Patung dan Aktivisme
Sebuah Pameran Percakapan Ekspresi dari dua Seniman, Dolorosa Sinaga dan Budi Santoso
Maestro seni patung Indonesia, Dolorosa Sinaga, berkolaborasi dengan Budi Santoso, pematung dari Yogyakarta menggelar pameran bersama bertajuk Patung dan Aktivisme yang berlangsung sejak 19 Juli–19 Agustus 2024 di Galeri Nasional, Jakarta.
Kolaborasi Dolorosa dan Budi merupakan buah dari hubungan antara guru dan murid serta rekan kerja yang terjalin selama 24 tahun. Dolorosa Sinaga yang aktif dengan seni patung sejak kuliah di LPKJ ( Sekarang IKJ) tahun 1971 dan St Martin’s School of Arts London 1980, pada tahun 1987 mendirikan Studio Patung Somalaing. Budi Santoso lulusan ISI Yogyakarta pada 2007, pernah magang di Studio Somalaing pada kurun 2000–2018. Sepulang kembali ke Yogya, Budi mendirikan Studio Manualism dan sering berkolaborasi dengan Dolo mengerjakan proyek patung-patung untuk publik.
Sebagai pekerja seni yang percaya akan perannya dalam perubahan sosial, Dolo dan Budi yang keduanya dikenal juga sebagai aktivis HAM mengusung tema-tema perempuan dan HAM, budaya dan sosial serta lingkungan dalam pamerannya. Bedanya jika Dolo bermain dengan tema-tema besar seperti kasus pelanggaran HAM, Budi lebih memilih tema-tema perempuan yang lebih personal. Hal ini dipengaruhi oleh kehidupan pribadinya yang berkeluarga dan mempunyai seorang anak Perempuan. Sehingga tema lingkungan dan kehidupan perempuan kecilnya menjadi inspirasinya.
Secara resmi pameran ini dibuka oleh Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Ristek pada Jumat, 19 Juli 2024. Hilmar Farid mengapresiasi pameran ini dengan menyebutnya sebagai hasil kerja bersama selama puluhan tahun. “Keduanya tidak menjadikan sejarah kelam Indonesia yang diliputi persoalan HAM sebagai obyek, tetapi menjadi energi bagi keduanya untuk terus berjuang menyuarakan keadilan,“ ujar Hilmar Farid.
Alexander Supartono sebagai kurator menjelaskan bahwa ia melihat pameran ini bukan sekedar hasil kerja sama antara murid dan guru, tetapi telah melebur menjadi kerja bersama dari persahabatan erat selama puluhan tahun. “Di dalam pameran ini terlihat adanya saling adopsi dan adaptasi antara keduanya baik secara skill maupun artisik,“ Kata Alexander.
Terdapat 57 judul karya yang berupa sebuah atau sekumpulan karya dari keduanya. Tidak hanya mengambil tempat di dalam galeri A, tetapi di pelataran depan galeri dan taman juga menjadi ruang untuk berpameran. Ada 3 karya tahun 2024 berukuran besar sehinga disebut monumen.
Pertama Monumen Penghilangan Paksa di Indonesia, kedua Monumen Pembunuhan Masal Indonesia 1965-1966 dan Ketiga Monumen Tragedi Semanggi 1998 karya Dolorosa Sinaga. Ketiganya adalah persoalan yang belum tuntas sampai sekarang dan para keluarga korban tetap berjuang mendapatkan keadilan dari kematian dan kehilangan walau dalam senyap, dan Dolo menyuarakan lebih keras lewat ketiga karyanya.
Di depannya, di sudut taman ruang pertemuan terbuka Galeri Nasional dipajang dua karya Budi Santoso di sudut kiri dan kanannya. Pertama Historical Moment (2024), sebuah patung berbentuk ibu yang sedang menggendong anaknya sambil memegang buku di sebuah bingkai berbentuk jendela lengkap dengan lampu minyaknya. Menggambarkan seorang ibu sedang mendongengkan anaknya dari sebuah buku, sebuah kebiasaan dalam keluarga Budi, di mana tiap malam sebelum tidur, sang istri Ivana Lee mendongengkan anak mereka Ning. Sebuah kebiasaan langka yang mencerdaskan, yang telah tenggelam dibenamkan oleh teknologi gawai yang telah akrab dengan anak-anak jaman sekarang.
