Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

Usmar Ismail, Pelopor Sinema Indonesia

Usmar Ismail, Pelopor Sinema Indonesia

“Saya akan mengabdikan diri dalam perfilman dan kebudayaan”

Usmar Ismail

Nama Usmar Ismail memang tidak mungkin dipisahkan dari dunia film Indonesia. Karena dari kerja keras dan upaya yang dilakukan laki-laki kelahiran 20 Maret 1921 di Bukit Tinggi, Sumatera Barat inilah sinema Indonesia menemukan bentuknya.

Usmar Ismail, Pelopor Industri Perfilman Indonesia

Tumbuh di dalam lingkungan keluarga yang sangat taat menjalankan agama Islam, Usmar mendapatkan pendidikan agama di sekolah Islam Tawalib, di samping bersekolah di HIS (Hollandsch Inlandsch School), sekolah dasar pada zaman pendudukan Belanda. Setelah menamatkan pendidikan di HIS, ia melanjutkan pendidikan lanjutan di  MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Di sekolah ini, Usmar bertemu dan berkawan dekat dengan Rosihan Anwar yang kelak menjadi rekannya dalam dunia seni dan jurnalistik. Perkawanan Usmar Ismail dan Rosihan Anwar berlanjut ketika mereka menempuh pendidikan yang sama di AMS-A II (Algemeene Middlebare School) jurusan Bahasa di Yogyakarta.

Menurut penuturan sejarawan Sulaiman Harahap, pada jenjang sekolah AMS inilah Usmar mulai memupuk dan mengembangkan bakatnya dalam mengarang dan sandiwara. Tulisan-tulisannya dalam bahasa Belanda kerap dimuat dalam majalah kampus Vox Populi Vox Dei yang cukup bergengsi pada masa itu. Namun, meski mahir menulis dalam bahasa Belanda, Usmar lebih senang menuliskan karya-karyanya dalam bahasa Indonesia.

Berawal dari Puisi dan Sandiwara Radio

Sebagai penyair, Usmar Ismail cukup produktif menghasilkan karya, terutama pada masa pendudukan Jepang hingga masa-masa awal revolusi. Buku kumpulan puisinya berjudul Puntung Berasap diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1950. Buku ini berisi 40 sajak Usmar yang ditulisnya dari 1943 hingga 1947 di Jakarta dan Yogyakarta.

Dalam buku kumpulan puisi dan cerita pendek Gema Tanah Air (1948) yang disusun oleh HB Jassin, dimuat juga dua cerpen karya Usmar Ismail berjudul Permintaan Terachir dan Asokamala Dewi. Usmar Ismail semakin gencar melahirkan karya-karya sajak dan cerpen pada saat menjadi anggota Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) di bidang kesusasteraan di bawah pimpinan Sanusi Pane.

Selain buku puisi dan cerita pendek, Usmar juga mengeluarkan buku lakon sandiwara berjudul  Sedih dan Gembira  pada tahun  1948. Di dalam buku lakon ini, terdapat tiga lakon karya Usmar yakni Tjitra (tiga babak), Api  (tiga babak) dan Liburan Seniman (empat babak). Lakon karya Usmar lainnya juga ada yang dimuat di majalah-majalah antara lain Tempat jang KosongMekar Melati, dan Mutiara dari Nusa Laut. Pada tahun 1950, diterbitkan dua roman berdasarkan skenario film Usmar Ismail Tjitra dan Harta Karun.

Sandiwara radio karya Usmar Ismail mulai muncul di radio pemerintahan Jepang saat itu, Radio Hooso Kyoku. Kemudian Usmar dan kawan-kawan membentuk kelompok sandiwara amatir Maya pada 27 Mei 1944. Pada awalnya, kelompok ini melakukan pembacaan-pembacaan sajak, cerita-cerita pendek. Hingga memproduksi sandiwara radio yang diiringi musik yang digubah dan dimainkan oleh salah satu sahabatnya, Cornell Simandjuntak.

Tak puas dengan hanya memproduksi sandiwara radio, kelompok ini kemudian mementaskan karya mereka di panggung. Pementasan perdana kelompok Maya membawakan naskah berjudul  Taufan di Atas Awan karya Abu Hanifah (El Hakim) di Siritu Gekizyo (sekarang  Gedung Kesenian Jakarta) pada bulan Juli 1944. Usmar menjadi sutradara dalam pementasan tersebut. Kelompok ini membawa angin segar ke dalam dunia pertunjukan panggung pada masa itu dengan kerap melakukan percobaan-percobaan baru di ranah cerita, akting, serta dekorasi dan teknik panggung.

