Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?
Cerpen fenomenal sekaligus kontroversial ini menceritakan tentang seorang laki-laki yang sedang menahan seorang perempuan yang ingin bunuh diri dengan terjun ke laut dari geladak kapal. Dalam ‘upacara’ bunuh diri, perempuan itu melepas barang apapun yang melekat pada tubuhnya satu per satu hingga ia telanjang. Hal tersebut ia lakukan karena barang-barang tersebut adalah pemberian kekasihnya yang telah meninggalkannya.
Sang lelaki adalah seorang wartawan yang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan foto menarik yang ada di depannya. Namun pada akhirnya sebagai seorang manusia ia mencoba juga untuk mencegah rencana tersebut terjadi.
Seorang wanita muda dalam sikap yang mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang terali kapal. Ia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah perbuatan nekat itu, tetapi sang wanita itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia sambil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak dengannya, sehingga tegur sapa di antara kami bisa terdengar.
“Tolong ceritakan mengapa kau ingin bunuh diri?’ ia berpaling kearah laut. Ada pulau di kejauhan. Mungkin impiannya yang patah sudah tidak mungkin direkat.
“Tolong ceritakan. Biar ada bahan untuk kutulis.”
Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermainkan ujung lengan bajunya. Dan tampak kalau dia telah berketetapan hati untuk mengambil sebuah Keputusan yang nekat. Tiba-tiba ia melepas sepatunya, menjulurkannya ke laut.
“Ini dari dia,” katanya dan melepas sepatu itu. Sepatu itu jatuh mendekati ombak, kuabadikan dalam kamera.
Kemudian ia meraba jari tangan kirinya. Di sana ada sebentuk cincin. Sinar matahari memantul mengantar kilaunya. Mata berliannya membiaskan sinar tajam. Dikeluarkan cincin itu dari jari manisnya. Diulurkannya melampaui terali. Ombak yang liar menampar dinding kapal. Tangan yang menjulurkan cincin itu sangat mencemaskan.
“Ini dari dia,” katanya, dan melepas cincin itu.
“Semua yang ada padaku yang berasal darinya, akan kubuang ke laut. Sengaja hari ini kupakai semua yang pernah ia berikan kepadaku untuk kubuang satu per satu ke laut. Tak satu pun benda-benda itu yang kuizinkan melekat di tubuhku saat aku telah menjadi mayat di dasar laut. Biarkan aku tanpa bekas sedikit pun darinya. Inilah saat yang paling tepat membuang segalanya ke laut, dari atas kapal yang pernah membuat sejarah pertemuan kami.”
Wanita muda itu mulai melepas kancing-kancing bajunya melepaskan pakaiannya, dan membuangnya satu per satu ke laut. Upacara pelepasan benda yang melekat di tubuhnya di akhiri dengan melepas bagian akhir tubuhnya, membuangnya ke laut.
“Apa pun yang berasal darinya, tidak boleh ada melekat pada jasadku, saat aku sudah menjadi mayat, di dasar laut. Biarkan asin airnya menggarami tubuhku tanpa sehelai benang penyekat.”
Wanita yang telanjang itu mengangkat sebelah kakinya melampaui terali, Bersiap siap membuang dirinya ke laut. Kamera kubidikkan ke arahnya. Di dalam lensa terhampar pemandangan yang fantastis! Wanita muda, dalam ketelanjangannya, berdiri di tepi geladak dengan latar ombak dan camar. Sebuah pulau berbentuk bercak hitam di kejauhan samudra terlukis di sampingnya dalam bingkai lensa. Sebelum melompat, dia menoleh ke arahku. Seperti ada sesuatu yang tebersit di benaknya yang hendak ia sampaikan kepadaku, sebelum ia melompat mengakhiri ombak.
“Ternyata tidak segampang itu membuang segalanya,” katanya. “Ada sesuatu yang tak bisa dibuang begitu saja.” Ia diam sejenak, memandang bercak hitam di kejauhan samudra. Dipandangnya lengkung langit agak lama, lalu bergumam, “Bekas bibirnya. Bekas bibirnya tak bisa kubuang begitu saja.” Ia berpaling ke arahku. Tatapannya lembut menyejukkan. Lama, dan agak lama mata itu memandang dalam tatapan yang mengambang. “Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?” katanya dalam nada ragu.
