Eko Supriyanto

Eko Supriyanto, atau yang kerap disapa Eko Pece Anak Magelang, kelahiran Astambul, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 26 November 1970, merupakan seorang seniman tari asal Indonesia yang telah menorehkan sederet prestasi, baik skala nasional maupun internasional. Ia pun telah dipercaya untuk menjadi koreografer di berbagai perhelatan seni berskala besar, mulai dari ajang Miss World hingga upacara pembukaan Asian Games ke-18 yang mengundang perhatian, pujian, serta decak kagum dari seluruh masyarakat Indonesia. Ranah tari kontemporer yang ia geluti menjadi ajangnya untuk mengeksplor dan memperkenalkan kekayaan serta keunikan budaya Indonesia.
Dua karya koreografinya, yaitu “Cry Jailolo” (2013) dan “Balabala” (2016), telah menjalani tur dunia dan mendapatkan sambutan yang positif. Nama Eko Supriyanto melejit saat ia baru pulang dari Amerika Serikat sebagai penari Indonesia yang bergabung dengan Madonna’s Company. Eko bergabung sebagai penari dan koreografer saat Madonna melakukan tur konser Drowned World di Amerika dan Eropa tahun 2001.
Konsultan tari untuk Lion King produksi Disney yang dipentaskan di The Hollywood Pantages Theatre ini mempelajari tari keraton Jawa dan seni bela diri pencak silat sejak ia berumur tujuh tahun dari kakeknya, Djoyo Prajitno, di Magelang, Jawa Tengah. Darah seni pada dirinya kemungkinan mengalir dari sang kakek, seorang seniman penari wayang orang Sriwedari (Solo) pada era 1960-an.
Eko merupakan pencetus Solo Dance Studio di Surakarta dan menjadi direktur artistiknya sejak 1996. Ia juga pernah terlibat dalam pembuatan film. Dalam film Opera Jawa (2006) garapan Garin Nugroho dan diproduseri oleh Peter Sellars, Eko terlibat sebagai aktor, penari, sekaligus koreografer. Dalam film Generasi Biru (2009), ia terlibat sebagai penata tari. Pada 2013, ia berperan sebagai penata tari pada ajang Miss World yang diadakan di Bali.
Eko telah aktif menjadi koreografer sejak mahasiswa. Karya-karyanya telah mendunia. Pada umumnya karya-karya berkaitan dengan isu-isu dunia.
Eko memiliki semacam “agen” di Australia dan Singapura yang memantau karya-karyanya dan kemudian juga memberikan masukan mengenai isu-isu tadi.
Karya seniman yang menamatkan pendidikan S3 di UGM dan saat ini sedang menempuh studi S3 di ISI Surakarta ini selalu berangkat dari kekayaan lokal yang non mainstream, yang jarang digarap oleh seniman lain.