Yang kedua adalah Berdialog dengan Tuhan ( 2024). Ada 3 anak peremuan yang berdiri mendongak ke atas. Dengan bentuk laku masing-masing, ketiga patung ini diinspirasi oleh pertanyaan iseng Ning anak Budi tentang “mengapa masih ada perang kalau Tuhan itu Maha Cinta?”
Disambut dalam pintu galeri, sebuah patung lonceng dengan bentuk sosok wanita dengan rok besar. Kakinya bisa digoyangkan sebagai pembunyi lonceng. Patung ini menjadi bagian dari karya seri Kartini dari Budi.
Masuk lebih ke dalam di sisi kiri kanan ditampilkan masing-masing 4 karya Dolorosa dan Budi di era awal 2000-an yang penuh dengan kemarahan saat mereka aktif berjuang dalam persoalan kasus–kasus HAM.
Di tengah adalah tempat karya terbaru yang fenomenal dari Budi Santoso berjudul Anatomi Kerja (2023). Sebanyak 38 patung kecil pekerja, yang sosoknya persis dengan hasil foto dari sebuah penelitian dari ilmuwan Jerman tahun 1880 tentang penyakit tropis di sebuah perkebunan di Sumatera Selatan. Ilmuwan tersebut memotret tubuh para pekerja untuk mengukur bagian-bagian tubuhnya. Sosok para pekerja itu kemudian dipindahkan dalam patung-patung kecil yang terbuat dari besi, kayu jati dan aluminium, berdiri di atas alat bekerja di kebun seperti arit dan parang.
Makin ke dalam variasi berbagai bentuk dari berbagai bahan bertaburan dengan anggunnya di sudut-sudut ruang. Ke arah kiri untuk karya-karya Dolorosa dan kanan untuk karya-karya Budi. Walaupun kesemuanya bertema sama yaitu tentang Perempuan.
Tema perjuangan keadilan untuk pelanggaran HAM masih disuarakan oleh Dolo. Patung tentang ibu yang kehilangan anaknya, dan Patung Ika Martadinata yang terbunuh seminggu sebelum kesaksiannya di PBB sebagai korban pemerkosaan tahun 1998, dan kasusnya senyap sampai sekarang. Keduanya dihadirkan dengan patung-patung lainnya. Ada juga patung yang menggambarkan sosok mantan penari Lekra yang pernah ditemui Dolo. Ia pernah ditangkap dan diperkosa oleh oknum aparat dalam proses interogasinya.
Sebagai sosok Perempuan, wajahnya tampak dikaburkan dengan wajah mendongak ke atas dan mulut terbuka seakan berteriak. Jika bukan sebuah sosok maka akan hadir patung figur Perempuan yang bergerak dinamis, baik itu menari atau menggendong dan memeluk.
Ke sisi kanan, kumpulan karya Budi, seri Kartini, tidak menampilkan sosok wanita berkebaya, tetapi gadis-gadis jaman sekarang dengan posisi berdiri dengan berbagai gambaran aktifitasnya. Ada juga kumpulan karya wajah dari batuan dan kumpulan gambar sketsa wajah dari karya patung batu yang dirancang sebelum dibuat.
Ke arah belakang, hadir lagi kumpulan karya bersama, yang dipajang di lantai beralaskan kain hitam. Hal ini terinspirasi dari Pasar Klitikan yang sering dikunjungi Budi di Yogyakarta. Kumpulan Karya-karya Budi dan Dolo dikumpulkan dan layaknya pasar loak, patung patung kecil berbagai bentuk dan fungsi, seperti tempat lilin dan pajangan digelar dan siap ditawar oleh para pengunjung pameran.
Dolorosa sinaga menjelaskan tentang pameran ini, “Pameran kami adalah sebuah percakapan ekspresi pematung lintas generasi. Ekspresi 3 dimensi patung yang ada di dalamnya adalah pertemuan sinergi yang memesona dan melahirkan kekuatan artistik tersendiri,“ kata istri dari Ardjuna Hutagalung ini.
Begitu juga dengan Budi Santoso, “Dolo bagi saya adalah guru, ibu dan kawan diskusi, ia mengajari saya bagaimana membuat patung yang berjiwa dan berpihak pada realitas kehidupan,“ katanya.
Foto: Ferry Irawan | Kultural Indonesia