Pelopor Sinema Indonesia

Pasca kemerdekaan Indonesia, Usmar sempat pindah ke Yogyakarta karena Jakarta saat itu diduduki oleh balatentara Sekutu. Di Yogyakarta ia bergabung dengan dinas kemiliteran bagian intelijen dengan pangkat Mayor. Kewajibannya di bidang militer tidak menyurutkan kesibukan Usmar di dunia tulis menulis dan jurnalistik. Selama tinggal di Yogyakarta, Usmar Ismail menggawangi beberapa terbitan berkala, di antaranya adalah harian Patriot, mingguan Tentara dan majalah kebudayaan bulanan Arena. Pada tahun 1946 hingga 1947 Usmar menjabat Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Pada tahun 1948, Usmar Ismail ditangkap Belanda pada saat menghadiri konferensi pers tentang Perundingan Renville dalam tugasnya sebagai wartawan politik Antara.

Waktu itu, Usmar sedang menghadiri konferensi pers seputar Perundingan Renville. Ia dipenjarakan di Cipinang dengan tuduhan melakukan tindakan subversif. Usmar Ismail ditahan selama empat bulan di Penjara Cipinang, dan kemudian dibebaskan karena mendapat jaminan dari Mohamad Natsir.

Masuknya Usmar Ismail ke lingkungan perfilman adalah melalui campur tangan pionir yang lebih dulu bergerak di bidang ini yaitu Andjar Asmara. Sejak masa revolusi, Andjar telah melakukan pergerakan dengan menggelar diskusi-diskusi mengenai film sebagai sarana penyebaran pengetahuan dan semangat kemerdekaan, Usmar adalah salah seorang yang kerap menghadiri diskusi-diskusi ini. Pada tahun 1949, ketika menyutradari film berjudul Gadis Desa, Andjar Asmara mengangkat Usmar Ismail sebagai asisten sutradara. Film ini diproduksi di bawah perusahaan South Pacific Film Company.

Berbekal pengalaman sebagai asisten sutradara, Usmar Ismail kemudian mengajukan diri untuk menyutradarai filmnya sendiri. Di perusahaan ini, Usmar Ismail menyutradarai dua film, yaitu Harta Karun (1949), dan Tjitra (1949). Skenario film Harta Karun disadur dari lakon L’Avare karya penulis Prancis Moliere, dan naskah film Tjitra dikembangkan dari naskah lakon berjudul sama yang ditulisnya sendiri pada masa pendudukan Jepang.

Namun, Usmar tidak kerasan bekerja untuk sebuah perusaan film asing, dia merasakan adanya keterbatasan-keterbatasan dalam menciptakan karya. Untuk membebaskan diri dalam berkarya, Usmar Ismail bersama rekan-rekan seniman yang lain, di antaranya Rosihan Anwar, Max Tera, Basuki Resobowo, Sjawal Muctaruddin, Surjo Sumanto, Nairuddin Naim dan D. Djajakusumah mengambil kesepakatan untuk mendirikan sebuah perusahaan film sendiri.

Maka, pada tanggal 30 Maret 1950 didirikanlah Perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI). Perusahaan ini menjadi sarana Usmar Ismail untuk mewujudkan idealismenya melalui karya-karya film. Produksi pertama Usmar melalui PERFINI adalah film Darah dan Doa (1950). Hari pengambilan gambar perdana film ini di Purwakarta pada tanggal 30 Maret 1950 kelak diabadikan sebagai Hari Film Nasional Indonesia.

Darah dan Doa merupakan film pertama yang dianggap mampu menghadirkan manusia Indonesia dalam latar suasana revolusi kemerdekaan yang semangatnya masih sangat terasa saat itu. Ini merupakan film pertama yang dibuat di Indonesia yang seluruh elemen produksinya, tenaga, pikiran, dan materi berasal dan dikerjakan oleh orang Indonesia. Naskah film ini diadaptasi Usmar Ismail dari cerita pendek karya sastrawan Sitor Situmorang.

Pada akhir tahun 1951 Usmar berangkat ke Amerika untuk memperdalam pengetahuannya di bidang sinematografi. Usmar mendapatkan beasiswa Rockefeller Foundation di Fakultas Theatre Arts, University of California, Los Angeles, Amerika Serikat.

Film Usmar Ismail Lewat Djam Malam (1954) memperoleh kesuksesan, baik dalam segi komersil, maupun dari pencapaian artistik.  Film berikutnya, Tiga Dara (1956) memperoleh penghargaan dalam Festival Film Venezia pada tahun 1957. Prestasi ini berlanjut dengan kemenangan aktor Bambang Hermanto dalam film Pedjuang (1960) sebagai aktor terbaik pada Festival Film di Moskow yang berlangsung 9-23 Juli 1961. Selama tahun-tahun berikutnya Usmar Ismail produktif menghasilkan banyak film lain.

Pada tahun 1955, Usmar Ismail bersama Asrul Sani memprakarsai berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Pendirian akademi ini berangkat dari cita-cita untuk membentuk pendidikan seni dan teater yang baik dan mampu bersaing dalam panggung dunia. Di samping itu, para pendiri  ATNI berharap teater menjadi salah satu mata ajar yang setara dengan ilmu-ilmu pendidikan yang lain.

Usmar Ismail berpulang di Jakarta, 2 Januari 1971 dengan meninggalkan warisan besar dalam dunia sastra dan terutama sinematografi di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.