Mengendapkan Pergerakan Komik
Komik, Media Yang Terus Bergerak
Bambang Tri Rahardian, M.Sn.
Penerbit Jejak Pustaka, Juli 2021
viii + 102 halaman
Beng Rahardian, nama pena dari Bambang Tri Rahardian, adalah seorang yang selalu karib dengan pergerakan dalam perkomikan Indonesia. Persisnya, Beng aktif dalam komunitas-komunitas perkomikan di Indonesia, dengan semangat DIY (Do It Yourself) –sebuah semangat Punk dan kolektif-kolektif gerakan sosial– yang semarak sejak 1990-an.
Ia juga punya ketertarikan untuk selalu memikirkan komik dalam-dalam. Lalu, menuangkan pengendapannya ke dalam tulisan. Di blog, atau pun media digital lain. Aktivisme dan watak reflektif Beng menambah keunikannya sebagai seorang komikus. Beng adalah seorang komikus yang baik, dalam arti: kemampuan teknis mengelola garis, ruang, dan bayangan tampak terasah, juga kepekaannya dalam mencipta imaji dan membuat sekuensial untuk membentuk alir alur cerita memang tajam.
Aktivisme dan watak reflektif itu pula yang membawanya pada penulisan esai-esai dalam buku ini. Refleksinya membuat Beng tekun menekuri komik sebagai media. Sekaligus, ia menatap media komik dengan sebuah sudut pandang yang “Beng banget”: gerak.
Pada bab pertama, Komik Medan Mutakhir (hal. 1-17), Beng bukan hanya mengulik konteks sejarah Cergam Medan, tapi bahkan membuka makalahnya dengan pemerian konteks komik indie dan DIY di Indonesia pada 1990-an. Ini konteks yang penting untuk memahami perkomikan Indonesia pasca-Reformasi 1998. Seperti terlihat pada tabel yang disusun Beng tentang perembangan aspek-aspek bentuk pada komik di Medan (hal. 15-16), tampak ada keterputusan sejarah dari periode 1955-1965 ke periode 2004, yang nyambung ke periode 2014 hingga kini.
Dalam makalah tersebut, Beng mampu mengidentifikasi momen dan aktor kemunculan kembali komik Medan (tak lagi menggunakan istilah “cergam” seperti yang biasa disematkan pada komik-komik produksi Medan periode 1955-1965). Ini memang pengetahuan “dari dalam” seperti yang disebut oleh Iwan Gunawan, peneliti komik, di sampul belakang buku ini. Dengan kemampuan mengidentifikasi momen dan aktor kemunculan kembali komik di Medan, Beng tak luput pula mengidentifikasi aspek bentuk komik/cergam Medan dari masa ke masa.
Perhatian pada bentuk ini niscaya terkait dengan kepekaan Beng sebagai seniman gambar dan komikus. Aspek ini tampak menonjol pada tulisan-tulisan selanjutnya, khususnya Seni Kartun di Media Sosial (hal. 19) yang memusatkan perhatian pada kartun-kartun Toni Malakian. Juga pada Jejak Karya Hergé dalam Komik dan Seni Visual di Indonesia (hal. 83). Sementara tulisan Komik Dalam Layar dan Komunitas Yang Terus Bergerak (hal. 45) secara mengesankan memapar pergerakan komik di ranah media baru (digital) dan kita diajak mengenal komunitas-komunitas komik kiwari. Pada tulisan Menengok Komik Indonesia-Malaysia (hal. 61), Beng menuliskan permenungannya tentang industri komik.
Yang kurang pada buku ini adalah perspektif pembaca. Ketika Beng menelusuri pergerakan komik di komunitas-komunitas, tampak fokus utamanya adalah para seniman komik/komikus dan bukan pada pembaca yang membaca komik sebagai teks budaya. Itu pula hal yang tampak kurang muncul dalam buku ini, perspektif komik sebagai medan pertempuran budaya (sebagaimana dieksplorasi oleh Seno Gumira Ajidarma dalam Ngobrolin Komik). Beng tampak lebih menggali segi sosial/sosiologis dari komik. Atau bahkan segi politik, seperti yang ia tulis saat mengulas karya-karya kartun Toni Malakian.
Toh, jelas pula, bahwa buku ini memberikan keping-keping sejarah komik Indonesia yang sungguh mengayakan wawasan kita tentang dunia komik kita. ***
Buku ini bisa dibeli melalui Tokopedia dan marketplace sejenis.