Seni Pertunjukan adalah Passion Hidup
Memilih jalan hidup berkesenian kini semakin banyak menjadi pilihan bagi kalangan anak muda di Indonesia. Meredefinisi kebahagiaan, tidak terkukung dalam rutinitas dan peraturan kantoran, serta asyik memperjuangkan sebuah karya seni bisa diapresiasi masyarakat , bahkan dunia, menjadi passion bagi beberapa gelintir anak muda, termasuk Ratri Anindyajati, Direktur Indonesia Dance Festival.
Sebagai salah satu putri dari Maria Dharmaningsih, salah satu Founder Indonesia Dance Festival (IDF) , Ratri tengah sibuk menyiapkan Indonesia Dance festival untuk 2024 setelah sebelumnya, ajang dua tahunan ini sukses terselenggara pada tahun 2022. Berikut obrolan singkatnya dengan Kultural Indonesia.
K: Bagaimana Anda Mengenal dunia tari dan kesenian pada awalnya?
RA: Aku tumbuh dalam lingkungan seniman, ibuku Maria Dharmaningsih adalah seorang penari, ayah dan pakdeku juga nari, sejak kecil sudah diajarkan menari dengan ibuku, sering diajak menonton berbagai pertunjukan termasuk saat ibuku pentas, jadi aku sudah akrab dengan tari dan seni pertunjukan sejak kecil.
Apalagi saat aku berusia 10 tahun, sekeluarga pindah ke Kanada di Kota Lethbridge karena ibuku mendapat beasiswa S2 (1998 – 2002). Aku sengaja dilatih intensif untuk belajar Tari Merak. Lalu di sana ada acara World Heritage Day. Aku dan adik yang mementaskan Tari Merak mendapatkan sambutan paling meriah dan masuk berita dalam surat kabar lokal saat itu.
K: Bagaimana hingga akhirnya memutuskan untuk berkarir di dunia seni?
Di Kanada aku aktif menari Hiphop dan bercita-cita menjadi penari profesional. Namun saat kembali ke Indonesia, cita-cita itu pupus dan beralih ingin menjadi atase kebudayaan yang membawa misi budaya Indonesia ke Luar negeri mengingat masa kecil saat di Kanada, tari Indonesia sangat dihargai.
Maka setelah lulus sekolah aku melanjutkan pendidikan ke Universitas Parahyangan Jurusan Hubungan Internasional. Tetapi cita-cita itu berubah kembali saat aku lulus kuliah tahun 2011, karena banyak pertimbangan.
Saat menulis skripsi, aku magang di IDF dan ikut membantu dengan menjadi LO dan lainnya, aku melihat banyak posisi dalam persiapan produksi sebuah pertunjukan. Terlibat dan berinteraksi dengan seniman dari berbagai negara, seperti komunitas global yang peduli dengan interkoneksi dan pertukaran budaya, saling pengertian dan toleransi. Di situ aku juga melihat dalam manajemen seni ada jenjang karirnya.
Akhirnya aku menulis skripsi dengan tema Globalisasi Kebudayan yang tampak di festival multikultural yang terjadi di Indonesia Dance Festival.
Begitu lulus kuliah, cita-cita untuk menjadi manajer seni tetap berada di kepala Ratri, namun Wanita yang gemar dengan kegiatan hands and craft ini tetap memerlukan legitimasi untuk menjadi pengelola seni dengan mendapat gelar pendidikan. Makanya ia gemar mencari beasiswa di luar negeri.
K: Ceritakan Bagaimana pengalaman magang di festival besar di Eropa ?
RA: Sementara menunggu informasi beasiswa, aku magang di festival seni di Eropa. Pertama pada tahun 2011 di Impulstanz Vienna International Dance Festival. Ada budeku yang seorang kurator seni di Wina, Austria yang mengajak aku untuk magang di festival seni ini. Di sana aku tidak dibayar, hanya melakukan pekerjaan sederhana, mulai dari sobek karcis pertunjukan hingga mengambilkan jaket penonton. Namun aku bisa mendapatkan akses menonton gratis semua pertunjukan hingga mengikuti workshopnya. Melihat bagaimana situasi sebuah festival seni itu berjalan.
Kemudian di tahun 2013 aku kembali mendaftar untuk magang. Kali ini di Kunsten Festival DesArts di Brussel , Belgia. Kali ini aku terlibat dalam tim produksi kegiatan festival. Mereka juga banyak memberikan informasi dan referensi, bagaimana mengelola seni berbasis komunitas.
Saat aku berkegiatan di sana aku sudah punya impian apa yang terjadi di sana dapat aku terapkan di IDF.
Hingga akhirnya di tahun 2017 aku mendapatkan kesempatan memperoleh beasiswa LPDP di California Institute of Art dengan jurusan Creative Producing and Management.
K: Setelah mendapat berbagai pengalaman bagaimana mengelola kegiatan seni di luar negeri, bagaiman Anda bandingkan dengan Indonesia?
RA: Sejak dulu mengenal dan berada di lingkungan seniman, dari sisi manajerial sangat kurang. Peran manajerial masih dalam hubungan keluarga atau orang dekat. Seniman tidak punya support system, sehingga banyak yang menjadi manajer untuk dirinya sendiri.
Ibu-ibu pendiri IDF( Nungki Kusumastuti, Mari Dharmaningsih dan Melina Surya Dewi ) melihat kekosongan platform untuk menampilkan karya-karya tari kontemporer di Indonesia. Maka kemudian mereka mendirikan IDF.
Kita sama – sama sadar bagaimana peran produser sangat penting di ekosistem kesenian. Kita butuh anak-anak muda yang berperan dalam posisi itu. Kini saya melihat ada harapan itu. Walaupun lingkupnya masih lingkaran dekat atau keluarga.
K: Bagaimana akhirnya Anda kembali terlibat di IDF?
RA: Selesai Kuliah di AS saya kembali IDF setelah sebelumnya memproduseri beberapa seniman di AS. Saya kembali magang di IDF dengan mengajukan surat lamaran. Sayangnya pandemi datang melanda. Sehingga IDF 2020 tampil online. Ibu-ibu pendiri IDF sudah mengatakan bahwa sudah tidak menjadi direktur lagi, namun saya ditunjuk sebagai production manager. Sampai akhirnya di tahun 2022 mereka menunjuk saya menjadi Direktur IDF.
K: Harapan Anda untuk dunia seni pertunjukkan di Indonesia?
RA: Aku bersyukur berkat perjuangan para seniman senior, akhirnya Indonesia memilki program funding untuk kegiatan seni budaya dengan Dana Indonesiana dari Kemendikbud & Ristek, seni di Indonesia hidup kembali, apalagi setelah pandemi berakhir, ada gerakan di anak muda Indonesia untuk kembali ke produk lokal, termasuk kesenian.
Namun aku berharap semakin banyak produser-produser handal Indonesia yang mendukung seniman-seniman Indonesia berkarya, dapat ditonton dan menjembatani kerjasama dengan berbagai institusi dan membawa dampak bagi komunitas lokal.
Sumber Foto: Dok. RA