Visi
Menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan berita dan informasi seni, sastra, dan budaya Indonesia secara digital.

Misi
MENYATUKAN informasi karya dan kegiatan dari para pelaku seni, sastra, dan budaya untuk dapat diakses secara digital dengan mudah, Baca Selengkapnya...

Muralis Muda Indonesia di New York

Muralis Muda Indonesia di New York

Galih Wismoyo Sakti adalah seorang seniman dari Jakarta dengan berbagai kebisaan. Pelukis, muralis, pembuat film dan kini seorang pengajar di negara Paman Sam. Film pendek hasil karya pria yang berlatar belakang interior desain dan arsitektur ini, Barefoot (Nyeker), tampil di berbagai festival film internasional, antara lain di Milan dan Cannes.

K: Bisa ceritakan latar belakang Anda. Kapan memutuskan untuk manjadi seorang seniman dan kenapa? Siapa yang banyak mempengaruhi gaya lukis Anda? Siapa pelukis favorit Anda?

GWS: Saya lahir di Jakarta, 25 Mei 1984. Memutuskan untuk menjadi seniman karena almarhum Bapak mengajarkan seni dan membuat saya familiar dengan seni sedari kecil. Bapak adalah seorang fotografer, dan memiliki ketertarikan serta apresiasi kuat terhadap seni baik di Indonesia maupun seni dunia. Sedari kecil saya dikelilingi oleh lukisan-lukisan seniman dunia. Bapak memiliki hobi mengumpulkan poster-poster lukisan ternama seperti Sunflower nya Vincent Van Gogh, Guernica karya Picasso, Ballet Dancers karya Degas, hingga lukisan karya maestro lokal seperti lukisan-lukisan Affandi. Semua poster tersebut beliau pasangkan bingkai, dan dipajang di seluruh bagian rumah, dari ruang tamu hingga kamar. Sebelum tidur, beliau suka menceritakan kisah di balik lukisan-lukisan tersebut dan kenapa lukisan tersebut layak diapresiasi. Karena itulah, saya memiliki ikatan batin yang kuat dengan seni lukis. Dari kecil pun saya sudah terbiasa berlatih menggambar dan memang sangat menikmati kegiatan menggambar serta melukis.

Gaya melukis saya banyak dipengaruhi oleh pelukis-pelukis seluruh dunia sedari kecil, saya sangat terpengaruh dengan gaya neo impresionisme yang mengedepankan kesan dan emosi dalam setiap karyanya. Tetapi perjalanan melukis saya cukup panjang dan tentu saja dipengaruhi oleh banyak sekali gaya.

Kalau boleh memilih dua pelukis favorit, saya akan memilih Vincent Van Gogh dan satu pelukis Indonesia bernama Srihadi Soedarsono.

K: Anda mendalami bidang film di San Francisco, dan beberapa tahun lalu film Anda turut dalam festival film internasional, bisa ceritakan perjalanan tersebut? Kenapa berhenti membuat film?

Pada tahun 2015, setelah saya menyelesaikan studi di SF, saya mengikut sertakan film pendek saya yang berjudul Barefoot (Nyeker) ke beberapa film festival. Ada beberapa yang menayangkan Nyeker dan mengapresiasi film tersebut. Setelah Nyeker, saya memproduksi film pendek kedua yang berjudul Iqro’. Menariknya, setelah saya selesai memproduksi Iqro’, saya malah sibuk mendalami kegiatan melukis dan menjual merchandise di berbagai art market di Jakarta.

Setelah sibuk dengan art market, saya banyak disibukkan dengan melukis mural di seluruh Indonesia terutama Jakarta dan sekitarnya. Saya tidak pernah merasa berhenti sebagai seorang pembuat film. Mungkin ini adalah masa jeda. Saya berharap akan bisa membuat film kembali di suatu saat nanti.

K: Anda sendiri saat ini melihat diri Anda sebagai apa, pelukis, pembuat film atau ada yang lain?

GWS: Untuk saat ini saya lebih melihat diri saya sebagai seniman dan pengajar (artist/art educator).

K: Sekarang ini Anda tinggal di kota NY, Amerika Serikat, apakah kesempatan di sana lebih terbuka bagi seorang seniman seperti Anda? Bisa ceritakan aktifitas Anda di sana dari sudut profesi?

GWS: Kesempatan untuk menjadi seniman di New York memang lebih besar, tetapi di sini pun persaingan jauh lebih ketat. Saya memulai karir saya sebagai seorang muralis di perusahaan mural bernama Mural Painter Inc. Proyek-proyek mural yang saya lakukan di sini di antaranya adalah mural untuk kantor Policy Genius, Xeal Energy, Lionsgate Studio, dan masih banyak lagi.

Untuk saat ini, saya bergabung bersama komunitas bersama Educational Video Center (EVC) yang bermarkas di West Village, Manhattan, sebagai salah satu Educator mereka. EVC adalah organisasi nirlaba yang mengajarkan film dokumenter kepada pelajar high school di NYC dan sekitarnya. Film dokumenter yang kami ajarkan memiliki tema social justice. Diharapkan dengan pembekalan keahlian film dokumenter, akan memberdayakan para pelajar ini dan akan memberikan suara kepada mereka.

K: Sebelum hijrah ke Amerika, Anda mendirikan sebuah komunitas sosial Kelas Gambar. Bisa ceritakan? Apakah masih ada?

Saya mendirikan komunitas Kelas Gambar Indonesia bersama suami saya, Teddy Al Muktady di tahun 2017. Kelas Gambar memberikan pengajaran seni gratis kepada anak-anak pra sejahtera di seluruh Indonesia. Selama lima tahun perjalanannya, Kelas Gambar sudah mengadakan tiga kali pameran lukis karya anak-anak yang keseluruhan labanya kami kembalikan ke anak-anak peserta.

Untuk saat ini Kelas Gambar sedang vakum untuk waktu yang tidak ditentukan.

K: Bisa ceritakan kesulitan apa yang dihadapi saat pertama kali memperkenalkan hasil karya Anda di NYC? Apakah mereka menyambut dengan baik?

GWS: Salah satu tantangan terbesar saya sebagai seorang seniman di NYC adalah kurangnya network di awal-awal kedatangan saya. Saya membangun network dari nol di tempat kerja dan melamar semua pekerjaan tersebut tanpa mengenal satu orang pun sebelumnya. Pada saat ini saya sudah memiliki beberapa kenalan dan teman. Diharapkan akan ada beberapa proyek mural yang bisa saya lakukan dan eksplor dalam waktu dekat.

Sambutan bisa dibilang cukup baik. Sebagai seniman di NYC, saya selalu jujur dan bangga dengan identitas saya sebagai orang Indonesia. Keunikan ini adalah sesuatu yang membuat saya berbeda dengan teman-teman di NYC yang juga memiliki latar belakang berbeda-beda. NYC adalah sebuah melting pot yang sangat ideal untuk mengeksplorasi diri dan menemukan (kembali) jati diri kita.

K: Ada rencana membuat pameran di NYC? Buku apa yang sedang Anda baca saat ini?

Ada. Sekarang sedang berusaha untuk mengumpulkan ide dan konsep untuk mewujudkannya.

Sementara ini sedang membaca buku memoir karya Alexander Chee yang berjudul How To Write an Autobiographical Novel.

Sumber Foto: GWS

 

 

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.