Catatan Akhir Tahun Kultural: Farah Wardani
Sebagai Direktur Eksekutif Jakarta Biennale 2020 dan anggota Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Farah Wardani adalah satu dari beberapa individu yang terlibat dan menyaksikan secara langsung bagaimana pandemi Covid-19 mengubah wajah dan kehidupan kesenian kita.
Tidak hanya itu, Farah Wardani—seniman sekaligus pemangku kebijakan—telah melakukan berbagai upaya dalam mengorganisir inisiatif-inisiatif agar komunitas-komunitas dan pegiat-pegiat seni bisa terus produktif dan menghidupkan ruang-ruang kreatif di sepanjang tahun 2020.
Untuk Catatan Akhir Tahun Kultural, Farah Wardani berbagi cerita perihal rencana-rencana yang terpaksa dibatalkan, cita-cita yang harus tertunda, dan harapan-harapan yang mesti terus dinyalakan di bawah terpaan pandemi yang belum kunjung reda ini.
Berikut petikan bincang-bincang Kultural.id bersama Farah Wardani.
Hantaman pandemi di tahun 2020 ini telah mengubah begitu banyak hal dalam hidup kita, termasuk dalam dunia kesenian. Sebagai seniman dan pegiat seni, tentu Anda mengalami pula dampak ini. Agenda kesenian apa saja yang terdampak dan terpaksa dibatalkan karena pandemi 2020? Penyesuaian apa yang kemudian dilakukan?
Boleh dibilang hampir semua lini di dunia seni terdampak oleh pandemi.
Dan, seni rupa salah satunya—saya tidak bisa bilang paling besar, tetapi bisa dikatakan dampaknya sangat melumpuhkan kerja-kerja fundamental dalam seni rupa. Terutama dari awal pandemi sampai menjelang akhir tahun.
Program yang saya dan tim saya jalankan, Jakarta Biennale, yang seharusnya diselenggarakan tahun ini, diputuskan untuk ditunda penyelenggaraannya ke November 2021.
Saya dan tim sekarang meneruskan kerja Jakarta Biennale untuk terealisasikan di 2021, bersama direktur artistik Dolorosa Sinaga, juga sebagai bagian dari program Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta. Sebagai catatan, Jakarta Biennale dimulai di DKJ sejak 1974. Jadi, kami berupaya melakukan yang terbaik untuk tetap menjaga keberlangsungan event kota ini, dengan dukungan masyarakat seni rupa, baik di dalam maupun di luar negeri.
Sejumlah agenda pagelaran seni rupa lain yang berskala besar seperti ArtJakarta dan pameran seni rupa di Pekan Kebudayaan Nasional, serta agenda lainnya mau tidak mau juga harus menyesuaikan diri dengan melakukan alih media, memanfaatkan ruang virtual dalam platform-platform digital.
Hal ini seiring dengan fenomena global di mana banyak museum dan event internasional lainnya juga melakukan hal yang serupa, seperti Art Basel Hong Kong.
Walaupun tidak semuanya pindah ke platform digital. ArtJOG, misalnya, bertahan dengan pameran fisik sambil membuat platform digital virtual. Dan, pada bulan Oktober kemarin, Galeri Nasional sudah mulai melakukan pameran fisik lagi dengan menggelar pameran Affandi, dengan protokol kesehatan dan pengaturan registrasi pengunjung. Saya sangat respek dengan segala usaha tersebut.
Ada berbagai inisiatif yang dilakukan pelaku seni dalam upaya untuk saling menyokong dan menjaga agar napas kegiatan berkesenian tetap berembus. Dalam inisiatif-inisiatif yang mana saja Anda terlibat? Bagaimana Anda memandang adanya inisiatif-inisiatif ini terhadap kehidupan kesenian secara keseluruhan?
Ya benar, itu salah satu segi positifnya. Banyak komunitas, kolektif, dan pihak-pihak di kesenian yang saling berjejaring dan bahu-membahu membantu satu sama lain dan tetap menggunakan segala daya untuk tetap berkreasi.
