Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam
Perjuangan Perempuan Melawan Kekerasan Berbalut Tradisi
Kita tidak bisa memilih dilahirkan sebagai perempuan atau laki-laki, tetapi terlahir sebagai manusia seharusnya membuat kita berhak memilih. Namun masyarakat masih sering membatasi ruang gerak perempuan untuk menentukan pilihan. Salah satunya memilih pasangan hidup, memilih menikah atau tidak menikah. Status gelar pendidikan tinggi yang diraih seorang perempuan ternyata belum tentu bisa menjadi jalan keluar untuk melepaskan diri dari belenggu beberapa adat-istiadat yang mengabaikan hak-hak mereka. Sebab tradisi itu telah mengakar kuat di dalam kehidupan masyarakat.
Yappa Mawine adalah salah satu contoh adat-istiadat yang hingga saat ini masih membelenggu kebebasan perempuan-perempuan di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo ini menjelaskan bahwa Yappa Mawine adalah sebuah istilah dalam bahasa Sumba yang berarti kawin tangkap. Tradisi ini bertujuan untuk meringkas proses dan biaya perkawinan. Biasanya hal ini dilangsungkan atas persetujuan pihak calon mempelai laki-laki dan perempuan. Di sisi lain, kawin tangkap dilakukan oleh pihak calon mempelai laki-laki jika mereka tidak bisa memenuhi jumlah belis (mas kawin) yang ditentukan oleh keluarga calon mempelai perempuan. Jika kawin tangkap terjadi melalui cara itu, calon mempelai perempuan bahkan keluarganya bisa jadi tidak mengetahui rencana tersebut. Tradisi yang ada sejak zaman nenek moyang itu dalam praktiknya sering mengabaikan hak-hak perempuan. Kawin tangkap membuat perempuan tidak bisa menentukan dengan siapa mereka menikah. Padahal pernikahan merupakan sebuah fase penting dalam kelangsungan hidup seorang manusia. Baik buruknya kehidupan pernikahan juga akan berpengaruh pada kelangsungan hidup orang-orang yang menjalaninya.
Novel ini berkisah tentang perjuangan perempuan bernama Magi Diela asal Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur untuk membebaskan diri dari tradisi kawin tangkap. Impian-impian Magi Diela, seorang Sarjana Pertanian yang baru mulai meniti karir, lenyap seketika setelah ia diculik untuk dikawini oleh Leba Ali. Sebelumnya ia tak pernah mendengar ada kesepakatan antara keluarganya dengan keluarga Leba Ali tentang kawin tangkap maupun pernikahan. Setelah sampai di desa asal Leba Ali, Magi Diela tidak diberi kesempatan sedikitpun untuk berbicara. Ia langsung dinikahkan secara adat. Bahkan para perempuan di sana merasa gembira karena mendapat anggota keluarga baru. Di mata mereka apa yang dialami Magi Diela adalah hal yang wajar dan bukan sebuah kekerasan. Setelah itu Magi Diela dibuat tidak sadar dan diperkosa oleh Leba Ali. Dasar dari terjadinya hubungan seksual meskipun dalam hubungan pernikahan adalah persetujuan dan kesadaran penuh dari kedua belah pihak. Jika hubungan seks terjadi karena paksaan, tetap saja disebut sebagai pemerkosaan. Peristiwa mengerikan yang menimpa Magi Diela sangat membuatnya marah dan frustasi. Ia tidak hanya trauma tapi juga ingin mati. Ia kemudian nekat mencoba bunuh diri dengan mengoyak pergelangan tangan menggunakan giginya sendiri. Beruntung nyawanya masih bisa diselamatkan.
Judul novel ini begitu menggambarkan situasi yang dialami Magi Diela. Sebagai perempuan di dalam masyarakat patriarki ia sulit mendapatkan bantuan. Nyaris mati ternyata juga tidak menyelesaikan masalah. Seharusnya dalam situasi serupa Magi Diela mendapatkan dukungan dan dilindungi, tetapi banyak orang yang menganggap bahwa ia memalukan dan mencoreng nama baik keluarga serta leluhur desanya. Sosok ayah yang bisa jadi pelindung juga tidak berpihak padanya. Pertolongan dari ibunya pun tak bisa diharapkan. Hidup di dalam konstruksi sosial masyarakat patriarki membuat ibu Magi Diela meyakini bahwa perempuan sebaiknya diam, menurut, dan taat adat. Leba Ali sendiri adalah orang yang memiliki kekuasaan dan dekat dengan orang-orang penting di daerahnya. Relasi kuasa tersebut membuat Magi Diela semakin sulit bergerak. Sama halnya dengan beberapa perempuan korban kekerasan lainnya yang kerap terpaksa mengalah dan diam karena dilemahkan oleh kuasa pelaku.
Magi Diela sempat melarikan diri ke Kupang. Namun, beberapa waktu kemudian ia memutuskan kembali ke Waikabubak, karena ayahnya sakit dan kondisinya terus menurun. Kepulangannya ke kampung halaman setelah kabur beberapa lama ternyata tak juga memberikan rasa aman. Leba Ali masih menginginkan dirinya. Begitu juga ayahnya yang ternyata tetap ingin menyerahkan anaknya karena persoalan harga diri dan nama baik keluarga. Namun, Magi Diela adalah perempuan pemberani dan pantang menyerah. Apa yang Magi Diela lakukan untuk melepaskan diri dari Leba Ali kedua kalinya tak kalah gila dengan apa yang ia lakukan sebelumnya.
Zaman berganti, tetapi perempuan masih sulit untuk keluar dari tekanan dan batasan tertentu. Ironisnya, beberapa perempuan seperti Magi Diela terpaksa bertaruh nyawa demi memperoleh kebebasan menentukan pilihan dan menjalani kehidupan seperti yang mereka inginkan. Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam membawa pembaca larut dalam emosi yang dirasakan oleh Magi Diela. Alur ceritanya berjalan cukup cepat meskipun ada beberapa bagian kilas balik. Novel ini membuka mata untuk melihat kuatnya akar masalah penyebab kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, keberpihakan terhadap korban kekerasan menjadi salah satu poin yang ingin disampaikan oleh novel ini. Kisah Magi Diela menegaskan bahwa sebuah tradisi perlu menyesuaikan zaman. Tradisi yang dahulu dianggap baik belum tentu baik untuk kehidupan orang-orang yang menjalaninya saat ini. Novel ini merupakan salah satu novel yang menyuarakan ajakan kepada kita semua untuk mengutamakan hak-hak manusia dalam menjalankan sebuah tradisi. Kekerasan dalam bentuk apapun tak pernah bisa dibiarkan dan dibenarkan.