Angles in Color Bersama Wim Roemers
Di dalam autobiografinya, Farida mengungkapkan keinginan yang begitu kuat untuk kembali ke tanah air Indonesia. “Rasa cinta kepada tanah air tak pernah lekang dari pikiran dan perasaan, ingatan terus-menerus melayang ke sana. Sensasi untuk bisa menari di tengah bangsa sendiri menjadi semacam obsesi yang kuat.”
Pada tahun 1958, Farida Oetoyo tiba di Jakarta untuk mencari peluang mengajar di Ludwig Werner Ballet School yang saat itu dipimpin Wim Roemers. Bersama Wim, Farida mengajar balet untuk anak-anak, sekaligus sering menarikan pas de deux dalam pertunjukan di berbagai tempat. Mereka membawakan pas de deux dalam cuplikan Swan Lake , Farida menjadi Putri Odette dan Wim menjadi Pangeran Siegfried.
Pada medio ini Farida Oetoyo melahirkan rangcangan koreografi pertamanya yang berjudul Angles in Colour dengan iringan musik Sergei Profokiev. Pementasan perdana Angles in Colour diunggulkan ketika sekolah balet Ludwig Werner menggelar pertunjukan di Gedung Kesenian Jakarta pada 3 Desember 1958.
Pada pertunjukan ini Wim Roemers bertindak sebagai direktur pertunjukan dan Farida Oetoyo sebagai direktur artistik. Pertunjukan ini memainkan 14 koreografi di antaranya Pose, Katinka, Autumn Leaf, Vision of Spring, Le Lac Des Cygnes (Swan Lake) dan Angles in Colour sebagai tarian puncak.
Farida menarikan untuk pertama kalinya bersama Titi Qadarsih, Gaby Lowissen, Wiesye Peilow, dan Wim Roemers. Pertunjukan ini mendapat sambutan yang meriah dari penonton dan memperoleh liputan yang luas dari media massa.
“Sungguh semuanya itu merupakan pengalaman tak terlupakan di masa awal memasyarakatkan balet di negeri ini. Luar biasa menggembirakan karena begitu banyak pihak yang mendukung, bukti suksesnya promosi kami dan tumbuh pesatnya apresiasi terhadap seni tari balet di kalangan masyarakat.
Sebagai orang yang bergelut dalam seni tari balet kami menyadari keharusan untuk bekerja lebih keras agar balet dapat diterima di Indonesia sebagaimana musik dari Barat yang jauh lebih mudah diterima oleh masyarakat di negeri ini. Padahal tari sebagaimana musik bentuknya universal.
Balet bisa dimodifikasi sesuai kehendak zaman dan ciri khas suatu bangsa. Bisa juga dimodernisasi sesuai naluri pencipta di mana si pencipta dilahirkan. Balet yang demikian itu tak akan kehilangan keindahannya, bahkan balet bisa menjadi lebih kaya, dengan kata lain saling memperkaya antara balet klasik dengan seni tari suatu bangsa”, ungkap Farida dalam autobiografi.
Lahirnya Kesadaran Nasional Penciptaan Koreografi Balet dengan Memadukan Unsur Tari Tradisional
Paralel dengan kegiatan mengajar di Ludwig Werener, Farida juga latihan balet dengan Elsie Tjiok San Fang seorang balerina lulusan The Royal Academy of Dance, London. Di studio bernama The Jakarta School of Ballet yang berlokasi di lantai dua gedung Bioskop Metropole yang terletak di sudut persimpangan Jalan Diponegoro dan Pegangsaan Timur.
Di studio balet berukuran luas dan memiliki aula ini Farida dipertemukan kembali oleh Julianti Parani. Hingga pada suatu ketika pada awal 1959, warga keturunan China melakukan eksodus besar-besaran ke negeri leluhurnya RRC. Elsie beserta suaminya Lim Kek Tjiang ikut beserta rombongan itu.
Elsie menyerahkan pengelolaan The Jakarta School of Ballet kepada Julianti Parani. Kemudian bersama dengan Julianti Parani, Farida Oetoyo mengelola sekolah balet tersebut dengan mengganti nama The Jakarta School of Ballet menjadi Nritya Sundara. Sebuah nama yang berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “tarian yang indah ”.
Pada medio inilah lahirlah koreografi karya Julianti Parani berupa sendratari anak-anak yang didasarkan lagu karya Gelatikku karya Ibu Sud. Sendratari Gelatikku selanjutnya menjadi salah satu koreografi andalan Nritya Sundara yang dipentaskan setiap tahun dan setiap kali direvisi dan dikembangankan.
Pada medio ini juga awal mula lahirnya kesadaran nasional penciptaan koreografi balet yang memasukan unsur-unsur tari tradisional. Koreografi karya Puck Meyer La Rose Chinoise digubah oleh James Dananjaya dengan memasukkan unsur-unsur tari Bali dan China. Julianti Parani juga menghasilkan koreografi yang memadukan unsur-etnik berjudul Sangkuriang .
Impression Koreografi Pertama Farida yang Memadukan Unsur Balet Klasik dengan Tari Tradisional Indonesia
Kebersamaan dan semangat yang sama untuk mempelajari tari tradisional yang dimiliki oleh Farida Oetoyo dan Julianti Parani membawa mereka kepada I Wayan Suparta guru tari Bali terkenal yang tinggal di paviliun Jl. Blitar No 6, Menteng, Jakarta.
