Museum Bahari, Saksi Bisu Sejarah Pesisir Jakarta
Sebagai negeri maritim, Indonesia memiliki sekitar 500 museum dan 90 diantaranya berada di Jakarta. Salah satunya adalah Museum Kebaharian Jakarta atau yang lebih dikenal dengan ‘Museum Bahari’. Lokasinya di Jl. Pasar Ikan No.1, Penjaringan, Jakarta Utara.
Museum Bahari semula dibangun VOC sebagai gudang pengolahan dan penyimpanan berbagai rempah. Gedungnya dibangun secara bertahap sejak 1718-1774. Sementara pada 1942-1945, bangunan berpintu banyak dengan menara syahbandar (lokasi menara terpisah, tapi masih dalam satu kompleks) beralihfungsi sebagai gudang logistik tentara Jepang.
Seiring dengan perkembangan waktu, para aktivis dan pencinta bangunan bersejarah ingin agar Museum Bahari ikut berkontribusi terhadap kehidupan warga sekitar. Wilayah Penjaringan terhitung daerah miskin di Jakarta, dan mayoritas warga mengandalkan kehidupan mereka dari laut.
“Kita punya wilayah pesisir luas dan kaya, tapi wilayah pesisir menyumbangkan angka kemiskinan yang cukup besar. Ibarat ayam mati di lumbung padi. Potensinya besar tapi belum bisa dimanfaatkan dengan baik,” ungkap Hendrian, Deputi Pemanfaatan Riset dan Inovasi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam perbincangan bertajuk “Potret Kehidupan Sosial Masyarakat Pesisir” di Museum Bahari, Rabu (15/1).
Untuk memajukan masyarakat nelayan tentu perlu berkolaborasi dengan banyak pihak. Direktur Eksekutif Indonesia Hidden Heritage, Nofa Farida Lestari, mengaku pihaknya membuka diri dengan tawaran kolaborasi.
”Kami ikut membangun program untuk masyarakat sekitar museum. Kami mendorong terciptanya suasana yang inklusif. Banyak pihak (kolaborator) ikut membantu, misalnya dari Museum Bank Indonesia,” kata Nofa.
Hendrian menambahkan, garis pantai yang panjang dan wilayah pesisir yang banyak, termasuk area transisi darat dan laut, menjadikan keanekaragaman hayati Indonesia berada di peringkat dua di dunia. Dari jumlah sebesar itu, kekayaan maritim Indonesia belum banyak dimanfaatkan.
“Kita punya 700 jenis rumput laut dan yang dimanfaatkan baru kurang dari 10 persen. Di Nusa Tenggara bahkan ada jenis kerang mutiara yg belum banyak dimanfaatkan. Ada pulau yang pada zaman dulu terkenal akan garamnya, tapi Indonesia sekarang harus impor garam, karena produk petani garam Indonesia masih belum sesuai kepentingan industri. Jadi kita masih harus melewati satu tahapan lagi,” jelas Hendrian.
Persoalannya memang bukan hanya skill atau keahlian mengolah sumber daya laut, tapi juga regulasi, tata kelola, dan komitmen kebijakan. Niat mulia untuk memajukan UMKM masyarakat pesisir harus disertai mental yang berkualitas dan inovatif agar usahanya bisa berkelanjutan.
Pemerintah Daerah Khusus Jakarta saat ini sedang menyiapkan perayaan 500 Tahun Kota Jakarta pada 2027. Salah satu yang dilibatkan dalam perhelatan akbar ini adalah Museum Bahari, maka penataan museum perlu dilakukan dari sekarang.
”Museum Bahari harus dibuat lebih interaktif. Ruangannya luas dan sangat bersejarah, tapi narasinya masih kurang. Apalagi sekarang sudah ada AI (kecerdasan buatan), pengunjung bisa dimungkinkan untuk interaktif dengan Laksamana Malahayati atau Laksamana Cheng Ho,” ungkap Jajang Jamaludin dari TEMPO Inti Media.
Di masa datang, pemerintah Indonesia perlu membangun museum bahari di masing-masing daerah pesisir, sebagai ilmu pengetahuan dan warisan budaya maritim. Jangan menunggu banjir atau bencana industri datang, hingga akhirnya memusnahkan seluruh sejarah itu.
Foto: Wella Madjid | Kultural Indonesia