Mengenang 84 Tahun, Hari Kelahiran Nh. Dini

Nurhayati Srihardini atau lebih dikenal dengan Nh. Dini lahir di Semarang pada 29 Februari 1936 dari pasangan Salyowijoyo dan Aminah.
Di dalam dokumen yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, tulisan Silvia Galikano, CNN Indonesia. Menyebutkan bahwa Nh. Dini di usia sembilan tahun sudah mulai menulis sajak yang ditujukan untuk kakaknya.
“Sedikit demi sedikit tujuan menjadi lebih luas mengenai keadaan sekeliling di rumah serta di lingkungan pergaulan. Sekembali kakak saya dari daerah pedalaman, ayah saya menunjukkan sajak-sajak tersebut kepada kakak saya serta saudara-saudara dan keluarga yang lain.
Baru pada waktu itulah saya menginsyafi kesanggupan saya dalam kesusastraan. Semula saya kira membuat sajak atau prosa berirama adalah pelajaran yang dapat dikerjakan oleh siapa pun.
Selama Clash II, saya tidak ke sekolah, ayah saya meminjamkan buku-bukunya yang dikiranya dapat menolong dalam perkembangan bakat saya”.
Masa Perang Dunia II
Pada Masa Perang Dunia II, Nh. Dini mulai membaca hasil karya penulis besar dunia dan buku-buku terbitan Balai Pustaka karya-karya pengarang besar Indonesia ketika itu.
“Dan pada waktu itulah, saya membaca kumpulan hasil karya Rabindranath Tagore, di antaranya yang hingga sekarang mengesan pada diri saya adalah Surat dari Raja, buku-buku terbitan Balai Pustaka karya pengarang-pengarang kita seperti Suman Hs, Marah Rusli, Selasih, Amir Hamzah, bahkan kemudian pengarang-pengarang lain yang muncul pada zaman mendekati pendudukan Jepang.
Majalah Siasat yang lebar dan berhuruf besar-besar juga telah menjadi bacaan saya. Ayah saya juga meminjamkan majalah daerah Panjebar Semangat yang menguatkan dasar pengetahuan saya mengenai hal-hal ke-Jawa-an”.
Peran Seorang Ayah
Salyowijoyo, ayah Nh. Dini, punya peranan besar dalam memberikan dasar pengetahuan tentang dunia kesenian.
“Dia juga menganjurkan saya untuk belajar menari dan memukul gamelan serta menyanyi tembang. Kesemuanya itu hingga sekarang merupakan dasar kekayaan pendidikan yang dengan terus terang saya merasa bangga olehnya pada waktu-waktu berhadapan dengan orang asing dari negeri lain.
Menulis Sejak kelas II SMP
Nh. Dini menulis sejak tahun 1951, ketika masih kelas II SMP. Tulisan pertamanya “Pendurhaka” dimuat di majalah Kisah. Mendapatkan tanggapan dari HB. Jassin.
“Di Sekolah Menengah Pertama, saya semakin mengerti akan kesanggupan saya buat menulis dengan dibacanya karangan saya sebagai contoh terbaik oleh guru bahasa. Saya juga mulai mengisi majalah dinding di sekolah.
Naik kelas 3, dengan tiada ragu-ragu saya memilih bagian sastra. Waktu itu ayah saya sudah meninggal (dia meninggal beberapa waktu sebelum saya menempuh ujian penghabisan Sekolah Dasar untuk masuk ke SMP). Ibu saya dengan bijaksana mengusulkan saya untuk memilih sendiri bagian yang sesuai dengan bakat saya”.
“Dua Dunia” Kumpulan Cerpen Pertama Nh. Dini
Kumpulan cerita ini ditulis di paruh pertama tahun 1950-an. Ketika itu Dini merasa sudah mantap di dunia kepengarangan. Sajak-sajaknya sudah dimuat di beberapa media seperti majalah Gajah Mada dan Basis serta disiarkan di RR1 dan RRI Jakarta
Nh. Dini memilih menulis ceita pendek karena menganggap sajak kurang peminat. Setelah karya-karyanya dimuat oleh sejumlah media daerah. Nh. Dini memberanikan diri mengirimkan cerita pendeknya ke majalah Kisah, dan dimuat. Tidak hanya itu, karya-karya pun menjadi sorotan redaksi.

