Mengenal Ruth Marbun, Menjaga Api Kreatifitas Agar Terus Menyala
Artsphere Gallery baru saja mengadakan sebuah pameran tunggal dari seniman wanita indonesia, Ruth Marbun. Dengan judul Perangai, pameran yang dikuratori Gesyada Siregar dan berlangsung dari tanggal 26 Agustus – 27 September 2023 ini menyajikan 50 karya seni rupa, baik dengan medium bingkai kanvas maupun kertas dengan cat air.
Ternyata Utay, panggilan akrabnya ini berlatar belakang pendidikan fesyen di London College of Fashion, Inggris dan Raffles Design Institute, Singapore serta sempat berkarir di dunia fesyen sampai akhirnya pulang ke Indonesia dan menjadi seniman seni rupa professional.
Kultural Indonesia berkesempatan mewawancarainya di sela-sela pamerannya di kawasan Jakarta Selatan itu.
K: Anda dikenal sebagai seniman visual dengan latar belakang pendidikan pada bidang fashion, bagaimana fesyen mempengaruhi karya-karya seni Anda?
RB: Saya memang terjun ke dunia seni rupa tidak dengan sengaja, berawal setelah kembali ke Indonesia saya membangun jejaring lewat berbagai kegiatan, workshop dan komunitas. Kemudian memulai karir sebagai illustrator sebelum berkarya di seni rupa.
Awalnya saya tidak mau memasukkan pengaruh fesyen dalam karya saya, namun seiring waktu berjalan, baik disadari atau tidak, dunia fesyen memang ada pengaruhnya, sehingga akhirnya dengan sengaja saya memasukkan unsur fesyen dalam karya saya. Kadang saya memakai medium tekstil dalam karya saya, bahkan gambar – gambar figuratif itu juga dipengaruhi oleh pengetahuan saya di bidang fesyen. Bahkan dengan dunia fashion yang mempunyai aturan-aturan bisa saya dekonstruksi ke dalam karya-karya saya.
K: Karya Anda dikenal dengan gambaran perilaku manusia, melalui berbagai medium, kadang ada gambar bercampur teks. Apa aliran dalam karya-karya seni visual Anda? Dan mengapa akhirnya Anda menyukai tema dengan ciri khas tersebut?
RM: Teks masuk ke dalam karya saya sebenarnya kurang dari setahun belakangan ini, memang sudah senang menulis tapi hanya untuk ranah pribadi, di sktesa dan jurnal. Baru kemudian memberanikan diri untuk memasukkan unsur tulisan dengan makna yang abstrak, hal itu terjadi mengalir saja tanpa direncanakan, tanpa disadari.
Saya merasa karya-karya saya masuk dalam kelompok ekpresif – figuratif, tapi saya membebaskan diri dari aliran tertentu dalam membuat karya, Saya membebaskan diri untuk menerima semua aliran dan memakainya dalam berbagai cara dan genre.
K: Bisa ceritakan tentang pameran tunggal Anda, Perangai yang sedang berlangsung saat ini?
RM: Pameran solo merupakan momentum yang penting dalam rekam jejak seorang seniman. Setelah 6 tahun, akhirnya saya berani mengadakan pameran tunggal yang ketiga. Pameran kali ini merupakan refleksi dan pencapaian proses kreatif saya. Walaupun saya mendapatkan keleluasaan dan kejujuran dalam hal teknis dan non teknis, namun tentu tanggung jawabnya juga besar.
Yang menarik bagi saya adalah, setelah sebelumnya mendapatkan tempat khusus di ARTJog 2023, saya melihat display karya dalam pameran merupakan hal yang juga penting.
Setelah ruang pameran, saya merasa kalau karya-karya saya perlu “ngobrol” dengan ruangan. Untuk itu saya bermain dengan memanfaatkan segala sudut yang ada. Sebanyak 50 karya baik untuk karya dari cat air dengan medium kertas, maupun yang menggunakan cat akrilik dengan medium kanvas, saya tempatkan dengan bebas baik di atas maupun dibawah, tidak hanya eye level saja.
