Cap Go Meh di Bekasi
Bekasi seringkali dilihat sebelah mata, hal ini memang tak bisa dipungkiri karena beberapa tahun silam, saat akses menuju Bekasi terhitung masih jauh dari akselerasi kemudahan, kesan itu begitu menguat. Hal ini kian bertambah dengan situasi cuacanya yang cenderung panas dan lembab, semakin membuat Bekasi di-cap sebagai destinasi yang kurang menarik.
Tapi wajah Bekasi saat ini boleh dibilang berbeda dengan beberapa tahun silam. Sejak dibukanya akses jalur kereta commuter line yang menghubungkan antara Jakarta dengan Cikarang secara luas dengan jadwal yang variatif dan waktu tunggu yang singkat, menuju Bekasi dan sekitarnya kini terhitung mudah.
Pada tanggal 24 Februari 2024 lalu, Kultural Indonesia menggelar tur jalan kaki, Kultural Jalan-jalan. Tur ini bertepatan juga dengan perayaan Cap Go Meh atau hari penutupan untuk rangkaian Tahun Baru Imlek yang pada tahun ini memasuki fase penanggalan zodiak Naga. Hewan mitologi dalam kebudayaan Tionghoa yang dipercaya membawa kebaikan dan keberuntungan.
Kultural Jalan-jalan edisi perdana diikuti peserta yang datang dari berbagai latar dan juga domisili, ada yang datang dari Bogor, Jakarta, dan beberapa dari kota Bekasi sendiri. Semuanya membawa antusiasme tersendiri karena ingin mengenal Bekasi lebih dalam.
Perjalanan akhir pekan menjelang penghujung Februari itu dimulai dari titik kumpul di Stasiun Tambun. Sebuah stasiun dengan lapisan sejarah tinggi. Sayangnya, kini wajah Stasiun Tambun sudah berubah sejak renovasi beberapa bulan lalu.
Tujuan utama kami pada perjalanan siang itu adalah Museum Bekasi. Museum ini punya bermacam nama, di zaman kolonial, namanya Landhuis Tamboen. Masyarakat lokal saat itu menyebutnya sebagai Gedung Tinggi, karena gaya bangunannya yang menjulang dan tergolong tinggi pada masa itu.
Dibangun pada awal abad ke-20, Landhuis Tamboen punya sederet cerita. Awalnya dibangun oleh keluarga tuan tanah Khouw van Tamboen sebagai rumah peristirahatan. Gayanya kental bernuansa Indisch. Sebuah pakem yang jamak pada masa kolonial. Memadukan antara tema art deco dengan gaya lokal.
Museum Bekasi yang dibuka pada awal tahun 2021 untuk umum menjelaskan dengan gamblang bagaimana tahapan pembangunan Landhuis Tamboen. Pada periode pertama, prosesnya berlangsung antara tahun 1906 hingga 1910 Kemudian, pada tahun 1925, proses pembangunan tahap kedua pun akan dijalankan.
Bangunan utama Landhuis Tamboen sendiri memiliki dua lantai. Selain itu, terdapat juga empat paviliun yang berserak di sisi sayap kanan dan sebagian di kiri bangunan utama. Salah satu hal ikonis dari Gedung ini adalah atapnya yang unik. Mengadopsi gaya tumpang termodifikasi, membuat bangunan ini tampak berbeda dari kebanyakan bangunan bernafaskan kolonial di Indonesia.
Museum ini punya sejumlah koleksi yang tidak kalah menarik, meskipun sebagian besar adalah replika dan juga berupa foto dan diorama, tapi bisa membuat siapa pun mengenal Bekasi lebih dalam. Salah satu koleksi yang pantang dilewatkan adalah kerangka manusia Bunian yang aslinya ada di Museum Nasional Jakarta. Bangunan ini juga menyisakan misteri dengan hadirnya bungker bawah tanah yang menghubungkannya dengan Stasiun Tambun. Bila ditarik garis lurus imajinasi, panjang terowongan ini diperkirakan sepanjang 500 meter. Saat ini para pengunjung hanya bisa melihat mulut bungker dari ketinggian karena aksesnya sudah lama ditutup.
