KETIKA LAMPU BERWARNA MERAH
Menyelami Sisi Lain Kehidupan Kota
Membaca novel karya Hamsad Rangkuti ini serasa berada di tengah sisi lain kehidupan hingar-bingar kota Jakarta. Hamsad Rangkuti menghadirkan tokoh Basri dan kelompoknya yang berisi anak-anak pengemis. Mereka mengemis setiap hari di dekat lampu lalu lintas untuk mengisi perut mereka. Situasi dari sisi kelam perkotaan yang diceritakan begitu relevan dengan situasi yang dapat kita temui di perkotaan. Kisah dalam novel ini menunjukkan bagaimana sebagian kehidupan tak selalu jadi lebih baik meskipun tahun-tahun telah berganti. Di balik megahnya gedung-gedung pencakar langit masih ada kesenjangan sosial yang begitu besar akibat sebuah sistem yang pincang. Hal itu membuat sebagian orang terpaksa menjadi miskin dan kadang tidak pernah menemukan jalan untuk keluar.
Basri adalah seorang anak yang berasal dari sebuah desa di Jawa Tengah. Ia begitu takjub dengan Monas dan ingin sekali tinggal di Jakarta. Namun, ia tak punya bekal untuk hidup layak di sana. Akhirnya ia harus menjalani kehidupan sehari-hari dengan mengemis bersama anak-anak lain. Ada seorang anak berkaki satu di dalam kelompoknya bernama Pipin. Ia menjadi salah satu alat bagi Basri dan kawan-kawannya mendapat iba dari para pengendara di perempatan. Basri dan kawan-kawannya yang berkaki lengkap bergantian menggendong Pipin saat mengemis. Di sisi lain, dua orang tua Basri di desa berencana untuk meninggalkan pulau Jawa karena desa mereka akan dijadikan waduk. Seorang tetangga di desa pernah melihat Basri mengemis dengan menggendong anak berkaki satu. Orang tua Basri yang diberi tahu hal itu langsung bertekad menemukannya sebelum mereka meninggalkan Pula Jawa. Mereka juga ingin membawa Basri ikut bersama mereka.
Dalam novel ini Hamsad Rangkuti mengangkat beragam persoalan sosial yang ada di masyarakat khususnya di perkotaan. Salah satunya adalah ketimpangan antara masyarakat kaya dan miskin. Hal itu ditunjukkan melalui kisah Pipin yang ingin sekali membeli martabak dari seorang pedagang. Namun, Pipin tak bisa mendapat martabak yang dijual pedagang itu meskipun ia memiliki uang. Sebab ada sekelompok orang kaya di restoran yang terus-menerus memesan martabak seolah mereka tak pernah kenyang. Dalam kehidupan sehari-hari khususnya di perkotaan kita dapat melihat ketimpangan semacam itu. Orang-orang kaya dengan daya beli yang tinggi selalu bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka sampai kadang apa yang mereka beli belum tentu mereka perlukan. Sebaliknya orang-orang miskin akan tetap miskin karena semakin hari harga barang-barang semakin mahal, tapi mereka kesulitan untuk meningkatkan taraf hidup.
Ketika Lampu Berwarna Merah menghadirkan kontras pada kehidupan yang kita jalani sehari-hari. Cerita tentang Basri dan kehidupan yang dilalui oleh kawan-kawan serta orang-orang yang berkaitan dengan mereka memberi tahu pada kita bahwa negara tak selalu hadir untuk melindungi orang-orang yang terpinggirkan. Tokoh Pipin menjadi pincang karena penggusuran tempat tinggal. Setelah ia tumbuh besar, ibunya sakit tanpa ada yang menolong hingga meninggal. Setelah meninggalpun orang lain masih memanfaatkan mayatnya untuk mendapat uang. Kisah pilu tersebut menjadi refleksi bahwa ada ketidakadilan dalam kehidupan kita sehari-hari dan orang-orang miskin sering menjadi korbannya.
Dapat dikatakan bahwa novel ini merupakan sebuah novel yang berisi kritik sosial. Persoalan kemiskinan perkotaan diceritakan melalui sudut pandang tokoh-tokoh yang berkaitan langsung dengan situasi itu, seperti Basri, Pipin, dan kawan-kawan pengemisnya, Sanip dan Tom penghuni rumah-rumah karton, serta Kartijo, orang tua Basri. Melalui kisah masing-masing tokoh kita mendapatkan pesan bahwa persoalan kemiskinan membuat orang-orang yang mengalaminya harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Terkadang mereka harus melakukan hal-hal keji untuk mendapatkan uang, seperti yang dilakukan oleh Sanip dan Tom. Ironisnya beberapa tokoh terasa pasrah dan nyaman dengan kehidupan yang mereka jalani. Kita hampir tak akan menemukan aparatus negara dalam novel ini. Seperti halnya dalam masalah kemiskinan perkotaan yang berlarut-larut hingga saat ini, negara tak selalu hadir. Dalam kehidupan nyata kita masih bisa menemukan kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan, seperti korupsi dana bantuan sosial, korupsi di ranah pembangunan pendidikan, korupsi di ranah kesehatan, dan korupsi lain yang menghambat perbaikan dan kemajuan pada kehidupan masyarakat. Ketika Lampu Berwarna Merah pertama kali diterbitkan tahun 1980. Namun, persoalan sosial yang ditampilkan dalam novel ini masih dengan mudah kita temukan pada masa kini. Apakah artinya negara ini sebenarnya tidak pernah maju dan berubah?
Hamsad Rangkuti adalah pengarang yang telah menulis banyak cerpen sejak tahun 1950an. Karya-karyanya dikenal bergaya realis dan mengangkat isu-isu sosial. Hamsad Rangkuti meninggal pada tahun 2018, karena penyakit yang dideritanya. Semasa hidupnya ia pernah berkarir di majalah sastra Horison sebagai Pemimpin Redaksi dan menjadi pengurus Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Penulis: Hamsad Rangkuti
Penerbit: Diva Press
Tahun Terbit: 2016
Jumlah Halaman: 226 halaman