Saya percaya sebuah karya bukanlah sebuah hal yang mulia tetapi seperti seorang teman, ia mempunyai nyawanya sendiri. Jika kuat ia akan berbicara dan menjadi perhatian pengunjung.
K: Apa hobi Anda selain berkesenian? Apa yang Anda lakukan diwaktu luang?
RM: Justru jika sedang capek dengan kerjaan, kebanyakan saya juga mengisinya dengan menggambar, namun kadang saya juga mendengarkan musik, nonton film, membaca buku, bahkan mengurus tanaman.
K: Berbicara tentang buku, buku apa yang berkesan dan terakhir Anda baca?
RM: Memang agak susah mencari waktu membaca buku, namun buku terakhir yang sangat mempengaruhi saya termasuk dalam pembuatan karya Perangai ini, adalah buku karya Romo Mangunwijaya: Ragawidya dan Religiolitas Hal – Hal Sehari-Hari.
Romo Mangun membahas hal-ha kecil dalam kehidupan seperti tertawa, menangis, dan hal hal keseharian lainnya secara faktual tapi juga poetic dan penuh rasa.
Seperti halnya seniman, kadang ingin berbicara tentang hal-hal yang besar-besar, tetapi melalui buku itu, membuat saya menyadari membuat karya yang temanya membicarakan hal-hal yang kecil adalah manusiawi, bahkan orang besar seperti Romo Mangunwijaya pun juga melakukannya.
K: Anda banyak diundang untuk ikut berpameran di luar negeri. Ada pengalaman menarik?
Bagi saya yang berkesan dari pengalaman berpameran di luar negeri adalah proses menuju ke sananya. Tiap negara mempunyai kebijakan masing-masing bagi pendatang. Hal ini kadang menimbulkan tantangan tersendiri.
Seperti di Australia ada aturan tidak boleh membawa properti dari bahan kayu atau di Jepang harus hand carry membawa sendiri koleksi karya yang ingin dipamerkan.
Hal-hal seperti ini membuat seniman menjadi lebih matang dan modal penting untuk berpameran di kesempatan selajutnya.
K: Bagaimana dunia kesenian di Indonesia(senirupa/seni visual), dibandingkan dengan negara lain, terkait dengan pengalaman Anda berkarya di luar negeri? Dan apa harapannya untuk dunia kesenian di Indonesia?
Saya merasa tidak berkompeten membicarakan atau menilai tentang hal-hal tersebut. Namun harapan saya bagi dunia kesenian di Indonesia, ada dua hal, pertama bagi seniman, bagaimana spektrum seni menjadi melebar dibanding mengerucut, jadi semua seniman dengan bidangnya masing-masing posisinya sejajar.
Kedua bagi masyarakat, orang tidak takut lagi akan seni. Perlu komunikasi yang lebih intens lagi di ruang publik yang lebih luas. Sehingga masyarakat dan seniman bisa saling menghidupi.
K: Apa harapan atau obsesi Anda dalam berkarya yang belum/akan dicapai?
Lestari dan berkelanjutan adalah harapan saya. Bagaimana api kreatif saya bisa terus menyala untuk 10 atau 20 tahun ke depan. Terus terjaga bukanya hal yg mudah, apalagi kalau sudah merasa sukses. Kalau masih lapar maka akan mencari terus. Saya sangat mengagumi seniman yang terus berkarya, bagaimana ia bisa menghidupi api kreatif tersebut.
Saya ingin berkarya dalam bermacam bentuk. Yang penting yakin dengan apa yang dilakukan. Pameran terbatas waktu, namun ide tidak terbatas dan dapat dibikin ulang lewat medium yang lain. Misalnya Pameran Perangai ini akan dibuat dalam bentuk lain. Akan ada versi cetaknya. Ingin membuat buku , membukukan karya-karya, mendistribusikan karya-karya saya lebih luas. Paling tidak ide-idenya tidak hilang namun mencari bentuk dalam tubuh yang berbeda.
Sumber Foto: Ferry Irawan