Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

Kadang Rumah Tak Memberimu Pulang

Kadang Rumah Tak Memberimu Pulang

Buku puisi solo kedua karya Theoresia Rumthe ini memberikan suasana yang berbeda tentang apa itu rumah. Hal-hal positif yang sering kita kaitkan dengan kehidupan di dalam rumah atau keluarga mungkin tak akan selalu kita temukan dalam puisi-puisi dalam buku ini. Puisi-puisi dalam buku ini membawa sudut pandang tentang realitas yang beragam. Ada manusia-manusia yang membawa pengalaman serta relasinya dengan rumah mereka masing-masing. Selain itu, buku ini mengajak pembaca merefleksikan makna ‘pulang’.

Judul ‘Kadang Rumah Tak Memberimu Pulang’ menempatkan kata ‘rumah’ sebagai subjek dan ‘pulang’ sebagai sebuah objek. ‘Pulang’ dalam hal ini bisa diartikan sebagai manifestasi dari yang kita dapatkan saat kita berada di rumah atau bisa juga sesuatu yang kita harapkan saat kita berada di rumah sendiri. Misalnya, kenyamanan, kedamaian, cinta keluarga, kehangatan dari relasi dengan anggota keluarga, dan lainnya. Namun, lewat puisi-puisi ini, makna ‘pulang’ bisa menjadi sebuah keterasingan, kesepian, kesedihan, maupun tragedi.

Kumpulan puisi ini juga membawa pembaca masuk dalam sebuah realitas rumah yang sebenarnya. Dari situ penulis menampilkan gambaran-gambaran tentang suasana domestik yang menjadi pintu masuk ke ragam realitas tentang apa itu pulang. Misalnya dalam puisi berjudul Dapur adalah Kebimbangan yang menggunakan dapur serta benda-benda di dalamnya sebagai metafora atas perasaan dan situasi yang dialami oleh seseorang. Dalam puisi itu ada pergolakan batin dalam diri individu yang rasanya tak cukup dipahami oleh orang-orang terdekat. Lewat puisi ini terdapat pesan bahwa mengucapkan kata-kata motivasi bagi seseorang memang jauh lebih mudah dibandingkan dengan benar-benar berempati dan mendengarkan.

Membaca puisi-puisi dalam buku ini rasanya tak bisa buru-buru. Ada banyak bagian-bagian yang tampaknya menyerupai luka batin pada diri seseorang bahkan bisa jadi luka batin yang kita alami sendiri. Begitu banyak realitas tentang rumah yang dikulik puisi-puisi ini. Sebagian ingin mengajak pembaca memahami bahwa inilah alasan-alasan seseorang tak bisa punya hubungan hangat dengan anggota keluarganya maupun enggan untuk pulang setelah bertahun-tahun hidup di perantauan. Rumah tak sekadar tempat seseorang dilahirkan, dibesarkan, dan dicintai, tapi ia bisa lebih dari itu. Rumah bisa menjadi tempat seseorang menyimpan kenangan bahkan tempat lahirnya sebuah trauma.

Sebuah puisi berjudul Seperti Meniup Lilin mungkin menjadi salah satu puisi yang amat berelasi dengan situasi yang kebanyakan orang alami, yaitu berkaitan dengan umur. Akhir-akhir ini umur menjadi suatu diksi yang sensitif. Sebab ia berkaitan dengan banyak tuntutan dalam hidup. Saat menjelang hari raya seperti Idulfitri, di lini media sosial sering kita temukan candaan untuk siap-siap menjawab berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan umur dari sanak saudara. Pertanyaan itu umumnya tentang kapan akan menikah, karena sudah umur sekian. Kapan menambah anak, karena anak pertama sudah umur sekian, dan pertanyaan lainnya yang pasti berkaitan dengan umur. Dalam Seperti Meniup Lilin, umur bagaikan hal teramat penting. Ia menjadi patokan untuk seseorang melakukan hal-hal penting dalam hidup. Ibaratnya jika melewati batas umur yang umumnya ditentukan oleh kebanyakan masyarakat maka kita akan dianggap terlambat maupun gagal. Disadari atau tidak hal itu menggoreskan luka bagi sebagian orang.

Buku puisi ini mengeksplorasi banyak hal tentang makna pulang ke rumah serta perasaan-perasaan dalam diri manusia. Puisi berjudul Pelajaran dari Kulit Bawang, menyampaikan tentang bagaimana seseorang belajar menemukan dirinya. Kepribadian seseorang saat ini adalah manifestasi dari pengalaman-pengalaman yang ia lalui sebelumya termasuk relasinya dengan orang lain. Secara garis besar banyak pesan yang disampaikan oleh puisi-puisi ini. Metafora-metafora yang muncul dalam puisi ini menjadikan buku puisi ini tak bisa buru-buru diselesaikan. Ia mengajak kita membaca perlahan untuk bisa menemukan makna. Buku puisi ini menjadi salah satu buku puisi yang indah dan lekat dengan perasaan.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.