Mochtar Lubis Tak Gentar Meski Diberangus
Mochtar Lubis adalah salah satu sastrawan terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Pemikiran-pemikiran yang tertuang di dalam tulisan-tulisannya selalu disandarkan pada pengamatan yang panjang dan mendalam terhadap pasang surut kehidupan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan perilaku kultural dan politik.

Tidak satu atau dua kali saja sikap dan tulisan yang disampaikan oleh Mochtar Lubis mendulang sangkal dan kritik dari banyak pihak, termasuk ditahan oleh pemerintah yang sedang berkuasa, sekali di masa Orde Lama, lalu sekali lagi di masa Orde Baru. Namun, hal itu tidak membuat lelaki kelahiran Padang, Sumatra Barat pada 7 Maret 1922 ini runduk dan surut hingga akhir hayatnya. Mochtar Lubis berpulang di Jakarta, 2 Juli 2004 pada usia 82 tahun.
Perjalanan panjang Mochtar Lubis baik di bidang jurnalistik maupun di bidang sastra bukanlah sebuah potret sederhana yang hitam putih belaka, melainkan sebuah gambaran eksploratif yang beraneka warna dan sangat dipengaruhi oleh perubahan konteks dan keadaan masyarakat pada saat ia berkarya.
Karya-karya monumental Mochtar Lubis kerap menunjukkan keberpihakannya kepada kemanusiaan, kepada pelestarian lingkungan alam, dan kepada keadilan. Karya-karya tersebut di antaranya adalah novel Jalan Tak Ada Ujung (1952), kumpulan cerita pendek Perempuan (1956), novel Harimau! Harimau! (1975), novel Maut dan Cinta (1977), dan lain-lain.
Dipenjara oleh Orde Lama, Diringkus oleh Orde Baru
Dalam dunia jurnalisme Indonesia, Mochtar Lubis adalah salah satu pelopor dalam penulisan pemberitaan investigatif modern, terutama yang berkaitan dengan berita-berita politik dan penyelidikan kasus-kasus korupsi.
Laporan-laporan mendalam dan kritis menggunakan metode paper trail dan people trail yang disampaikan melalui surat kabar Indonesia Raya yang dipimpinnya, menyebabkan Mochtar Lubis harus meringkuk di balik terali. Kerap melontarkan kritik keras dan berseberangan dengan pemerintahan Soekarno dan tuduhan bahwa surat kabar Indonesia Raya berkomplot dalam ketegangan yang terjadi di Sumatera, Mochtar Lubis ditangkap dan ditahan tanpa diadili terlebih dahulu. Bertahun-tahun Mochtar Lubis mendekam di dalam tahanan dan baru dibebaskan setelah era pemerintahan Soekarno berakhir pada tahun 1966.
Perseteruan Mochtar Lubis dengan pemegang kekuasaan tidak berhenti di situ. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Mochtar Lubis kembali mengambil posisi yang berseberangan dengan penguasa dan mengibarkan perang terhadap tindakan-tindakan penyalahgunaan kekuasaan dan koruptif. Mochtar Lubis bersama surat kabar Indonesia Raya bergerilya memberitakan pelanggaran-pelanggaran dalam tubuh pemerintahan Orde Baru, seperti skandal korupsi di tubuh Pertamina.
Pada puncaknya, ketika terjadi peristiwa Malari tanggal 14-16 Januari 1974, media yang dipimpin Mochtar Lubis dituding ikut mengompori terjadinya aksi demonstrasi besar-besaran tersebut. Berita-berita kritis yang disampaikan Indonesia Raya terkait kebijakan investasi kala itu, dengan mengambil pinjaman berskala besar dari Jepang, dianggap menjatuhkan wibawa pemerintah dan menghasut rakyat hingga terjadi demonstrasi besar yang disertai kekacauan. Buntutnya, Mochtar Lubis ditahan dan surat kabarnya dibredel. Sejak saat itu, surat kabar Indonesia Raya tak lagi terbit.
Mengembalikan Magsaysay Award
Sebagai sastrawan, Mochtar Lubis produktif menghasilkan karya-karya yang berkualitas dan memenangi banyak penghargaan. Salah satu penghargaan yang diperolehnya adalah Ramon Magsaysay Award pada tahun 1958 untuk kategori Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif.
Namun, pada tahun 1995, Mochtar Lubis terbang ke Manila untuk mengembalikan penghargaan tersebut sebagai bentuk protes terhadap pemberian penghargaan yang sama kepada Pramoedya Ananta Toer. Penolakan ini dilakukan Mochtar bersama sastrawan-sastrawan lain termasuk WS. Rendra dan Taufik Ismail.
Menurut mereka, Pramoedya tidak pantas menerima penghargaan Magsaysay Award karena pada masa memimpin Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), Pramoedya pernah melakukan pelarangan terhadap karya-karya sastrawan lain yang dianggap tidak sehaluan dengan LEKRA, termasuk pembakaran buku-buku yang di mata Mochtar Lubis merupakan tindakan pemberangusan terhadap iklim kebebasan menulis dan berkreasi. Bagi Mochtar Lubis, integritas antara karya dan nilai-nilai pribadi sastrawan tidak bisa dipisah-pisahkan.
Pidato Kebudayaan yang Menggemparkan
Pada tanggal 6 April tahun 1977 Mochtar Lubis menyampaikan sebuah Pidato Kebudayaan berjudul Manusia Indonesia di Pusat Kebudayaan Jakarta (sekarang Taman Ismail Marzuki), Jakarta. Pidato Kebudayaan ini kelak menjadi pusat polemik dan saling sanggah dari banyak kalangan karena berisi kritik yang sangat pedas terhadap kepribadian bangsanya sendiri.
Pidato yang disampaikan dalam zaman keemasan rezim Orde Baru tersebut menyebutkan beberapa karakter yang terdapat di dalam diri manusia Indonesia. Ringkasnya, Mochtar Lubis menyebut bahwa karakter manusia Indonesia adalah hipokrit atau munafik, enggan bertanggung jawab terhadap perbuatan sendiri, menjalankan perilaku feodal, masih percaya pada takhayul, artistik atau memiliki bakat seni, dan memiliki watak kepribadian yang lemah.
Tentu, Pidato Kebudayaan yang pada hakikatnya merupakan kritik keras terhadap perilaku masyarakat dalam menyikapi penyalahgunaan kekuasaan oleh rezim pemerintahan saat itu, menuai kegemparan dan dibantah keras oleh banyak orang. Pidato Kebudayaan ini beserta tanggapan-tanggapannya, dan tanggapan Mochtar Lubis terhadap tanggapan-tanggapan itu kemudian disusun menjadi sebuah buku berjudul Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungan Jawab) diterbitkan pertama kali pada tahun 1977 dan merupakan bacaan yang masih relevan dalam konteks sosio kultural Indonesia hari ini.