Mustika Zakar Celeng
Saat mendengar atau membaca kata ‘mustika’ biasanya pikiran kita mengasosiasikannya dengan benda-benda langka, mistis, dan menyimpan energi tertentu yang dapat dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan. Begitu pun dengan mustika dalam novel ini. Mustika dalam novel ini adalah suatu benda yang sangat dicari oleh si tokoh utama, yaitu Tobor. Sebab, mustika ini dipercayainya dapat membantu menyelamatkan kehidupan rumah tangganya dengan Nurlela, istrinya. Semuanya bermula ketika Nurlela mengeluh bahwa ia tak pernah terpuaskan secara seksual selama menikah dengan Tobor. Hal yang Nurlela pendam selama bertahun-tahun itu akhirnya terlontar juga dari mulutnya. Dari situlah kehidupan rumah tangga Tobor dan Nurlela yang sudah berjalan 11 tahun perlahan berubah. Hingga pada akhirnya Tobor mendapatkan mustika zakar celeng yang juga turut mengubah jalan hidupnya.
Kisah dalam novel ini berlatar di sebuah pedesaan di daerah Jawa Barat. Dalam narasinya dapat diketahui bahwa lingkungan sosial di mana Nurlela dan Tobor hidup cukup tradisional. Banyak dari mereka yang menikah muda. Seksualitas dalam lingkungan tersebut dapat digambarkan sebagai hal yang masih tabu untuk dibicarakan secara blak-blakan. Walaupun dalam kelompok-kelompok kecil seperti Nurlela dan ibu-ibu rumah tangga di sekitar tempat tinggalnya kadang membahas kehidupan seksual mereka dengan pasangan. Begitupun saat Nurlela masih gadis ia beberapa kali terlibat dalam pembicaraan tentang seks dengan kawan-kawannya. Namun pembicaraan itu tak pernah terbuka untuk diskursus yang lebih kritis. Misalnya, saat Nurlela bertanya kepada temannya bagaimana jika perempuan (istri) menolak ajakan suami untuk berhubungan badan jawabannya langsung dikaitkan pada dosa. Sedangkan hal itu tak berlaku pada laki-laki.
Novel ini memberikan perspektif kritis tentang bagaimana ketimpangan dalam hubungan seksual antara suami dan istri. Nurlela yang juga sebagai tokoh utama dengan daya kritisnya menunjukkan dengan gamblang bahwa maskulinitas suaminya sangatlah rapuh. Nilai-nilai patriarki yang cenderung menempatkan perempuan sebagai objek seksual runtuh seketika saat Nurlela menyatakan bahwa ia tak bisa terpuaskan secara seksual oleh suaminya. Dalam realitas mungkin akan berbeda bila yang terjadi sebaliknya. Perempuan selalu dituntut untuk memuaskan laki-laki. Sedangkan perempuan tak selalu bisa menuntut hal yang sama.
Imbas pernyataan Nurlela pada Tobor tak main-main. Tobor yang mendengar langsung pernyataan Nurlela di depan wajahnya seakan langsung putus asa. Tobor langsung mencari cara agar masalah itu bisa diatasi. Atas saran seseorang ia berlatih dengan seorang pelacur supaya ia tidak ejakulasi dini sehingga bisa memuaskan Nurlela. Namun, setelah berkali-kali usahanya gagal. Hubungannya dengan Nurlela semakin renggang. Kondisi sosial masyarakat juga memengaruhi pengambilan keputusan lain oleh Tobor. Kondisi sosial masyarakat pedesaan sesuai narasi dalam novel ini dapat dilihat dari minimnya akses edukasi seksual pra nikah. Hal itu membuat beberapa orang dengan mudah menelan mitos-mitos. Itu juga yang pada akhirnya dilakukan oleh Tobor. Egonya sebagai laki-laki yang baru saja dinilai gagal oleh istrinya membawanya pergi menembus batas-batas logika. Pikiran Tobor terfokus pada hal-hal yang ada di luar nalar, seperti siluman celeng, zakar celeng yang sakti, dan sebagainya.
Kiritik dalam novel ini adalah kehidupan sosial yang mengonstruksi laki-laki sebagai subjek yang dominan dalam urusan ranjang dengan mudah menjadikan laki-laki sebagai pihak yang lemah. Rapuhnya laki-laki dapat dibentuk saat ia masih belajar merangkak. Laki-laki tak boleh menangis. Laki-laki tak boleh sedih. Laki-laki tak boleh gagal. Sekalinya dinilai gagal oleh perempuan hatinya langsung hancur. Kerapuhan sifat-sifat patriarki yang digambarkan dalam novel ini ditunjukkan oleh Tobor yang lebih mencari cara untuk menyelesaikan masalah di luar rumah daripada menghadapi Nurlela, duduk dan bicara dengannya untuk bersama-sama mencari jalan keluar.
Kritik sosial dalam sebuah karya fiksi selalu menjadi sisi yang menarik. Kritik sosial yang dimuat dalam novel ini memberikan perspektif nilai bagi pembaca. Melalui tokoh Nurlela hal-hal seputar seksualitas dalam pernikahan yang dianggap wajar oleh sebagian besar masyakarat justru dipertanyakan dan dipatahkan. Selain itu, yang dianggap dominan justru tak selalu bisa memenangkan ‘pertarungan’.
Adia Puja telah menerbitkan karya fiksi sejak tahun 2018. Mustika Zakar Celeng ini merupakan karyanya yang mendapat penghargaan sebagai salah satu naskah yang nenarik perhatian dewan juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2021. Karya-karya fiksi Adia Puja lainnya antara lain, Makan Tahi (2020), Jemantik: Nama-Nama Celaka dan Kisah yang Belum Selesai (2022), dan Kisah Satu Hari yang Berakhir dengan Putusnya Alat Kelamin (2023).
Penulis: Adia Puja
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 2023
Jumlah halaman: 224 halaman