“Tiap kali terbit, seorang anggota redaksi majalah [Kisah] selalu membahas satu cerita yang dimuat. Istilah yang digunakan oleh majalah itu ialah ‘disorot’, maksudnya dibicarakan atau diteliti. Pembahas paling sering adalah H.B. Jassin, tokoh yang bagi kami siswa-siswi Sekolah Menengah Pertama merupakan ‘dewa’ tak terjangkau,” tulisnya yang masih duduk di kelas II SMP.
Kemudian, memasuki usia remaja, ketika SMA, pada 1956 kumpulan cerita pendeknya “Dua Dunia” diterbitkan. (Sumber: tirto.id)
Menjadi Pramugari dan Lahirnya “Hati Jang Damai”
Selesai lulus SMA, tahun 1956, Nh. Dini mengikuti kursus Pramugari Darat GIA di Jakarta. Kemudian, bekerja sebagai pramugari di Garuda Indonesia. Pada masa inilah Nh. Dini menulis Hati Jang Damai yang berkisah tentang kenangan mesra untuk dunia penerbangan dan kemiliteran.
“Dengan sendirinya kami para pramugari banyak keluar dengan penerbang-penerbang Angkatan Udara. Di antara mereka saya lebih merasa kerasan daripada bersama kawan-kawan yang lain. Dari sinilah kemudian saya menulis Hati jang Damai, juga sebuah kenangan mesra untuk dunia penerbangan, lebih-lebih lagi penerbangan kemiliteran”. (Sumber: CNN Indonesia)
Istri Diplomat
Empat tahun setelah menjadi pramugari, pada 1960, Nh. Dini menikah dengan Yves Coffin, seorang diplomat warga nergara Perancis, di Kobe Jepang. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai dua orang anak. Marie Claire Lintang dan Piere-Louis Padang yang dikenal sebagai sutradara film Despicable Me. Selama menjadi istri diplomat, Nh. Dini ikut suaminya berpindah-pindah negara

“Tahun 1960, saya meninggalkan Indonesia ke Kobe, Jepang, untuk kawin dengan seorang diplomat Perancis, Yves Coffin, yang saya kenal di Jakarta pada tahun 1956”, ungkapnya dalam CNN Indonesia.
Menikah dengan seorang diplomat membuat Nh. Dini diberi kesempatan membuka jendela Dunia. Petualangan dan pengalaman hidup di berbagai belahan dunia, membuatnya menemukan sumber ide yang begitu kaya.
Namaku Hiroko (1977) adalah novel yang ditulisnya tentang kehidupan sosial masyarakat Jepang antara laki-laki dan perempuan, keluarga, dan kehidupan malam.
Setelah tiga tahun di Jepang, ia melanjutkan ikut suami ke Pnom Penh, Kamboja. Lalu bersama suaminya pulang ke Prancis pada 1966.
Setelah cukup lama singgah di Prancis, N.H Dini bersama keluarga pindah ke Manila, Filipina. Dari negara kepulauan itu, pada 1977, ia pindah ke Detroit, Amerika Serikat, (AS) karena Yves Coffin menjabat konsul jenderal Prancis di sana. (Sumber: medium.com)
Berpisah dengan Yves Coffin
Biduk perkawinan Nh. Dini bersama Yves Coffin berakhir ketika mereka memutuskan untuk berpisah pada tahun 1984. N.H Dini mengajukan kembali kewarganegaraan Indonesia, yang baru ia dapatkan setahun kemudian lewat Pengadilan Negeri Jakarta.
Dengan kepulangannya ke Indonesia, Nh Dini sepenuhnya menjadi penulis dan hidup dari karya-karyanya. Dalam darahnya mengalir keturunan pengikut Pangeran Diponegoro, yang memberinya kekuatan untuk menemukan pencerahan dari tekanan-tekanan berat hidup.
“Menurut ‘sejarah’ keluarga, keberadaan kami dimulai dari munculnya bajak laut Bugis di pesisir utara Jawa Timur. Dia bersama kapal dan anak buahnya secara sukarela menggabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro untuk melawan Belanda, lalu dikawinkan dengan putri kerabat sang Pangeran. Ketika Pangeran di kecoh musuh dan ditangkap, para pengikutnya menyelamatkan diri ke hutan dan gunung guna menghindari kejaran musuh.

