Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

Kuncir Sathya Viku, Sajikan Situasi Bali Jaman Sekarang Dalam Pameran Tunggal The Garden of Edan di CGartspace

Kuncir Sathya Viku, Sajikan Situasi Bali Jaman Sekarang Dalam Pameran Tunggal The Garden of Edan di CGartspace

CG Artspace-Rumah Miring mempersembahkan sebuah pameran tunggal dari seniman asal Tabanan, Bali, Kuncir Sathya Viku. Melalui pameran bertajuk The Garden of the Edan ini, pelukis kelahiran tahun 1990 ini memaparkan situasi kontradiktif Bali lewat gaya seorang anak pendeta Hindu yang hidup dalam kehidupan religius, namun ia memberontak dan membawanya ke jalanan,sehingga dalam balutan tradisional lukisannya mengambil tema-tema kekinian bergaya kontemporer.

Berlangsung dari 22 Agustus – 5 September 2024, 14 karya yang dipamerkan di kawasan Pondok Indah Jakarta Selatan ini terdiri dari berbagai media. Mulai dari canvas, kertas dari Kayu Mulberry dengan pewarna acrylic dan kertas biasa.

“Terlepas dari situasi positif dan negatifnya, saya hanya memaparkan dalam visual yang menarik, apa yang sedang terjadi di Bali,“ ungkap Kuncir.

Berawal dari ide Bali laksana ‘Taman Eden’ yang kemudian menjadi Taman Edan, dari budaya agama dan tradisi yang kuat dengan pengaruh moderenitas dan komersialisme. “Kuncir melihat permasalahan baru di Bali yang kemudian diangkat dalam lukisannya dalam gaya kontemporer namun tanpa meninggalkan gaya dari pengaruh leluhurnya yaitu rerajahan,“ kata Ignatius Krisnaya Santoso, sang kurator.

Rerajahan adalah lembar bertuliskan doa atau mantra, biasanya dihiasi gambar-gambar mahluk gaib yang ditulis di atas lembar kain, kertas lontar dan bambu. Biasa digunakan sebagai alat doa upacara atau bahkan pengantar ilmu hitam.

Pengaruh rerajahan dan kehidupan spiritual dari keluarga pendeta Hindu yang kemudian dipadukan dengan warna warni kekinian menjadikan lukisan-lukisan Kuncir menjadi unik dan menarik untuk dicermati.

Apalagi pada lukisan yang menggunakan kertas dari kayu Mulberry, sebuah paparan layaknya sebuah mandala seperti lukisan dalam kuil-kuil Hindu Budha namun dibalut dengan tema-tema kekinian, lihat saja judul-judulnya. Mulai dari Pilgrimage Mandala into Stupidity, Melukat at New Mosco dan Skibidi Subak.

Jika pada media canvas biasa menggunakan kuas dan tinta acrylic, sedangkan pada media kertas Mulberry atau Daluang dalam Bahasa Bali, Kuncir menggunakan pen atau pena juga dengan tinta acrylic.

Selain dengan media canvas, ada juga karya-karya yang dikelompokkan dalam paperworks. Jika lukisan dalam Kertas Mulberry dan canvas ditempatkan dalam bingkai besar sebagai gambaran dari Macrocosmos. Dalam kelompok karya paperworks menggunakan bingkai kecil dan obyek gambar bersifat individual sebagai gambaran dari semesta microcosmos.

Satu lagi ada sebuah karya instalasi berjudul Colective Scrolling berisi untaian kertas-kertas A4 yang berisi dokumen pengadilan dan gambar -gambar hasil coretan karya anaknya Kuncir sendiri, sebagai simbol dari situasi visual dari media sosial saat ini. Percampuradukan antara informasi yang lucu dan menyeramkan, antara informasi yang menyebalkan dan menghibur berlangsung sangat cepat dan random.

Akhirnya dengan gaya lukisan rerajahan dipadu dengan citra visual dan psikedelik ini dapat menjadi hiburan dan warna baru dalam dunia seni rupa Indonesia. “Saya berharap karya-karya saya dengan bentuk dan tema kekinian tanpa melupakan akar saya sebagai orang Bali ini dapat diterima dan dikenal lebih luas di masyarakat,“ tutup Kuncir.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.