Setelah belajar di sanggar tari Bali dari I Wayan Suparta, wawasan Farida menjadi lebih terbuka untuk mengolah dan memadukan unsur balet klasik dengan tari tradisional Indonesia. Keberanian Farida ini direalisasikan melalui karya berjudul Impression . Impression kemudian menjadi karya koreografi pertama seorang Farida Oetoyo yang memasukan unsur-unsur etnik.
The Little Ballet Grup, Dance Company , Awal Mula Kelahiran Balet Nasional
Farida Oetoyo Bersama Wim Roemers 1958
Pada tahun 1959 para penari balet yang sudah mahir di Jakarta di antaranya Farida Oetoyo, Julianti Parani, Wim Roemers, Louis Pandelaki, Leska Ong, dan James Dananjaya bersepakat membentuk dance company yang bernama The Little Ballet Group untuk wadah mengaktualisasikan diri.
Di dalam autobiografinya Farida mengatakan, “Balet Nasional ini diarahkan untuk mengadakan pertunjukan bermutu yang dilakukan secara teratur dan profesional dengan menampilkan balet klasik maupun modern dan balet ciptaan sendiri. Para penari harus mampu menghidupi diri sepenuhnya dari mengandalkan profesi sebagai penari dan pengajar balet.”
The Little Ballet Group tampil perdana pada 24 dan 25 Agustus 1959 bertempat di Gedung Kesenian Jakarta bertajuk “Ballet Nasional”. Pada pertunjukan ini Farida Oetoyo ditunjuk sebagai Direktur Artistik sekaligus diposisikan sebagai penari utama. Penari lainnya yang tampil yaitu Louise Pandelaki, Julianti Parani, Leska Ong, Wim Roemers dan James Dananjaya. Acara ini juga melibatkan pelukis D.A. Peransi untuk bagian dekorasi.
Pertunjukan ini didahuli oleh konferensi pers seminggu sebelumnya, yang diselenggarakan di Wisma Nusantara. Tercatat pers Nasional dan Daerah ketika itu hadir antara lain koran Pedoman , Nusantara , Merdeka , Pos Indonesia , Bintang Timur , Berita Minggu , Indonesia Observer , Times of Indonesia ; buletin Antara ; majalah Star Weekly dan Varia.
Koran-koran daerah yang hadir di antaranya Pikiran Rakyat di Bandung, Djawa Post di Jawa Tengah, Surabaya Post dan Indonesia Daily News di Jawa Timur. Media massa yang disebut ini menyambut secara positif niat The Little Ballet Group memperkenalkan kelahiran Balet Nasional melalui karya nyata yaitu menggelar pertunjukan.
Di dalam keterangan pers, Leska Ong seperti dituliskan Farida dalam autobiografinya mengatakan, “Hampir setiap negara mempunyai “balet nasional” sendiri yang dibanggakan dan disuguhkan kepada tamu-tamu agung luar negeri yang berkunjung ke negerinya. Kita sebagai negara muda jangan sampai tertinggal jauh di belakang. Dari rombongan kecil yang enam orang diharapkan kelak menjadi besar dan benar-benar menjadi Balet Nasional yang mempunyai kesadaran nasional yang kuat. Tentu kami harus banyak belajar kesenian Indonesia khusunya sampai menemukan gaya sendiri sehingga dapat menghasilkan karya-karya tari baru yang berjiwa dan berciri Indonesia.”
Pertunjukan hari pertama tarian yang dibawakan adalah fragmen dari balet klasik Les Sylphides , Blue Bird Variations cuplikan The Sleeping Beauty dengan iringan musik Tchaikovsky yang ditarikan James Dananjaya dan Faida Oetoyo.
Disusul fragmen The Dying Swan dengan musik Saent-saens, ditarikan oleh Leska Ong. Pas de deux dari Swan Lake ditarikan Farida dan Wim Roemers. Tarian rakyat Mazurka & Czardas berdasarkan tarian rakyat Polandia dan Hungaria dari repertoar Coppelia babak 1 ditarikan bersama-sama dan Balet Komedi Le Bouffon dengan diiringi musik Smetana yang ditarikan Wim Roemers.
Pertunjukan hari kedua tampil koreografi karya masing-masing anggota The Little Ballet Group, di antaranya karya Wim Roemers Consolation Spirituelle ditarikan oleh Win Roemers, Farida, Julianti dan Louise Pandelaki.
La Rose Chinoise karya James Dananjaya dibawakan tunggal oleh Farida. Dance Espagnola ditarikan oleh Leska Ong, Slavonic Dance dengan musik Antonin Dvorak ditarikan James Dananjaya dan sebagai puncak dan penutup acara pertunjukan, Angles in Colour dengan musik Profokiev ditampilkan oleh Farida Oetoyo, Leska Ong, Julianti Parani, Louise Pandelaki dan Wim Roemers
Seusai pertunjukan pers memberitakan secara positif mengenai The Little Ballet Group. Rata-rata pers menuliskan “The Little Ballet Group Memulai Sejarah Baru dalam Seni Ballet di Indonesia”. Keberhasilan pertunjukan di Jakarta memicu pagelaran berlanjut di kota-kota besar lainnnya yaitu Bandung, Solom Surabaya, Malang, Palembang, Plaju, Sungai Gerong dan terakhir di Makassar.