyam Noken yang diterbitkan pada 2019 merupakan buku pertama Anda, apakah ini berdasarkan kehidupan keseharian Anda? Bagaimana proses kreatifnya?
GU: Buku puisi saya, Mama Menganyam Noken, sebenarnya merupakan hasil pengamatan, riset dan catatan keseharian saya di kampung Semografi. Ketiadaan jaringan internet untuk bikin kontak dengan dunia luar membuat saya, pada awalnya, tertekan. Lalu saya coba mencari kira-kira apa yang harus saya buat supaya tetap bahagia di tempat ini—tempat yang tidak ada sinyal internet dan telepon, tempat yang tak punya akses jalan raya, tempat yang pada awalnya membuat saya betul-betul merasa seperti tempat buangan tahanan politik. Lalu saya mulai menulis puisi, saya kirimkan ke beberapa teman. Saya beruntung bisa bertemu dengan kaka Dayu Rifanto. Ia bilang ke saya untuk menulis tentang situasi di kampung itu, “tulis supaya banyak orang tahu, jangan hanya saya dan pak guru yang tahu”. Saya lalu menulis tentang noken, matoa, gomo, tentang sekolah tentang dusun dan lainnya sambil menyisipkan beberapa pandangan saya tentang situasi hidup di kampung itu. Tentang perjuangan mereka di daerah perbatasan NKRI-Papua New Guinea.
K: Puisi-puisi Anda sepertinya merupakan respon Anda terhadap persoalan sosial yang ada, kegelisahan dan kepedulian terhadap situasi yang ada, tetapi juga harapan yang besar. Respon seperti apa yang Anda harapkan dari masyarakat?
GU: Saya menulis ini, dan berharap banyak pihak yang tahu tentang situasi di sini, misalnya, pendidikan di Semografi dan juga sekolah-sekolah di pedalaman. Setelah mereka mengatahui hal-hal yang saya tuliskan barangkali ada semacam usaha untuk memperbaiki situasi pendidikan, kesehatan atau persoalan pembangunan yang makin hari semakin tak menentu, semakin tak tentu arah, kepada siapa rumah atau sekolah yang dibangun? Atau mengambil kebijakan untuk misalnya guru tak hadir tepat waktu ke sekolah, guru tak digaji cukup, anak murid yang terlalu lama tunggu guru datang dari kota dan lain-lain. Tentu ada harapan bahwa situasi ini akan berubah kelak—yang kurang baik akan berubah menjadi semakin lebih baik, dan untuk itu menurut saya kita perlu kerja sama. Jika kerja sama ini tak pernah ada maka, situasi-situasi di atas ini akan terus memburuk.
K: Bisa ceritakan tentang buku terbaru Anda, Bertemu Belalang?
GU: Setelah menerbitkan buku puisi Mama Menganyam Noken, saya bingung mau menulis apa lagi. Di jogja pada 2019, saya bertemu sama bang Indrian Koto, dan mas Thendra BP—kami berdiskusi mengupas Mama Menganyam Noken, saya lalu tercerahkan tentang bagaimana menulis puisi— saya bisa mengolah lagi cara saya menulis puisi. Selama perjalanan pulang dari Jawa ke papua, saya menulis beberapa catatan, dan kujadikan itu puisi. Nah ketika sampai di kampung, saya lalu memperdalam kehidupan di kampung, bertanya banyak hal lalu menuliskan itu dalam puisi. Dalam Bertemu Belalang saya masih bercerita tentang kehidupan anak, tentang kehidupan sosial dan ketimpangan-ketimpangan di kampung—dalam buku kedua ini saya semakin perdalam beberapa tema yang sebelumnya saya angkat. Bang Indrian Koto kemudian bersedia menerbitkannya di penerbit Jbs—penerbit yang ia tangani.
K: Pada 2015 Anda mendirikan rumah baca Jendela Semografi, pada 2019 menjadi pembicara di Festival Sastra Yogyakarta dan pada tahun yang sama terpilih mengikuti Borobudur Writers & Cultural Festival. Di akhir 2021, Anda menjadi pembicara di Makassar Writers Festival dan sejak 2014 Anda bekerja sebagai guru SD di kabupaten Keerom. Apakah semua ini bagian dari perjuangan Anda untuk dunia literasi Papua? Apa rencana ke depan?
GU: Terus terang, apa yang sudah saya buat itu merupakan kerja sama saya dengan teman-teman di banyak tempat. Saya tidak bisa katakan itu adalah perjuangan saya. Rumah Baca Jendela Semografi, misalnya, berdiri berkat kerja sama dengan tim Nusantara Sehat I, Buku Untuk Papua dan banyak pendonor lain yang sampai hari ini saya belum kenal mereka semua. Untuk semua keberuntungan yang sudah saya alami selama ini. Menjadi penyair atau pembicara atau pengelolah rumah baca, saya anggap sebagai kepercayaan dan untuk itu saya ucapkan banyak terima kasih untuk semua teman-teman yang selalu mendukungku.