Aku tersentak mendengar permintaan itu. Sangat mengejutkan, dan rasanya tak masuk akal diucapkan olehnya. Permintaan itu terasa datang dari orang yang sedang putus asa. Kucermati wajahnya dalam lensa kamera yang mendekat. Pemulas bibir berwarna merah tembaga dengan sentuhan warna emas, memoles bibirnya, menyiratkan gaya aksi untuk kecantikan seulas bibir.
“Tidak akan aku biarkan bekas itu terbawa ke dasar laut. Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu”. Tolonglah. Tolonglah aku melenyapkan segalanya.”
Orang-orang yang terpaku di pintu lantai geladak berteriak padaku.
“Lakukan! Lakukan!”
Seseorang muncul di pintu lantai geladak membawa selimut terurai siap menutup tubuh wanita yang telanjang itu.
“Tolonglah. Tolonglah aku menghapus segalanya. Jangan biarkan bekas itu tetap melekat di bibirku dalam kematian di dasar laut. Tolonglah.”
“Lakukan! Lakukan!” teriak orang-orang yang menyaksikan dari pintu geladak.
Aku hampiri wanita itu. Orang yang membawa selimut itu berlari kearah kami, menyelimuti kami dengan kain yang terurai itu. Di dalam selimut kucari daun telinga wanita itu.
“Masih adakah bekas darinya di bagian lain tubuhmu yang harus kuhapus dengan bibirku”’ bisikku.
“Saya Chechen, Pak,” kata wanita itu memperkenalkan dirinya begitu aku selesai menyampaikan cerpen lisan itu dan berada kembali di antara penonton. “Saya menggemari cerpen-cerpen Bapak. Saya mahasiswi fakultas sastra semester tujuh. Saya senang sekali bisa bertemu dengan Bapak, pengarang dari cerpen-cerpen yang telah banyak saya baca.”
“Terima kasih. Namamu Chechen? Tidak nama seorang Minang.”
“Bagaimana kelanjutan cerpen lisan itu?”
“Kau yang harus melanjutkannya. Kalian. Para pendengarnya.”…
Cerita dalam cerita pendek yang dikutip di atas belum selesai. Akhir cerika ketika si lelaki memeluk sang perempuan dalam selimut sebenarnya adalah awal dari cerita si pencerita. Cerpen tentang seorang perempuan yang ingin bunuh diri tersebut adalah cerpen yang dibacakan si pengarang dalam sebuah acara sastra di Sumatera Barat yang digambarkan melalui mahasiswi yang memperkenalkan dirinya sebagai Chechen.
Jika kamu belum pernah baca cerita ini, pasti penasaran bagaimana akhirnya. Silahkan baca selanjutnya dari buku kumpulan cerpen ini, selain menyuguhkan kisah-kisah menarik dalam seuntai cerita, Hamsad juga ingin berbagi pengalaman kepada pembacanya tentang bagaimana proses cerpen-cerpennya lahir. Menurut beberapa pengarang ternama, cerita Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? telah menarik perhatian masyarakat karena kemampuan Hamsad mendekati tema itu dengan cara yang sangat kreatif.
Hamsad Rangkuti lahir pada May 7, 1943 di Medan. Ia melewati masa kecilnya di Kisaran, Asahan, Sumatera Utara. Karena tak mampu berlangganan koran dan membeli buku, Hamsad rajin membaca koran tempel di kantor wedana setempat. Dari koran-koran itu ia berkenalan dengan karya-karya para pengarang terkenal seperti Anton Chekhov, Ernest Hemingway dan lainnya. Ia merupakah seniman penandatangan Manifest Kebudayaan pada 1964,
Sejumlah cerita pendek Hamsad telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti Sampah Bulan Desember yang diterjemahkan ke bahasa Inggris, Sukri Membawa Pisau Belati, diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Umur Panjang Untuk Tuan Joyokoroyo dan Senyum Seorang Jenderal pada 17 Agustus dimuat dalam Beyond the Horizon, Short Stories from Contemporary Indonesia yang diterbitkan oleh Monash Asia Institute.
Pada 2003 ia menerima Khatulistiwa Literary Award untuk Bibir dalam Pispot, dan SEA Write Award pada 2008. Hamsad Rangkuti sang pelamun yang bernama asli Hasyim Rangkuti meninggal pada 26 Agustus 2018 di usia 75 tahun.
Ref: Berbagai Sumber