Berbagai kolektif seperti Gudskul, misalnya, sangat aktif dalam melakukan inisiasi membantu tenaga medis atau menyumbang pembuatan Alat Pelindung Diri (APD).
Di Jakarta Biennale, kesulitan dan ketidakpastian karena pandemi tidak disikapi dengan kevakuman tetapi sebaliknya tetap melibatkan diri dalam menjaga semangat berkesenian serta produksi pengetahuan dengan payung program Road to Jakarta Biennale 2020.
Dengan program Road to Jakarta Biennale 2020, telah diggagas serangkaian aktivasi konten dan dialog seni kontemporer menggunakan media daring yang merangkul sejumlah besar seniman, pelaku, pemikir, kurator seni rupa lintas generasi dari dalam dan luar negeri.
Salah satu dari aktivasi ini adalah sebuah program hibah pengkaryaan seni digital dan ruang virtual yang melibatkan 30 seniman muda dari berbagai kota. Di tengah-tengah keterbatasan pameran fisik selama bulan Mei-Oktober 2020, Jakarta Biennale, Biennale Jogja dan Makassar Biennale, didukung oleh SAM Funds for Arts & Ecology, berkolaborasi dalam menyelenggarakan ‘Hibah Karya Normal Baru’.
Program ini menyediakan platform untuk penciptaan karya yang memanfaatkan medium digital, ruang virtual, dan jejaring non-fisik lainnya sebagai bagian dari eksplorasi dan eksperimentasi seni rupa di keadaan ‘normal baru’.
Setelah peluncuran karya, para seniman melangsungkan diskusi yang disiarkan live melalui Instagram di platform ketiga Biennale sepanjang Agustus-September kemarin. Banyak hal menarik yang diulas, seperti eksplorasi Dark Web, alih media seni pertunjukan ke digital, penggunaan arsip sebagai materi karya, platform Tiktok sebagai panggung, penggunaan alat elektronik seperti CCTV, dan sebagainya. Saya sangat terkesan dan merasa optimistis terhadap bagaimana para seniman muda menyikapi alih media dan paradigma baru dalam berkarya melalui program ini.
Kami kemudian merangkum berbagai highlight dari percakapan-percakapan ini. Juga berbagai highlight dari rangkaian kegiatan lainnya menjadi berbagai konten video di kanal youtube Jakarta Biennale. Saya pikir, penting untuk mendokumentasikan perjalanan sepanjang tahun yang menantang ini dengan baik, sebagai sebuah arsip penanda masa dan bahwa kita semua pernah melewati ini. Dan juga bahwa krisis ini tidak menghentikan gagasan-gagasan dan inovasi kreatif baru bagi dunia seni rupa di Indonesia.

Dalam skala yang lebih besar, bersama rekan-rekan di DKJ, saya sedang membenahi dan merancang sistem baru arsip dan koleksi karya seni, yang sudah terbangun selama 50 tahun sejak lahirnya DKJ. Arsip ini kekayaan sejarah dan pengetahuan yang luar biasa. Salah satu tujuan pembangunan sistem ini adalah agar dokumentasi dan koleksi bisa terjaga dan dapat diakses publik dengan mudah.
Ini merupakan bagian dari kerja utama saya di seni rupa selama ini, yaitu membangun arsip sejarah seni. Sebelumnya, saya kerjakan bersama Indonesian Visual Art Archive (IVAA) di Yogyakarta, dan 5 tahun terakhir di National Gallery Singapore, Singapura.
Sayangnya, pekerjaan pengarsipan seringkali terabaikan di dunia seni. Padahal, kerja arsip adalah hal yang penting sekali dan harus dilakukan selagi bisa, dan mesti dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Sejauh ini, bagaimana Anda memandang respon komunitas-komunitas dan masyarakat kesenian secara umum terhadap hantaman pandemi? Apakah pandemi telah menciptakan sebuah nilai dan habitual baru dalam masyarakat kesenian kita?
