Tur Spasiba, Jejak-jejak Bangunan Rusia di Seantero Jakarta
.Tujuh puluhl ima tahun persahabatan Indonesia-Rusia Tahun
Tahun 1960-1965 menjadi periode pembangunan tersibuk di Jakarta, mulai dari Stadion Gelora Senayan (belakangan namanya menjadi Stadion Gelora Bung Karno), Hotel Indonesia, Sarinah, hingga Monumen Nasional (Monas) serta Gedung DPR/MPR. Ini semua tak lain demi kelayakan sebuah ibu kota yang usianya masih muda, 15 tahun.
Ambisi Soekarno saat itu mampu diimbangi oleh kemampuan para insinyur dan arsitek muda, diantaranya Friedrich Silaban, arsitek Masjid Istiqlal. Sebagian besar bangunan bersejarah itu dibangun atas pinjaman dari pemerintah Rusia, sahabat dekat Indonesia pascaperang dingin
Namun tak banyak masyarakat Jakarta yang menyadari ‘kehadiran’ Rusia di seantero Jakarta, terutama pada bangunan-bangunan ikonik. Ini disadari betul oleh Devianti Faridz, salah satu pegiat ‘Wisata Kreatif Jakarta’, wadah bagi publik untuk bertualang menelusuri tempat-tempat bersejarah di berbagai kota dan negara, termasuk Jakarta, Indonesia.
“Belum banyak orang yang tahu bahwa di Jakarta banyak tempat-tempat ikonik di mana Rusia berperan penting dan istimewa, apalagi tahun ini kita merayakan 75 Tahun Hubungan Diplomatik dengan Rusia,” ujar Devi, nama panggilan dari perempuan berkacamata ini.
Obrolan kami berlanjut dengan menelusuri tempat-tempat bersejarah Indonesia-Rusia, yang diikuti 16 peserta. Peserta paling senior adalah Pauline, penikmat sejarah lulusan Universitas Padjajaran berusia 82 tahun. Sedangkan peserta termuda adalah Santiago, berusia 5 tahun. Ia datang bersama kedua orangtuanya dari Bogor.
“Tur Spasiba” — ‘spasiba’ dari bahasa Rusia artinya terima kasih, berlangsung sejak pagi hingga sore pada Sabtu (15/2) dengan titik kumpul di Taman Matraman di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Lokasi ini dipilih lantaran ada patung Yuri Gagarin, kosmonot Rusia sekaligus manusia pertama yang mendarat di luar angkasa pada 1961.
“Patung Yuri Gagarin dibuat di Moskow oleh seniman Rusia dan dibawa ke Jakarta pada perayaan 70 Tahun persahabatan Indonesia-Rusia,” jelas Devi. Gagarin adalah satu-satunya tokoh asing yang mendapatkan penghargaan dari Presiden Soekarno atas keberhasilannya mencapai luar angkasa. Prasasti berbahan tembaga itu diimbuhi keterangan dalam bahasa Indonesia dan Rusia, dan diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Anies Baswedan
Sambil mendengarkan penjelasan Devi, para peserta juga disuguhi ‘pirojki’ alias roti isi daging ala Rusia. Perjalanan berlanjut ke stadion Gelora Bung Karno (GBK), yang pembangunannya menelan biaya 12,5 Juta Dolar AS dengan kapasitas stadion hingga 100 ribu orang.
“Stadion GBK dibangun pada kurun waktu 1960-1962 untuk persiapan Asian Games ke-4 tahun 1962. Soekarno pada waktu itu ingin Jakarta betul-betul siap menjadi tuan rumah Asian Games. Saat (mantan) PM Nikita Kruschev ke Jakarta, ia ikut menghadiri pemasangan tiang pancang pertama GBK,” kisah Devi. Ia menambahkan, cetak biru stadion GBK hingga kini masih tersimpan di Rusia, bahkan stadion GBK punya ‘kembaran’ di Moskow.