Saya ingin sekali mendirikan satu kelompok belajar —yang punya perpustakaan, yang punya pendamping bagus dan setia kepada mereka. Ini sebenarnya didorong oleh karena situasi SD di pedalaman tidak diperhatikan dari para pengambil kebijakan yang
pada akhir-akhir ini membuat saya mulai curiga, apakah ini kesengajaan supaya anak-anak pedalaman papua tak bisa baca, tulis dan hitung? Padahal kalau saya lihat, anak-anak punya semangat untuk sekolah, ini pada masa masa awal sekolah, tetapi karena ketiadaan guru, kekurangan guru, atau karena kekurangan fasilitas sekolah, situasi ini membuat sebagian dari anak-anak merasa sekolah itu tak penting.
Tetapi terlepas dari soal pengambil kebijakan itu—saya dan beberapa teman telah menginisiasi kelas menulis untuk anak-anak. Setiap sore, anak-anak datang dan kami belajar baca, tulis dan berhitung, tentu saja ada waktu khusus untuk mereka juga, belajar menulis cerita. Kelas sore ini semoga umur panjang dan banyak anak terbantu dalam hal baca, tulis dan berhitung.
K: Bagaimana menurut anda tentang minat generasi muda papua terhadap sastra? Apa yang perlu dilakukan agar semakin banyak yang tertarik pada dunia baca dan tulis menulis?
GU: Saya hendak bicara saja tentang minat anak-anak di kampung tempat saya bertugas, kampung Semografi—Papua terlalu luas untuk ini. Maksud saya, dari tempat saya bertugas saya mau katakan beberapa anak di kelas menulis cerita sudah menunjukan minat mereka akan sastra. Ketika mereka menulis cerita saya sangat kagum dengan gaya penceritaan mereka. Imajinasi dan pengetahuan mereka tentang alam yang mereka miliki barangkali membuat mereka cepat untuk menulis. Nah, persoalannya adalah mereka sulit menemukan guru atau siapa saja yang bisa mereka anggap ‘kaka’ yang membimbing mereka. Kita membutuhkan guru yang memberikan contoh bahwa membaca itu penting—atau guru yang punya inisiatif untuk menyediakan tempat atau buku dan mengajak mereka. Ini hal dasar yang kalau tak ada yang mulai atau kalau tidak ada kerja sama maka anak-anak tak bisa baca apalagi menulis.
K: Apakah mudah menemukan buku-buku sastra atau buku cerita di tempat Anda? Apa yang perlu dilakukan agar semakin banyak yang tertarik pada dunia baca dan tulis menuli?.
GU: Tentu amat susah menemukan buku sastra atau buku cerita di tempat saya sekarang; lebih mudah menemukan indomie rasa soto dari pada menemukan koran lokal, misalnya. Sejak jalan raya masuk saya kira buku akan lancar anak-anak dapatkan di perpustakaan sekolah ternyata tidak juga—barangkali karena seperti yang saya katakan belum ada kerja sama diantara banyak pihak yang bisa menunjang lancarnya peredaran buku atau sarana dan prasarana pendidikan. Tentang harga buku mahal? Saya kira tak ada soal. Kalau anak sudah punya minat untuk baca buku, dia pasti akan berusaha untuk dapatkan buku itu. Nah, untuk menumbuhkan minat baca—sebenarnya harus dimulai dari rumah dan sekolah dasar. Saya lihat ada minat anak terhadap buku tetapi persoalan yang muncul, apakah buku-buku yang tersedia itu sesuai dengan umur mereka atau tidak. Nah, di sinilah berdasarkan pengalaman kami, kami berusaha untuk menyediakan buku sesuai dengan umur mereka. Dan tentu saja diperlukan guru yang selalu bersedia untuk mendampingi mereka dalam membaca dan mencintai buku.
K: Buku apa yang sedang and abaca sekarang ini?
GU: Saya sedang membaca tiga buku; buku Nirwan Dewanto—Senjakala Kebudayaan, buku novel Seratus Tahun Kesunyian—Gabriel Garcia Marques dan buku puisi Aku Hendak Pindah Rumah—buku puisi M. Aan Mansyur. Biasanya saya baca selang-seling untuk tiga buku ini. Buku puisi M. Aan sedang saya baca untuk ketiga kalinya.
Sumber Foto: GU