Alih media digital dan pameran virtual menjadi topik bahasan utama di dunia seni rupa nyaris sepanjang tahun sejak terjadinya pandemi.
Secara umum, untuk bidang-bidang seni seperti seni rupa, seni pertunjukan, musik, di mana ruang, tubuh dan waktu menjadi sebuah hakekat, masih sangat sulit untuk menerima sepenuhnya alih media digital dan banyak perdebatan tentang ini yang telah terjadi.
Saya sendiri masih terus mendukung bahwa kerja kesenian secara fisik dan langsung harus tetap diperjuangkan walau dengan penyesuaian dengan protokol atau keterbatasan.
Namun, seperti yang tadi saya sebut di atas, dengan Karya Normal Baru, banyak juga tawaran inovasi baru dari seni digital dan ruang virtual yang belum tereksplorasi dan sangat menarik.
Memang, yang perlu dilihat ke depan dalam fase “normal baru” ini adalah seperti apa kebijakan preventif dan protokol keamanan yang paling tepat untuk penyelenggaraan peristiwa seni publik. Seperti halnya dengan ruang publik lainnya, adanya pembatasan dan pengaturan jarak serta lalu-lintas pengunjung juga diberlakukan bagi kegiatan seni di saat pandemi masih berlangsung.
Saya justru melihat situasi sekarang ini sebagai sebuah kesempatan, di mana terdapat peluang untuk menjembatani kedua ruang antara ruang fisik dan ruang virtual. Kesenian bisa mengambil jalan tengah dengan berangsur-angsur mendorong lagi proses berkesenian secara live/spasial untuk pengunjung terbatas, dengan dukungan mediasi dan sirkulasi melalui ruang virtual dan teknologi digital terkini. Jalan tengah ini juga tidak harus menjadi kompromi tetapi justru membuka berbagai peluang eksperimentasi baru dan penemuan strategi baru bagi pelaku dan penyelenggara kesenian.
Mengapa kegiatan-kegiatan kesenian harus tetap berjalan ketika dunia dilanda pandemi?
Agak sulit menjawabnya dengan objektif karena saya bekerja untuk kesenian dan hidup untuk kesenian.
Namun, bagi saya, seni adalah bagian sangat esensial di kehidupan kita, apalagi untuk masyarakat di Indonesia. Seni memperkaya kehidupan, membebaskan dan memberi nilai lebih bagi kita sebagai manusia. Di saat pandemi menghantam dengan segala keterbatasan yang berlaku, apa yang bisa kita, atau orang-orang seperti kita lakukan tanpa seni?
Bagaimana harapan Anda untuk masa yang akan datang, baik jika pandemi berakhir maupun jika kita harus tetap hidup berdampingan dengan pandemi?
Saya melihat sesuatu yang sangat luar biasa terjadi di saat pandemi.
Orang menjadi lebih mudah terhubung dan berjejaring tanpa terbatas ruang fisik. Memang, sekarang mungkin semua sudah lelah berkomunikasi via media daring, tetapi bagi saya, ini merupakan sebuah pengalaman luar biasa. Saya bisa bertukar gagasan dan bertemu dengan begitu banyak orang dari pelosok nusantara dan dunia melalui begitu banyak aktivitas komunikasi dan diskusi daring yang terjadi.
Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Saya rasa ini akan berdampak positif ke depan dan harus dilihat sebagai sebuah peluang yang positif dan mesti disikapi dengan positif.
Ada terlalu banyak harapan ya, untuk masa yang akan datang.
Hal yang mesti dibenahi, saya rasa, adalah komunikasi antar ekosistem seni dengan pihak-pihak seperti pemerintah, atau publik luas, sehingga lebih jelas terbangun nilai penting dari kesenian dan peran kesenian di masyarakat.
Karena sejauh ini, strategi budaya yang tepat dan bagaimana seni berperan di masyarakat masih menjadi satu hal yang kurang diprioritaskan di sini.
Saya rasa, 2020 baiknya kita arsipkan saja, untuk esok yang lebih baik di tahun 2021.