Titik berikutnya adalah Rumah Sakit Persahabatan yang berlokasi di Jakarta Timur. Rumah Sakit ini juga dibangun atas bantuan pemerintah Rusia, termasuk rancangan untuk bangsal pasien hingga ruang binatu. Uniknya, ada lorong yang masih dilengkapi lampu produksi pertama saat rumah sakit diresmikan, yaitu 48 lampu berukuran sedang berbentuk lingkaran ibarat lampu-lampu kapal selam.
RS Persahabatan juga masih menyimpan mesin pompa air asli yang kini tak digunakan lagi, dan disimpan di ‘rumah pompa’. Sedangkan mesin-mesin asli dari Rusia untuk pencuci dan pengering pakaian, selimut dan seprai pasien dipertahankan, karena masih bisa digunakan hingga 100 kilogram per hari! Sayangnya, plakat berbahasa Rusia sebagai penanda berdirinya RS Persahabatan tidak lagi dipasang di luar sejak rumah sakit ini direnovasi. Plakat bersejarah itu kini dipasang di dinding ruang panel listrik.
Saat jarum jam menunjukkan pukul 14:30 WIB, rombongan bergerak menuju ‘Russian House’ atau Pusat Kebudayaan Rusia di Jalan Taman Lembang, Menteng, Jakarta Pusat. Ada Nikita dan Valerie yang menyambut kedatangan kami. Para peserta disuguhi video dan fakta-fakta mengejutkan tentang Rusia, antara lain minuman teh yang ternyata adalah minuman hangat terfavorit kedua setelah vodka. Teh di Rusia umumnya dicampur madu dan lemon.
“Fakta menarik lain adalah orang Rusia kalau bertamu tidak perlu pada saat-saat penting saja,” kata Valerie. Jadi, kalau Anda ingin mengunjungi rumah kawan yang orang Rusia, maka tak perlu repot-repot bikin janji atau menunggu pesta ulang tahun dan Tahun Baru, ya!
Info unik lainnya adalah Rusia memiliki sebelas zona waktu, karena wilayahnya sangat luas. Mereka juga sangat memuja “Russian Ballet” sebagai tarian klasik tradisional yang diklaim asli milik orang Rusia.
Terkait 75 Tahun Persahabatan Indonesia-Rusia, Universitas Indonesia dan Kedutaan Besar Rusia belum lama ini juga menggelar “Erenias Festival”. Sebuah foto hitam putih yang membingkai wajah Bung Karno dan Perdana Menteri Rusia, Nikita Kruschev, dipasang di pintu masuk lobi gedung IX Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Tampak betapa hangatnya
hubungan kedua pemimpin, dengan senyum lebar Bung Karno tengah mendekap hangat Kruschev.
“Meskipun Presiden Prabowo berlatar belakang militer, namun hubungan Rusia dan Indonesia terbentang luas dan tidak sebatas politik, pertahanan dan ekonomi saja. Kami juga bekerja sama di bidang pendidikan, seni dan budaya. Begitu juga dengan komunitas Muslim di Rusia. Kami sudah beberapa kali mengadakan pertemuan antara kelompok pemuka agama Rusia dengan Indonesia. Saya ingin ada ‘Russian Corner’ di Masjid Istiqlal dan ini sudah saya sampaikan kepada ulama Islam di Rusia,” ungkap Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia, Sergey Tolchenov, kepada Kultural Indonesia.
Menurut Tolchenov, agama Islam di Rusia menempati posisi kedua setelah Kristen Ortodoks, dan kini terdapat 89 wilayah Rusia dihuni oleh warga Muslim, terbesar di Kazan. Sedangkan bidang kerjasama lain yang unggul adalah pendidikan. Pemerintah Rusia mencatat ada 1000 mahasiswa Indonesia yang belajar di Rusia pada 2024, khususnya program Master. Jumlah ini terus meningkat setiap tahunnya.
Foto: Wella Majid