Kakek buyut dari suku Bugis itu bersama anak buah dan keluarga berkelana, lama menjadi buronan sebelum akhirnya mendapat tempat yang agak tentram di salah satu lereng Gunung Lawu. Perjuangan dan usahanya untuk bertahan hidup dengan cara sembunyi-sembunyi sering didongengkan ayah dan ibu menyertai masa pertumbuhan kami. Cerita itu selalu ditekankan pada kekuatan moral dan kemauan kuat leluhur kami itu agar tetap menjadi manusia yang bebas, namun bertanggung jawab menjalani hidup yang lurus atas kebebasannya”. ( La Grande Borne: 192)
Pondok Baca NH Dini
Tidak lama setelah bercerai dan kembali ke Semarang, Nh. Dini mendirikan taman bacaan untuk anak-anak dan remaja di rumah warisan orangtuanya bernama “Pondok Baca Nh. Dini”.
Demi melengkapi koleksi bacaan, ia mengirim surat ke sejumlah penerbit meminta sumbangan buku. Namun, dari 16 surat yang dikirim hanya 4 penerbit yang menanggapinya.
Kekecewaannya sedikit terobati karena penerbit BPK (Badan Penerbit Kristen) yang paling pertama menanggapi suratnya, memberinya sejumlah buku yang ia nilai berkualitas, baik secara isi maupun harga.
Dalam perjalanannya, Pondok Baca Nh. Dini sempat tertimpa bencana alam banjir dan longsor oleh alam.
“Tuhan hanya memberiku waktu 2 tahun tinggal di kompleks perumahan tersebut. Pada suatu ketika, hujan deras mengguyur Jawa Tengah bagian utara. Kali Garang menghanyutkan sebagian besar kawasan Kampus IKIP Semarang. Transportasi ke arah Jakarta terhenti, karena seluruh jalan serta rel kereta api terendam air. Aku juga menjadi korban: fondasi rumah bersama Pondok Baca ambrol, sebagian runtuh digerus air, terjun ke sungai yang terletak cukup jauh di bawah”. (Pondok Baca Kembali ke Semarang, 2011, hal 12)
Sementara sebagai pengarang ia juga menemui banyak kesulitan, terutama saat krisis ekonomi jelang reformasi 1998. Barang–barang penunjang kegiatan menulis mulai susah didapatkan.
“Dari mengelola sebuah taman bacaan, kudapat pengalaman yang memperkaya kepekaan dan pengertianku terhadap sifat serta perilaku manusia”, tulis Nh. Dini dalam Pondok Baca Kembali ke Semarang (2011).
Selamat Jalan Nh. Dini
Sampai menutup mata pada 4 Desember 2018, Nh. Dini tidak bergeser dari posisinya yang secara luas lekat sebagai pengarang yang konsisten menyuarakan hak-hak perempuan.
Ketegarannya dalam menulis, juga ia jalani dalam kehidupannya sehari-hari. Di usia senja, saat kesehatannya menurun, jatuh bangun mengelola pondok baca, juga kebutuhan keuangan yang terus-menerus harus ia penuhi, tak ada yang membuatnya lemah.
“Sudah berkali-kali kukatakan di mana pun dan di waktu kapan pun, bahwa Sastra di negeri tercinta ini masih sangat spiritual, belum komersial. Orang-orang mengagumi para sastrawan atau pekerja Susastra seperti diriku. Para pakar luar negeri juga tidak sedikit yang menyatakan menyukai buku-bukuku. Tapi kekaguman itu hanya ‘angin’, tidak bisa dijadikan sarana menunjang biaya hidup si pengarang”.
Di halaman persembahan buku Pondok Baca Kembali ke Semarang (2011), ia lagi-lagi mengutip puisi Rendra. Kali ini, meski penggalan puisi yang dipilihnya masih menyalakan semangat, tapi terasa ada yang hendak ia endapkan:
“Yang diharap tidak ada/Yang ada tidak diharapkan/Kesadaran hidup adalah pemberontakan/Hidup tidak hanya untuk hidup/Kita harus belajar berdamai dengan mimpi-mimpi kita/Kita harus berkaca di dalam sepi” .
Keadilan adalah Arah Kepengaranganku
Karya-karya Nh. Dini banyak menyuarakan ketidakadilan gender yang kerap diterima perempuan.
Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, Kemayoran, dan Orang-orang Tran adalah sebagian kecil dari karyanya yang menyoroti pembatasan peran dan ketimpangan hak asasi antara laki-laki dan perempuan.
Meski demikian, Nh. Dini tidak pernah menggolongkan dirinya sebagai pengarang feminis. Pada sebuah acara diskusi sastra di Australia, tahun 1991, dituliskan dalam Pondok Baca Kembali ke Semarang (2011). Ia mengungkapkan, “Aku menulis tanpa dasar pikiran ‘isme-isme’ apa pun. Yang menjadi arah kepengaranganku adalah keadilan. Dengan sendirinya di dalamnya tercakup kemanusiaan”.
Kuasa Penuh Menentukan Status dan Perannya Sendiri
Keadilan yang diperjuangkan oleh Nh. Dini adalah nasib perempuan yang kerap menjadi manusia “nomer dua” dalam kehidupan sehari-hari. “Oleh tradisi, juga didukung agama dan salah kaprah, manusia lelaki selalu dimenangkan dalam semua bidang,” tulisnya.
Nh. Dini tidak sepakat dengan stigma di masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai other dalam kultur yang diciptakan laki-laki
Menurut Nh. Dini dalam tirto.id, ungkapan seperti “kodrat perempuan adalah tinggal di rumah serta mendidik anak” atau “kodrat perempuan adalah menuruti perintah suami” adalah keliru.
Nh. Dini menegaskan, kodrat adalah sesuatu yang berhubungan dengan hukum alam. Dalam konteks perempuan, imbuhnya, kodrat perempuan adalah haid setiap bulan, mengandung, dan melahirkan. Di luar itu, seperti membereskan rumah, mengawasi dan mendidik anak adalah tanggung jawab bersama antara perempuan dan laki-laki.
Gender tidak melibatkan fungsi biologis, kodrat yang tidak bisa diubah manusia. Tetapi, lebih kepada upaya reposisi peran, perilaku, atribut sosial dan kultur yang adil antara perempuan dan laki-laki.
Kekecewaan terhadap ketidakadilan ini dituangkan Nh. Dini melalui karya-karyanya, mendorong perempuan untuk memiliki kuasa penuh menentukan status dan perannya sendiri dan mampu membawa perubahan dengan mendobrak tatanan nilai dan norma sosial yang telah mapan dimasyarakat.
Karya dan Penghargaan
Pada tahun 1988, Nh. Dini memenangkan hadiah pertama lomba penulisan cerpen dalam bahasa Perancis yang diselenggarakan oleh surat kabar Le Monde, bekerja sama dengan kedutaan Perancis di Jakarta dan Radio France Internationale dengan cerpen berjudul Le Nid De Poison Dans Le Baie De Jakarta
Tahun berikutnya Nh. Dini menerima penghargaan “Hadiah Seni untuk Sastra, 1989”dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada 1991 ia menerima penghargaan “Bhakti Upapradana” (bidang sastra) dari Pemerintah Daerah Jawa Tengah. Lalu pada tahun 2000 menerima “Hadiah Seni” dari Dewan Kesenian Jawa Tengah. Tiga tahun berikutnya, tahun 2003 menerima “Sea Write Award” di Bangkok Thailand.
Sejumlah karya Nh. Dini antara lain: Hati yang Damai (1961), La Barka (1975), Biografi Amir Hamzah berjudul Pangeran dari Seberang (1981), Karya terjemahan: Sampar (1985) dan 20.000 Mil di Bawah Lautan (2004), Tuileries (1982), Tanah Baru, Tanah Air Kedua (1983), Segi dan Garis (1983), Pada Sebuah Kapal (1985), Pertemuan Dua Hati (1986), Namaku Hiroko (1986), Sebuah Lorong di Kotaku (1986), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1987), Keberangkatan (1987), Langit dan Bumi Sahabat kami (1988), Sekayu (1988), Tirai menurun (1993), Kuncup Berseri (1996), Kemayoran (2000), Jepun Negerinya Hiroko (2001), Monumen (2002), Istri Konsul (2002), Dari Parangakik ke Kampuchea (2003), Pencakar Langit (2003), Janda Muda (2003), Dari Fontenay ke Magalianes (2005) La Grande Borne (2007).