Koleksi menarik lainnya tentu adalah peta Bekasi pada masa kolonial. Lewat peta itu, pengunjung dapat mencari tahu apakah wilayah Bekasi pada saat ini sama seperti masa lalu. Secara representasi Museum Bekasi menggambarkan keadaan Bekasi sebagai kota pejuang sejak zaman kolonial ke masa sesudah kemerdekaan.
Sederet pahlawan asli Bekasi pun ditampilkan dengan metode augmented reality. Termasuk, apa saja kerajaan yang pernah bercokol di tanah Bekasi, salah satu yang lama memimpin di wilayah ini adalah Kerajaan Tarumanagara.
Museum juga punya ruangan kedap suara yang dirancang mirip bioskop mini, lengkap dengan susunan kursi-kursi serta sebuah layar raksasa di bagian depan. Di sini para pengunjung diajak untuk menonton tayangan kisah sejarah perjuangan Bekasi dari masa ke masa.
Selesai mengulik Museum Bekasi yang indah dan menawan, para peserta tur hari itu kembali ke Stasiun Tambun untuk melanjutkan perjalanan ke Stasiun Bekasi. Perjalanan memakan waktu 10 menit. Di Stasiun Bekasi yang baru saja selesai direnovasi, para peserta antusias melihat perkembangan rel yang pernah dipakai di stasiun yang sudah berfungsi sejak zaman kolonial. Untuk melihat museum mini Stasiun Bekasi, pengunjung harus tap masuk ke dalam stasiun.
Stasiun Bekasi juga punya banyak kisah sejarah perjuangan yang menggelora. Salah satunya pada 19 Oktober 1945, saat sungai atau Kali Bekasi sempat menjadi lautan darah tentara Jepang. Pada tanggal tersebut, sebanyak 90 tentara Jepang tewas dibunuh oleh rakyat Indonesia di Bekasi. Padahal, 90 tentara Jepang tersebut awalnya hendak dibawa ke lapangan terbang Kalijati di Subang, Jawa Barat, untuk kemudian dipulangkan ke Jepang karena gencatan senjata dan Jepang kalah perang. Namun, takdir berkata lain. Mereka justru harus tewas secara tragis di tangan para pemuda laskar Indonesia sebelum akhirnya dipulangkan ke negara asalnya.
Konon, pada 25 Oktober 1945, Presiden Soekarno turun langsung ke Bekasi untuk meminta warga Bekasi menuruti perintah pemerintah pusat dan dilarang melakukan pencegahan terhadap kereta pembawa sisa-sisa tentara Jepang. Sebuah monumen pun didirikan tidak jauh dari lokasi, Monumen Kali Bekasi. Hingga kini kita masih bisa menyaksikan relief yang ada pada bagian bawah Monumen Kali Bekasi serta jembatan teputus yang penuh nilai sejarah.
Perjalanan kemudian berlanjut ke Klenteng Hok Lay Kiong yang merupakan klenteng tertua di Kota Bekasi. Merujuk pada sejarah Klenteng Hok Lay Kiong yang sudah berusia sekitar lebih dari 300 tahun dan masih kokoh hingga saat ini. Klenteng ini memiliki arsitektur yang sangat khas meskipun telah beberapa kali direnovasi. Sebagai tempat ibadah dari penganut Tridharma atau tiga agama seperti Hindu, Taoisme, dan Konghucu. Klenteng Hok Lay Kiong tampak bersolek pada perayaan Cap Go Meh hari itu. Lampion berwarna merah tampak menyatu dan menghiasi sejak gerbang utama klenteng.
Sebagai penanda perayaan, pada hari itu klenteng juga menyediakan nasi dan lauk sayur vegetarian yang dimasak oleh para relawan dan dibagikan kepada siapa saja, termasuk para peserta tur. Klenteng Hok Lay Kiong adalah destinasi terakhir Kultural Jalan-jalan pada hari itu. Sebelum beranjak, para peserta sempat ke Toko Kopi Matahari yang jaraknya tidak jauh dari klenteng untuk melihat proses penggilingan kopi yang sudah berdiri sejak 60 tahun lalu.
Sebuah perjalanan yang mengesankan dan tentunya membuat siapa saja bisa mengenal sepenggal kisah Bekasi yang selama ini tersembunyi.
Museum Bekasi yang dikelola secara langsung oleh Dinas Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga (Disbudpora) Kabupaten Bekasi dibuka setiap hari untuk umum mulai pukul 08.00 hingga 15.30.
Sumber Foto: Freddy Wally