HARI PUISI NASIONAL 2025: MENJAGA API SEMANGAT CHAIRIL ANWAR
“cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah”
Puisi liris ‘Derai-Derai Cemara’ ditulis pujangga ikonik Indonesia, Chairil Anwar, beberapa bulan sebelum ia wafat. Sanggar Matahari menampilkan puisi ini dalam bentuk musikalisasi, dalam upacara unik ‘Hari Puisi Nasional’, di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Senin (28/4).
Berdasarkan catatan sejarah, Chairil Anwar meninggal dunia di Jakarta pada 28 April 1949. Tanggal ini kelak diperingati sebagai Hari Puisi Nasional. Maka, sejumlah penyair dan sastrawan, bersama siswa dan pecinta sastra, secara unik mengadakan upacara puisi, untuk mengawali rangkaian program Hari Puisi Nasional, yang digelar Komunitas Hari Puisi Nasional (Harsinas) Indonesia.
“Ini upacara dalam bentuk pertunjukan. Kami ingin menghadirkan suasana khidmat, tapi tetap berjiwa seni,” kata Fikar W. Eda, penyair sekaligus salah seorang penggagas Hari Puisi Nasional,
Imam Ma’arif dari Dewan Kesenian Jakarta memimpin jalannya upacara, Remmy Novaris DM sebagai pembina upacara, Berryl Ivana sebagai pembawa dan pengibar bendera, serta partisipasi komunitas sastra lainnya. Sementara Elisa Hutajulu bertindak sebagai protokol upacara, ditutup dengan pembacaan doa oleh Davis Sanggar Matahari.
Komandan Upacara Imam Ma’arif membacakan puisi “Aku” dan Pembina Upacara Remmy Novaris DM, membacakan “Siap Sedia” saat memberikan amanat. Pengibaran bendera hari puisi, diiringi dengan musikalisasi puisi
“Derai Derai Cemara”. Suasana syahdu menyelinap di tengah-tengah penonton yang hadir.
Dalam kesempatan itu, Fikar membacakan Surat Kepercayaan Gelanggang — manifesto budaya yang lahir pasca-kemerdekaan. Manifesto ini digagas oleh Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, dan kawan-kawan dari Angkatan ’45.
“Surat ini menegaskan semangat bahwa kebudayaan Indonesia lahir dari keberanian bertemu dengan dunia,” ujar Fikar.
Surat Kepercayaan Gelanggang pertama kali terbit di majalah Siasat pada 23 Oktober 1950, sebagai suara bebas seniman muda Indonesia yang menolak sekat-sekat sempit dalam dunia kebudayaan.
Usai upacara, acara berlanjut dengan diskusi bertajuk Si Binatang Jalang. Fikar W. Eda, Remmy Novaris DM, Mustafa Ismail, dan Kunni Masrohanti tampil sebagai pembicara, dengan Ratna Ayu Budhiarti memandu diskusi. Mereka mengupas tuntas inspirasi dan pemberontakan estetik Chairil Anwar –penyair legendaris yang menjadi roh Hari Puisi Nasional.
“Kami ingin menghidupkan terus semangat Chairil. Kami berkeliling ke komunitas dan kampus, membaca puisi, diskusi, kuliah umum. Ini upaya menjaga api sastra Indonesia tetap menyala,” kata Devie, selaku koordinator acara.
Dian Warastuti, seorang pencinta seni, mengaku telah menyukai puisi sejak kecil. Puisi-puisi Chairil Anwar membuatnya kagum karena bahasanya lugas dan berani.
“Saya suka puisi-puisi yang tidak sekedar melankolis, tapi juga menghentak, memberi asupan energi batin, memberi gagasan, mengingatkan otak kita yang setiap saat bisa saja tumpul,” ungkap Dian kepada Kultural Indonesia. Ia kemudian menyebutkan tiga serangkai idolanya, yaitu Chairil Anwar, WS Rendra, dan Sutardji Calzoum Bachri.
Panitia Hari Puisi juga menerbitkan buku Si Binatang Jalang, berisi puisi-puisi para penyair yang menafsirkan Chairil Anwar dalam perspektif baru. Buku ini akan diluncurkan bersamaan dengan puncak perayaan di TIM.