Jakarta International Literary Festival 2024
Saling Klaim Kuliner Asli dan ‘Cawe-Cawe’ Politik Kolonial
Para ahli sejarah meyakini seruan ‘Ganyang Malaysia’ pada era Soekarno sedikit banyak ikut mempengaruhi pertarungan sengit atas ‘hak milik makanan asli’ di kawasan. Sate dan nasi goreng, misalnya, apakah kedua makanan tersohor ini betul-betul asli dari Indonesia? Lantas, bagaimana pula rendang bisa diklaim sebagai makanan dari negeri jiran, sampai-sampai membangkitkan kemarahan dan sentimen nasionalisme orang Indonesia?
“Indonesia dan Malaysia kerap saling klaim, mulai dari urusan politik hingga kuliner. Tapi dari segi kultur dan kuliner sebetulnya kita banyak persamaan. Pujangga Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi mungkin orang Melayu pertama yang mengenalkan sambal belacan yang ada di mana-mana dalam berbagai bentuk. Adakah yang namanya ‘makanan asli Indonesia? Ini pertanyaan besar,” ungkap Fadly Rahman, sejarawan pangan dari Universitas Padjadjaran, dalam diskusi bertajuk The Southeast Asia Palate: How Migration Shapes Culinary Trends di Taman Ismail Marzuki Jakarta, belum lama ini.
“Persoalan kuliner ditarik ke (isu) politik padahal dulu-dulu tidak ada. Kesamaan kuliner itu bisa ditelusuri dari leksikon yang mirip-mirip atau dari buku-buku masak yang mulai marak diproduksi massal pada 1980an,” tambah Fadly.
Berbincang soal pangan dan kuliner lokal jelas tak bisa dilepaskan dari campur tangan kolonialis, para pedagang, dan misionaris tempo dulu. Perjalanan jauh antarpulau hingga antarbenua meninggalkan jejak-jejak kuliner yang bercampur aduk, bahkan nama makanannya pun bisa sama.
Mantan Duta Besar Sri Lanka, Yasoja Gunasekera, dalam sebuah dialog seputar jejak rempah nusantara dua tahun silam, sempat menyinggung aneka makanan khas yang banyak kemiripan antara Indonesia dan Sri Lanka. Mulai dari ‘sambol’ alias sambal hingga bumbu kari ala Sri Lanka yang serupa dengan kari Aceh. Rempah-rempah khas India dan Timur Tengah jelas ikut memperkaya kuliner nusantara kita.
Di dalam negeri, saling klaim kuliner juga muncul. Fadly mencontohkan kue bugis, penganan khas yang ada di Banten dan Makassar. Saling klaim sebagai ‘pemilik sah kue bugis’ pun muncul.
”Kritikus kuliner pada umumnya mengatakan ada pengkerdilan dalam istilah ‘makanan tradisional’. Ada pengaruh konstruksi kolonial yang membentuk pola pikir kita, seperti makanan Hollandse (pengaruh Belanda), Chinese (pengaruh China), dan Inlander (penduduk asli),’ ujar Fadly.
Sementara, dalam ribut-ribut soal nasi Padang dengan harga murah di Cirebon yang ramai diberitakan media belum lama ini, Fadly menilai ada isu segrerasi ras. Ada kesan pemilik restoran Padang harus benar-benar asli Minang dan bertanggungjawab atas standar harga sebungkus nasi Padang. Padahal, menurut Fadly, tidak seharusnya seperti itu. Faktanya, ada banyak restoran Padang di Indonesia yang dimiliki dan dijalankan oleh orang China atau Jawa.
Lantas kapan sebetulnya tren wisata kuliner muncul? Fadly menilai tren ini menjamur sejak 1990an. Saat itu setiap negara punya destinasi wisata dan salah satunya adalah wisata kuliner.
“Ini baru di awal tahun ‘90an dijadikan sebagai materi jualan atau marketing dalam bisnis pariwisata. Namun ada kepentingan politik identitas dan superficial identity yang tak bisa dilepaskan dari pengaruh UNESCO,” kata Fadly.
Tahun lalu ia menerbitkan buku berjudul Rasa Tanah Air: Awal Perkembangan Kuliner Indonesia di Mancanegara pada Akhir Abad ke-19 hingga 1940-an. Salah satu topik yang dibahas adalah persinggungan pangan di kawasan yang rawan berujung konflik, lantaran sejarahnya tak lengkap.
“Berbagi budaya itu problematik saat kita harus menarasikan warisan tak benda (intangible heritage). Kita perlu jembatan untuk mengatasi perbedaan pandangan yang remeh temeh, apalagi sejarahnya dianggap tak perlu dicari bukti primernya dan bagaimana konektivitasnya. Inilah yang menjadikan saling klaim makanan terus berlanjut,” imbuh Fadly menutup diskusi.
Foto: Dok. JakTent