Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

Pala: Sejumput Rasa yang Membawa Kesengsaraan

Pala: Sejumput Rasa yang Membawa Kesengsaraan

Pala adalah bumbu ajaib yang memukau dunia. Sebuah simbol kekayaan dan prestis di antara para petinggi dan orang-orang kaya Eropa selama ratusan tahun pada jamannya. Pala dianggap eksotis dan cukup kuat untuk menyebabkan halusinasi yang katanya menaikkan mood dan perasaan positif saat mengonsumsinya.

Kepulauan Banda adalah tempat tumbuhnya pala dan cengkeh. Penguasa pulau penghasil rempah-rempah ini yang disebut ‘Orang Kaya’ secara diam-diam telah berdagang dengan Cina, Arab dan India selama ratusan tahun sebelum masuknya para pedagang Eropa. Pada 1510, orang Portugis menjadi orang Eropa pertama yang tiba di wilayah ini. Tapi bukanlah hal yang mudah bagi Portugis untuk bisa masuk ke dalam ruang perdagangan orang lokal Banda. Orang-orang Banda menentang dengan permusuhan sengit sehingga gelombang pertama bangsa Eropa ini menyerah dalam beberapa dekade. Kemudian datang bangsa Inggris diikuti oleh Belanda.

Pada hari-hari sebelum adanya pendinginan, kebutuhan akan pala sangat tinggi karena pala digunakan sebagai bahan pengawet daging oleh bangsa Eropa. Untuk alasan ini, dan juga karena rasanya, pala menjadi bagian penting dari hidangan makan malam di pesta-pesta para bangsawan dan orang-orang borjuis yang diselenggarakan di istana-istana Eropa untuk waktu yang lama. Pala dan cengkeh Banda menjadi sangat penting bagi negara-negara penjajah. Perebutan monopoli pala dan cenkeh begitu ekstrim sehingga mereka saling bertikai dan bersaing. Permintaan terhadap rempah, dalam hal ini khususnya pala, begitu tinggi sehingga menjadi pendorong utama ekonomi global di zaman itu.

Setelah melalui penjajahan bangsa Portugis dan kemudian Inggris, di awal abad ke-17 East India Company (VOC), di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, kongsi dagang Belanda tiba di kepulauan Banda dan mulai menguasai satu persatu pulau utamanya. VOC berhasil menguasai Banda dengan melakukan genosida terhadap penduduk asli Banda. Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen adalah seorang administrator yang kejam dan haus darah. Dari 15.000 penduduk yang ada hanya 500 orang saja tersisa. Mereka kemudian diperlakukan sebagai budak. Sementara sejumlah kecil yang berhasil melarikan diri ke bukit untuk bersembunyi berakhir dengan menyedihkan. VOC memutuskan akses ke pegunungan sehingga mereka mati kelaparan.

Setelah pembataian itu, untuk mengatasi perkebunan di Banda, VOC mendatangkan buruh kebun dari daerah-daerah Kalimantan, Makassar, Bugis dan lainnya. Belanda kemudian menguasai 10 dari 11 pulau di Banda, kecuali sebuah pulau kecil bernama Pulau Run. Pada saat itu Pulau Run dikuasai oleh Inggris. Demi mendapatkan monopoli, Pulau Run hanya seluas sekitar 600 hektar, Belanda menyerahkan Niew Amsterdam, atau Manhattan, daerah jajahannya di benua Amerika kepada Inggris. Sebaliknya Inggris memberikan Pulau Run. Penguasaan atas Run membuat Belanda akhirnya menguasai seluruh Kepulauan Banda, satu-satunya kawasan penghasil pala di dunia kala itu. Run berharga karena komoditi palanya yang terbukti sebagai primadona perdagangan dunia saat itu dan pala tidak bisa ditanam di tempat lain.

Sejarah mencatat bahwa Inggris kembali menyerang Kepulauan Banda pada 1810, dan meninggalkan Kepulauan Banda dengan kerusakan berat; tanah Banda yang unik dan bibit-bibit palanya diambil lalu dibawa ke Srilangka, Penang, Zanzibar dan lain-lain. Inggris lalu memulai produksi palanya sendiri di tanah-tanah jajahannya. Ini merupakan awal dari hancurnya produksi pala di Kepulauan Banda dan monopoli. Banda tidak pernah lepas dari penguasaan dan ancaman berbagai penjajah Eropa dari tahun 1520-an hingga 1810-an.

Sungguh ironis saat Manhattan menjadi kota penting dunia, Run hanya titik kecil di dunia yang mungkin hanya ada beberapa sepeda motor. Run hilang tenggelam seolah ia belum beranjak jauh dari abad ke-17. Pulau itu seperti dilupakan. Bahkan hingga kini masih terpencil. Kondisinya pun bagaikan bumi dan langit dengan Manhattan. Jika Manhattan disebut sebagai bagian dari kota yang tidak pernah tidur karena hingar bingarnya, Run malah tidak ada satu mobil pun. Konon jalan yang ada hanya berupa lapisan semen selebar 2 meter.

Penduduk Banda hanya menjadi korban keserakahan dan kekuasaan yang semena-mena. Kisah sederhana pulau-pulau dan penduduknya yang didorong ke panggung dunia karena mereka duduk di atas sumber daya alam yang berharga. Kemudian sepenuhnya dimusnahkan oleh penjajah Eropa. Apa yang terjadi di Banda merupakan sejarah kelam Indonesia bahkan dunia. Sebuah sejarah kelam yang wajib kita ketahui. Banda Neira yang menyihir ini merupakah sejarah yang diliputi dengan tragedi dan cinta.

Sumber riset: Berbagai sumber
Sumber foto: Muh Taruf
Mutiara Ulfah
Mediamatic.net

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.